Friday, July 28, 2017

Diari Papi Ubii #20: To Kill The Boredom

Terakhir ada tulisan Adit buat Diari Papi Ubii itu bulan Juni. Artinya emang udah absen lumayan lama dan pantesan aja banyak yang nagih. Wah gila ya Adit udah punya pembaca setia sekarang. Saya jadi ngerasa tersingkir. Hahaha. Nggak deng. Malah seneng kok kalau ada yang nagih. Jadi bisa saya tunjukkan ke Adit sebagai dorongan untuk dia nulis.


Untuk tulisan kali ini, sebenernya kami berdua blank like totally blank mau bahas apa. Jadi kemarin hari apa gitu saya sempet nanya di Instastory, minta ide buat bahan tulisan Adit. Ada sekitar 5 ide. Tapi nggak semua adalah tema yang 'aman' untuk ditulis di sini. Jadi kali ini Adit ambil request tentang hal-hal yang dia lakukan untuk membunuh bosan selama LDM-an dari @fajarrani - thank you!

Adit:
Boredom is the root of all evil - the despairing refusal to be oneself - Soren Kierkegaard
Saya sangat setuju dengan Pakdhe Kierkegaard. Menurut saya kebosanan itu adalah pisau berkarat yang menikam jantungmu secara perlahan. Mengarungi arus experience tanpa kualitas. Kalau kata Liz Goodstein, kebosanan adalah strategi survival historis untuk mengatasi ketidakpuasan. Rasa capek, ngga sabar, nganggur, dan “meh” campur jadi satu. Bahasa gaulnya, gabut.

“Gabut nih cuddling kuy”
~ Postingan seseorang di app Whisper

Penyebab kebosanan ngga serta merta sama antara satu individu dengan yang lain. Tapi, garis besar “kebosanan” sendiri mungkin mengerucut ke satu sebab: melakukan satu aktivitas terus menerus tanpa passion. Kalau untuk saya pribadi, mungkin dasarnya Gemini yah, gampang bosen. But sometimes universe thinks the other way around by giving me boredom on a daily basis. Saya sering banget terpapar dengan rasa bosan gara-gara long distance marriage.


Saat di kantor saya malah jarang merasa bosan (lebih tepatnya belum, sih). Walaupun kesannya membosankan - kerja jadi pegawai, eight to four and repeat, tapi daily tasknya sejauh ini variatif dan challenging. Teman-teman di kantor orangnya juga asyik-asyik. Cuma once in a blue moon saja saya merasa bosan di tempat kerja. Namun, semuanya berbanding terbalik menjelang jam 4 dan saya harus pulang ke apartemen. Disinilah rasa bosan menyerang. It would be a different story if Grace and the kids were there waiting for me. They are so far away, 533 km away to east. Walaupun saya tinggal dengan Papa di Jakarta, but he has his own shit to deal with. So yeah, I frequently encounter with nothingness when I get back. There is a certain feeling that strikes you when you open a door to an empty house - I can’t tell you in words. It feels void, cold, and gives a bad taste in your mouth for quite a while.


Enough with the dulcet paragraph. Saya sebenernya sudah punya ide brilian untuk melawan rasa bosan ini dengan mendaftar jadi sopir taksi online. Toh ada mobil nganggur juga. Tapi kemudian ada ketakutan-ketakutan yang membuat saya mengurungkan niat itu. Contohnya, saya masih anak baru di Jakarta - even sampe sekarang masih kaget dan belum bisa “berdamai” dengan macetnya kota ini. Saya paham betul bahwa bete dan ngomel senyinyir apapun tidak akan bisa mengubah keadaan kalau sudah stuck di kemacetan. Tapi tetap saja, bagi saya yang dulunya jarang sekali berurusan dengan traffic jam, this is a big deal for me. Lalu, masih ada hubungannya dengan infrastruktur, saya cuma hapal jalan dari Kemayoran ke Medan Merdeka Selatan (apartemen ke kantor). Selebihnya? Nol besar. Sudah ada GPS sih tapi tetep aja kadang bimbingan GPS ngga sehati sama kemauan konsumen. Nanti kalau konsumennya komplain gimana? -- I know these are such of trivialities to rant about. It’s not that I’m a wimp (well, maybe I am), but through my Jogja’s eyes, Jakarta traffic is really scary!

Baca: Why I Love Jogja

Lalu, bagaimana cara saya membunuh bosan saat berada jauh dari keluarga? Hence I will give you my list. Siapa tau bisa memberi ide buat pembaca jika suatu saat dilanda bosan berkepanjangan.

🎧 Music 🎧

My source of joy. Pengusir bosan paling ampuh. Seingat saya, saya mendengarkan musik secara intens sejak SMP melalui kaset-kaset seluloid. And I don’t take this activity lightly up to now, walaupun ngga se-ekstrim para audiophile yang sampai koleksi ribuan vinyl dan menghabiskan puluhan juta untuk membeli audio cabinet. Saya ada 1-2 jam waktu di sore hari hanya untuk mendengarkan musik, yang biasa saya namai “eargasm time”. Ada aturannya pun: tidak boleh disambi kegiatan lain, lalu yang didengarkan harus 1 album sampai selesai ngga boleh di-shuffle. Untuk mendukung keseriusan dalam mendengarkan musik, saya sampai punya 3 headphone, dan tiap headphone punya kegunaan masing-masing:

🎵 Audio Technica ATH-M50X untuk pemakaian sehari-hari, dan untuk kerjaan (edit video).
🎵 Sennheiser CX 1.00 untuk mendengarkan musik saat diselingi aktivitas lain seperti olahraga atau mengerjakan chores seperti menyapu, menyuci piring, dsb.
🎵 Audio Technica MSR7. Ini headphone kesayangan yang hanya boleh saya gunakan untuk mengisi “eargasm time” di dalam kamar.


Untuk playernya, karena saya belum punya dana buat beli Opus #1, jadinya ya “cuma” pakai Apple Music via iPhone dengan settingan maximum streaming quality.

Musiknya? Well, saya dengerin semua jenis musik: dari J-pop sampai brutal death metal, dari klasik sampai eksperimental, semuanya saya hajar. Cuma memang ada beberapa musisi yang frekuensinya lebih sering didengar.

Baca: My Recent Playlist

But it won’t stop me from discovering new music! Kalau baru hunting musisi-musisi baru, biasanya saya pakai Last.fm. Ada Last.fm user disini? Add me: blastingadith.


📖  Read, read, and read  📖

Saya demen baca buku apa saja. Mulai dari biografi, sejarah, even cookbook. Tapi novel tetep jadi pilihan utama. It’s amazing how the author creates their own world through splendid words. Saya selalu mengagumi itu. Saya bisa belajar banyak dari fiksi -- bagaimana keadaan psikologis, konteks zaman, background setting… semuanya terkait membentuk satu realita baru, yang sedikit banyak beririsan dengan kehidupan nyata. Penulis adalah tuhan sepertinya bukan sekedar hiperbola, at least menurut saya. At the moment saya suka sekali dengan Haruki Murakami. Saya sedang membaca 1Q84 (sudah sampai Book 2). Sudah khatam Kafka on the Shore, Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage, dan Norwegian Wood. Yang ngantri masih ada 3: 


Selain Murakami yang hitungannya sastra modern, saya demen banget sama literatur Jepang pasca-perang. Belum ada yang menggeser Kinkakuji (The Temple of the Golden Pavilion) besutan Yukio Mishima di hati saya. Bahkan, No Longer Human-nya Osamu Dazai saya pakai buat subjek utama undergrad thesis saya.

Baca hal-hal yang dirasa ngga penting juga obat ampuh buat ngusir bosen. Dari rasa keingintahuan mengenai hal-hal kecil bisa menuntun saya menemukan hal besar yang bagi saya menakjubkan. Sebagai contoh, saat saya itung-itungan gaji tetiba ada train of thought, “kenapa upah 2 mingguan ini bisa dinamai salary ya?” Dalam kamus New Oxford American Dictionary, kata salary diartikan sebagai
a fixed regular payment, typically paid on a monthly or biweekly basis but often expressed as an annual sum, made by an employer to an employee, esp. a professional or white-collar worker
Sedangkan kamus Merriam-Webster mendefinisikannya dengan lebih sederhana:
fixed compensation paid regularly for services
Ternyata perlu pendekatan sejarah yang lumayan bikin mata saya siwer untuk menemukan asal-muasal kata salary ini. Kita harus kembali ke abad ke-13 untuk mengetahuinya karena, seperti yang ditulis dalam Kamus Etimologi New Oxford, kata salary merupakan kata serapan dari bahasa Latin salarium, atau sal saja, yang artinya ‘untuk membeli garam’. Lha, kok garam? Apa hubungannya sama gaji? Oh, ternyata menurut catatan sejarawan yang bernama Pliny, yang dituangkan dalam bukunya Plinius Naturalis Historia XXXI, pada zaman itu di Roma para tentara digaji dengan garam. Begitu rupanya. Dianggap sebagai alat tukar, garam diperlakukan selayaknya uang. Dan, kita tahu sendiri, uang adalah akar dari umpan ketamakan.

Maka dari itu, tidaklah heran kenapa tentara Roma getol sekali menyerang pesisir Laut Adriatik untuk menyabotase persediaan garam Turki dan melidungi Via Salarium (Jalur Garam, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jalur Sutra). Muncullah kemudian data minor, walaupun tidak begitu akurat, yang menyebutkan bahwa kata bahasa Inggris soldier (‘tentara’) sendiri berasal dari kata Latin sal dare, yang artinya ‘memberi garam’. Pada akhir abad 14, bahasa Anglo-Perancis menyerapnya menjadi salarie guna menyebut ‘bayaran dari atasan ke bawahan untuk semua pekerjaan, bukan hanya tentara saja’. Kemudian, kata tersebut berevolusi secara fonologis dan ortografis dalam bahasa Inggris menjadi salary, dengan makna yang sama. Begitulah kira-kira runutan etimologis kata salary. Ngga nyangka ternyata salary itu asal muasalnya dari garam.

[paragraf diatas adalah tulisan saya, partially pernah dimuat di majalah linguistik dan sastra Lidahibu 16 Maret 2012, dengan modifikasi seperlunya]

Menarik, bukan? Selain menambah wawasan, memenuhi rasa keingintahuan akan hal kecil dengan membaca adalah jurus boredom killer nomor wahid.


🎮 Main game 🎮

Karena saya lebih mementingkan gameplay daripada grafik, pilihan saya jatuh ke Nintendo 3DS XL. Kenapa? Karena praktis bisa dibawa-bawa kemana aja. Game-game nya pun nggak pernah ngebosenin buat dimainin. After all, I have special bond with videogaming. Bisa dibaca di Diari Papi Ubii yang ini:

Baca: Diari Papi Ubii #2 - Is Video Gaming Really That Dangerous?


🍺 Hangout with good friends 🍺

Kata Jim Morrison, “friend is someone who gives you total freedom to be yourself”. Nah, berkumpul dengan teman dekat dapat pula jadi katalis di saat rasa bosan menyerang -- selain maintain our social life tentunya. Ngga bosen apa interaksinya cuma sekedar bales-balesan komen di social media? Tatap muka langsung tentunya lebih seru kan ya?


Foto ini adalah saat saya sedang bertemu dengan teman saya pas S2 sekolah seni dulu - kebetulan doi baru ada occasion ke Jakarta. Banyak yang komentar, “Eh kamu ketemuan ama cewe gitu apa Grace ngga cemburu, Dit?” Lah, saya heran, apanya coba yang bisa dicemburui dari 2 teman sharing good vibes? Dan jawabannya: nggak, Grace nggak cemburu. Walaupun saya dan Grace jauh-jauhan, saya tetap memberi update regarding my whereabouts untuk meminimalisir prasangka dan pikiran negatif. Dan ini sudah tahun 2017 ya. Mentang-mentang saya jalan sama lawan jenis berdua bukan berarti saya auto-selingkuh.

Been in long-distance marriage really elevates our fidelity to the next level.

Baca: Memeriksa Hp Pasangan, Yay Or Nay?


✌ Gundam! ✌

Ini termasuk hobi baru buat saya - baru mulai kira-kira tahun 2014. Memang dari kecil saya demen banget yang namanya mecha. Untuk Gunpla pertama, saya memilih model MBF-02 Strike Rouge dari seri Gundam SEED dengan alasan: warnanya pink. Ini penting biar dapet izin dari Grace hahaha…

Baca: Hobi Suami, Didukung Nggak Ya?


Bermula dari ini, sekarang saya sudah punya belasan Gunpla…


Dan bahkan beberapa belum sempet saya rakit…


Selain untuk mengenyahkan rasa bosan, merakit Gundam memberikan kepuasan berlapis bagi saya. Mulai dari proses pembuatan, memilah-milah parts, menempel decal, suara “klik” yang bunyi tiap part digabungkan, paintjob (walaupun saya hanya melakukan base-lining dan pewarnaan yang sangat minimal), sampai akhirnya menyatukan parts satu demi satu membentuk satu entitas miniatur robot raksasa ini, they really give me a glimpse of paradise.

“Halah Dit itu kan mainan anak kecil?”

Tetot. Salah. Gunpla ini nggak jauh beda dengan main puzzle. Otak kamu bakal fully occupied. Motorik dan logika berjalan beriringan. Even bikin saya kelelahan, tapi asyik. No wonder untuk pengerjaan, saya bisa memakan 3-5 hari, tergantung dari grade unit dan ketersediaan waktu. Percaya deh, nggak bakal bosen mainan ini. Saran saya untuk pemula, bisa coba merek yang non-Bandai. Walaupun build quality-nya ngga sebagus Bandai, tapi harganya sangat terjangkau.


👪 Last but not least: Facetime with the loved ones 👪

Ini benar-benar senjata jitu untuk menghilangkan rasa bosan. Sesering mungkin saya Facetime-an sama Grace dan anak-anak. Walaupun pada prakteknya sekarang sudah tidak dilakukan sesering dulu dengan alasan susah cari waktu yang cocok. Grace yang sibuk dengan ngurus anak-anak, ngurus blog, ngurus komunitas, tentu saja susah waktu senggang. But once we do it, kita bakal ngobrol apa aja, intensely. Sering juga sesi Facetime didominasi sama mukanya Aiden yang tiba-tiba ngerusuhin -- atau poor connection sehingga call-nya jadi putus nyambung terus malah bikin bete. But the weird thing is, setiap kali Facetime dan saya melihat rumah yang berantakan melalui layar hp/laptop, I could smell the scent of my home. It feel close as if I am in the same place with my family. Thanks to the technology!


Kok jadi sendu ya?

Anyway, pernah ada yang nanya: “So how do you cope with your primordial needs: sex?”


Hahahaha!! Ya udah sih biasa aja. LDM saya bukan yang separah meninggalkan keluarga bekerja di rig pengeboran minyak lepas pantai atau kru kapal pesiar yang baru bisa pulang 6 bulan sekali. Jarak saya dan Grace hanya 1 jam penerbangan dan saya biasanya pulang seminggu sekali. Jumat sore pulang naik pesawat, Minggu malam balik naik kereta malam - sampe Jakarta hari Senin pagi, balik apartment, langsung berangkat kantor. So, ada interval 3 hari dalam seminggu dimana saya bertemu Grace. So far ya kebutuhan “primordial” saya masih bisa terpenuhi tanpa adanya gangguan yang substansial.

That’s it: I have six weapons to kill the boredom. Mungkin ada saran atau sugesti kegiatan baru untuk mengusir rasa bosan? How about you guys? I really want to know how do you cope with boredom. Write your story/suggestion/anything on the comment.

Thank you very much for reading!

***

Grace:

Tulisan Adit lebih kayak mengusir kebosanan in general yah sebenernya. To be honest, kalau mengusir kebosanan dalam pernikahan, Adit dan saya sama-sama bingung. Karena so far kami belum pernah yang bosan nya gimana-gimana banget sampai harus ada tips tersendiri.

Jenuh tentu pernah lah ya. Capek lagi kangen kok waktunya nggak pas mau video call-an. But that's it. Cuma perasaan jenuh dan capek selewat doang, yang bisa diatasi dengan ngelakuin hobi masing-masing.

Hobi Adit ya yang dia jembreng di atas.

Sooo, for you yang mengharapkan tips nya lebih nendang, we're sorry we couldn't satisfy your curiosity. Mungkin bisa sambil baca-baca postingan lama yang berlabel marriage aja yaahh.

Baca: Falling In Love With You A Thousand More Times

Baca: Kenapa Berhenti Romantis

Baca: Pacaran Dengan Suami

Baca: Pernikahan Tidak Semudah Bilang 'I Do'

Have a lovely weekend y'all!

Anyway, dari beberapa ide tulisan yang masuk, ada ini juga:

💜 Cerita masa kecil yang paling membekas sampai punya efek ke pembentukan karakter yang sekarang dan efeknya ke pola parenting yang pengin diterapin ke Ubii dan Aiden dari @melliahanum

💜 Tentang tato dari @vickylaurentina dan @fely_ina

💜 What I recommend you: single or married dari @logophile_est2016

Ada juga ide tentang konflik internal dan eksternal sebelum akhirnya kami bisa menikah karena kami beda agama. But Adit and I agree that this topic is not really a blogging material. Hehehe. Maafkeun yaaa. I hope you can understand.




Love,





9 comments:

  1. aku salfok sama fotonya Aiden duh itu pasti bikin papah Adit meleleh abis karena aku juga kalau lagi dinas luar kemudian videocall udahnnya baper pengen cepet pulang.
    dan setuju mba kalau musik emang bikin ga bosan kalau aku DLK juga aku di hotel sendirian abis vidcall lalu nyanyi pake Smule sampe ngantuk hahaha ampuh mengurangi sepi dan takut :p

    ReplyDelete
  2. Aku juga setahun ini LDM Jogja-Pekalongan, dimana seminggu dua minggu sekali suami pulang via travel. 7jam perjalanan hihihi.
    Sementara aku di Jogja sibuk menjalani peran dan belajar jadi ibu baru, suami di Pekalongan full beraktivitas sebisa mungkin emang jangan sampai ada waktu ngelamun. Soalnya kalau sampai ngelamun, serem. Doi gampang kepikiran macem-macem hal kecil sekalipun, jatuhnya malah stress, terus sakit. Nah, Biasanya doi suka dengerin musik, main game, streaming video-video basket sama race downhill gitu-gitu, jogging (pagi/sore) se-mood-nya doi, sepedaan atau basket (hobby utama), kadang muter Pekalongan. Dimana Pekalongan sering banget ada event kaya karnaval �� bukan saran yg tepat buat papi Ubii sih kan ya Jkt macet parah masa iya sepedaan sore yg ada gak ngusir bosen eh jadi bosen iya wkwkwk, cuman share aja ya mami Ubii..

    ReplyDelete
  3. Baca tulisan ini, aku jadi paham, sesungguhnya yang terakhir itu pembunuh kebosanan yang paling absolut. Ehehehe ... *tetiba tak butuh bir dan genjrang-genjreng.
    Mih, maen ageh ke Malang :))

    ReplyDelete
  4. Gua suka banget dengan poin "read".
    Itu memang short escape yang paling manjur sih. Berasa di bawa ke negri dongeng (n nover bakalan selalu jadi pilihan utama)

    Soal jauh dari keluarga, gua ga gituh ngerti sih,
    (I'm not married anyway)

    tapi..
    kalo tentang kebosanannya 8 to 4 worker, gua ngerti banget.
    :(

    Actually, klo lg bosan, n mw melewatkan waktu, mungkin jalan-jalan sebentar atau nonton juga boleh jadi pilihan sih..
    :D

    ReplyDelete
  5. Gabut nih, cuddling kuy tuh gimana ya maksudnya?��

    ReplyDelete
  6. Aku pribadi udh trauma utk jalanin LDR :) . Secara prnh gagal gara2 itu :p. Jd kapok. Tp dulu sih pas msh jaman2 merasakan LDR ama si ex, pastilah aku jg bosen sesekali. Yg paling srg aku lakuin, boleh percaya ato ga ges, itu belajar :D. Serius, wkt itu dlm pikiran, kuliahku di malaysia hrs tepat wktu, supaya bisa kumpul lagi. Makanya aku jrg kemana2, demi bisA nyeleseiin mata kuliah tanpa mengulang. Yaaaa walopun, yg di sono yaa kliatannya ga punya pikiran yg sama :p. Tp ya sud... Masa lalu itu :p

    ReplyDelete
  7. Sebenarnya aku lumayan lama follow blog mbak grace. Tapi karena tulisannya kebanyakan parenting dan aku belum punya anak, aku bingung juga mau komen apa. Gak mau maksain komen yang gak nyambung. Hehehe.
    Di tulisan ini, kebetulan aku juga sesama LDM. banyak yang masih menganggap LDR setelah menikah adalah hal yang aneh dan rawan bagi sebuah rumah tangga karena memang membuka banyak jalan untuk bersama dengan orang lain. Tapi aku percaya sih, selama pasangan kita saling percaya dan komitmen, hubungan LDR pun bisa dijalani dengan lancar. Aku sih LDR malang-batang, cuma sekitar 8 jam perjalanan via kereta api dengan frekuensi pertemuan 2-3 minggu sekali. Sejauh ini gak ada masalah. Cuma badan yang agak capek karena aku dan suami gantian saling mengunjungi.

    ReplyDelete
  8. beres-beres rumah, berkebun. itu juga bisa ngilangin rasa bosan lho :D

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^