Showing posts with label #GraceOnMedia. Show all posts
Showing posts with label #GraceOnMedia. Show all posts

Wednesday, December 31, 2014

Surat Dari Mami Ubii di For Her Jawa Pos


Melihat teman-teman blogger dan penulis yang sering mengirim tulisan ke surat kabar, sebenernya saya kepengen juga. Tapi, selalu masih nggak pede. Nggak pede dan bingung mau nulis apa sih. Hehehe.

Saya ingat banget hari itu tanggal 15 Desember 2014, saya sedang siap-siap mengantarkan Ubii untuk fisioterapi rutinnya. Tiba-tiba saya mendapat LINE dari Mba Puspita dari Jawa Pos. Mba Puspita ini adalah reporter yang dulu mewawancarai saya untuk rubrik For Her Jawa Pos. Ceritanya bisa dibaca di sini yah. Mba Puspita bertanya kok saya nggak ikutan lomba menulis surat untuk anak yang diadakan oleh Jawa Pos? Wuih, saya malah nggak tahu ada hajat itu. Jadi semangat banget saya untuk ikutan. Jadi saya langsung cari infonya. Ketemu deh infonya di sini.

Badalah. Ternyata deadline nya tanggal 15 Desember 2014 which means hari itu juga. Mana sempat saya bikin, apalagi pas banget mau mengantar Ubii fisioterapi malam itu. Jadi saya LINE Mba Puspita lagi, saya bilang batal aja deh ikutan. Kayaknya nggak bakal sempat. Tapi, Mba Puspita menyemangati saya terus. Saya jadi ikutan semangat. Coba-coba aja ah. Nggak berhasil juga nggak apa-apa karena emang bikinnya nggak semedi dulu.

Sunday, December 21, 2014

Grace Melia & Rumah Ramah Rubella di Liputan 6 SCTV


Puji syukur, diberi kesempatan sekali lagi untuk memperkenalkan Rumah Ramah Rubella melalui media, tepatnya media tipih. Lagi-lagi, datangnya nggak saya duga. Begini ceritanya. Oktober 2014 lalu, Rumah Ramah Rubella berulangtahun yang pertama. Sebagai bentuk syukuran sederhana, kami mengadakan Toys Charity di mana kami mengumpulkan donasi berupa uang dan mainan bekas layak dimainkan kemudian kami bagikan ke anak-anak difabel di Rumah Ramah Rubella. Saya sebar pamfletnya di mana-mana. Ya di Facebook, Twitter, WhatsApp, dan Path. Rupanya, ada kakak angkatan saya semasa kuliah yang ikut membagikan infonya ke teman-temannya. Ndilalah, salah satu temannya ada yang berprofesi sebagai reporter untuk program Liputan 6 SCTV. Puji syukur, Mas Dika, sang reporter, tertarik untuk mengenal saya lebih lanjut dan juga Rumah Ramah Rubella. Jadilah, saya dikontak sore-sore untuk arrange jadwal taping dan interview. Lesson learned: Tuhan selalu bukakan jalan lewat tangan-tangannya yang nggak pernah kita duga. Thank God.

Wednesday, September 24, 2014

42 Influencers di Majalah Femina


Berkat ini dimulai dari sebuah colekan di Facebook di suatu siang. Ternyata dari Mak Lies Wahyoeni, seorang sahabat dari Kumpulan Emak Blogger. Saat itu Mak Lies men-tag saya dalam kolom komentar status Fan Page Femina Magazine yang mencari sosok The Influencers. Mak Lies merekomendasikan saya.

Friday, August 15, 2014

Mejeng di For Her Jawa Pos


Hai hai hai, kali ini saya mau berbagi cerita sambil bernarsis ria ya. Hehehe. Pengen cerita tentang pengalaman saya diulas di media cetak Jawa Pos dalam rubrik For Her. Walau ini bukan kali pertama saya diizinkan Tuhan diulas di media, tetap saja pengalaman ini punya warna dan cerita tersendiri untuk saya. Terima kasih untuk Mbak Puspita, reporter yang luwes juga Mas Bayu, fotografer yang sabar untuk kesempatan berharga ini.

Kesempatan ini datang dengan cara sederhana. Suatu siang menjelang sore ada telepon dari Mbak Puspita. Mbak Puspita menanyakan kesediaan saya untuk diulas di Jawa Pos. Kebetulan Mbak Puspita memang sedang mencari sumber di Jogja. Selain saya, ada juga Mbak Herlina Dewi, PimRed Stiletto Book, yang akan ikut diwawancara. Rencananya saya akan diwawancara di kantor Stiletto saja biar sekalian dan Mbak Puspita lebih hemat waktu dan tenaga cari lokasi. Berhubung lokasi nggak di rumah, otomatis saya harus menitipkan Ubii di rumah Eyang nya. Jadi, pertama-tama, saya izin ke suami dulu, boleh nggak. Syukurlah, suami saya yang budiman itu *tsah* kasih lampu ijo. Yeay!

Setelah Mbak Puspita dan Mas Bayu sampai di kantor Stiletto, agenda pertama adalah foto-foto dulu untuk liputannya karena Mas Bayu masih ada tugas lain jadi nggak bisa menunggu kami selesai wawancara. Walau saya amatir, boleh kan saya berbagi tips. Barangkali bermanfaat kalau kalian diulas di media yang butuh foto on the spot juga. Hehehe.

Tips supaya cethar membahana di media cetak ala Gesi:
  1. Sebelum hari-H tanya dulu ke orang media, ada dress code nggak *halah* Takutnya salah kostum kan. Hehehe.
  2. Pilih pakaian yang sopan tapi tetap kamu banget.
  3. Enaknya sih pilih outfit yang adem karena foto-foto itu bisa keringetan loh. (Atau cuma saya ya?)
  4. Kalau info wawancara sudah datang jauh hari sebelumnya, mending pilih pakaian jauh-jauh hari juga biar nggak makan waktu pagi-pagi bingung mau pakai baju apa. Saya nggak pilih baju jauh-jauh hari. Pas hari-H, baru sadar ternyata baju yang saya rencanakan mau dipakai masih di laundry. Ihiks. Gagal deh tampil maksimal.
  5. Kalau kamu ngerasa nggak fotogenik, jangan malu jangan galau minta bantuan fotografer atau reporter nya untuk mengarahkan pose yang oke. Malu bertanya sesat di jalan. Malu minta bantuan alhasil foto nggak cethar.
  6. Kalau kamu terbiasa foto dengan angle dari samping atau memiringkan kepala supaya pipi tembem kamu tersamarkan, PLEASE, latihan dulu foto dengan pose 'normal' di depan cermin. Untuk Jawa Pos, ternyata nggak bolehin narasumber foto dengan gaya alay kepala miring walaupun kita sudah nunjukkin gimana tembemnya pipi kita kalau foto dari depan. Jadi, biar nggak kagok foto dengan angle yang nggak biasanya kita lakukan, mending latihan dulu deh. Hehehe.
  7. Kalau kamu merasa nggak oke difoto sehingga pengen diulang-ulang-ulang sampai ada foto yang kamu rasa paling spektakuler mending, jangan sepelekan pentingnya mencairkan suasana dengan ngobrol dan bercanda bareng fotografer dan reporter. Lumayan bisa nutupin rikuh nya. Mereka juga jadi lebih sabar. Huehehehehe.
  8. Kalau akhirnya kamu beneran nggak juga dapat foto yang oke terus minta ulang-ulang, jangan lupa bilang 'Maaf ya ngerepotin' dan 'Makasih banyak-banyak ya' sama fotografer dan reporternya. Hihihihi.
Sesi foto kemarin bener-bener bikin saya keringetan. Saya terbiasa foto dengan angle dari samping atau memiringkan kepala saya karena pipi saya tuh tembem bukan main. Kalau di foto dari depan, astaga, muka saya jadi pipi semua isinya. Meweknya, Mbak Puspita bener-bener wanti-wanti kalau di Jawa Pos sebaiknya nggak foto model begitu. Hiks. Pupus sudah harapan saya untuk tampil kece di foto. Berhubung sama sekali nggak terbiasa foto dari depan, foto saya jelek terus (Yang mau ngejek silahkan grr). Akhirnya saya sering minta fotonya diulangi. Hehehe. Setelah diulang-ulang, foto saya....masih jelek. Pasrah deh. Aslinya ya begini. Tapi Mbak Puspita nggak membiarkan saya menyerah *tsah bahasanya*. Mbak Puspita yang akhirnya malah makin getol mengarahkan gaya saya dan meminta Mas Bayu untuk mengulangi foto. Syukurlah, akhirnya dapet juga foto yang mendingan (maksudnya muka saya ya, bukan kualitas fotonya) dan nggak alay.

Ini foto saya dengan angle miring dari samping yang ditolak mentah-mentah sama Mbak Puspita. Tapi syukurlah, saya kebagian simpen foto ini buat kenang-kenangan. Hehehe.


Nah ini foto dari depan yang dikehendaki Jawa Pos. Bandingkan sama foto dengan pose dan angle ala Gesi. Yang ini pipi semua, kan? :'))))


Selesai foto-foto, wawancara dimulai. Awalnya Mbak Puspita mewawancara Mbak Herlina Dewi duluan. Saya nungguin sambil ngerusuhin kantor Stiletto. Hehehe. Kelar ngobrol dengan Mbak Dewi, giliran saya pun tiba. So let's get started! Mbak Puspita tampak sudah cukup well-prepared dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Wawancara berlangsung santai dan mengalir sambil ditemani secangkir kopi. Setelah pertanyaan-pertanyaan yang Mbak Puspita siapkan sudah habis, Mbak Puspita bertanya, "Masih pengen cerita tentang apa nih Mbak Ges?" Jadi hari itu saya puas dan seneng banget dengan sesi wawancara nya. Rasanya semua hal yang ingin saya bagikan baik tentang Ubii, Rumah Ramah Rubella, dan buku saya yang berjudul Letters to Aubrey bisa saya ceritakan selengkap-lengkapnya (semoga ya).


Akhirnya profil saya benar-benar ada di rubrik For Her koran Jawa Pos hari Rabu, 6 Agustus 2014 kemarin. Overall saya suka banget dengan tulisan Mbak Puspita. Caranya menceritakan, memberikan judul, memberikan caption foto, dan menggambarkan apa yang saya alami itu pas banget menurut saya. Thank you very much, Mbak Puspita! Thank you, Jawa Pos! :))

Nah ini profil saya yang ditulis oleh Mbak Puspita di Jawa Pos, barangkali ada yang pengen baca tapi nggak sempat beli koran nya. :)

***

Hati Hancur Cinta Tak Luntur

Grace Melia Kristanto, 25, tidak menyadari adanya virus dalam tubuhnya semasa hamil. Hingga kemudian sang buah hati lahir dengan kondisi congenital rubella syndrome. Hatinya hancur. Namun, cinta pada si kecil tak pernah luntur. Bahkan, Grace berjuang membuat wadah untuk orangtua seperti dirinya.

TAK ada yang curiga pada kondisi kesehatan bayi dalam kandungan ketika Grace Melia mengalami demam dan ruam di tubuh. Kata dokter, Grace hanya perlu beradaptasi karena baru pindah dari Jawa ke luar pulau. Apalagi, ini adalah kehamilan pertamanya. Grace yang semula khawatir kembali lega.

Hingga saat anaknya lahir pada 19 Mei 2012. Kondisi bayi yang diberi nama Aubrey Naiym Kayacinta itu tidak begitu baik. Terlambat menangis dan sulit bernapas pertanda ada kelainan pada otak dan jantung. Ubii, panggilan sayang Aubrey, melakoni serangkaian tes. Mulai tes ekokardiografi, tes pendengaran, hingga USG otak. Semua hasilnya merupakan kabar buruk. Grace ditanya dokter, "Dulu ibu kena rubella, ya. Sebelum hamil ibu tes TORCH tidak?"

Untuk kali pertama dalam hidupnya, istri Aditya Suryaputra itu mendengar TORCH dan rubella. "Pulangnya saya langsung googling, ditemani suami. Saya baca sambil bergetar, bahkan tak sanggup melanjutkan bacaan. Semuanya cocok, gejala sejak kehamilan hingga kejanggalan perkembangan Ubii sekarang," kenang ibu muda kelahiran 1989 itu saat ditemui di Jogjakarta pekan lalu.

Ubii mengalami congenital rubella syndrome sehingga menderita gangguan pendengaran berat, kelainan jantung, dan retardasi (kelainan) motorik. Pada kasus sejenis, biasanya anak terinfeksi rubella bawaan alias sejak lahir, mengidap katarak hingga kebutaan. Syukurlah mata Ubii sehat.

Rubella adalah salah satu kawanan TORCH, yaitu toxoplasma gondii (toxo), rubella (campak jerman), cyto megalo virus (CMV), dan herpes simplex virus (HSV). Jika seorang ibu punya virus itu pada dirinya, ketika hamil besar kemungkinan mengakibatkan gangguan kesehatan bawaan yang fatal pada jabang bayi. "Itu pentingnya screening TORCH sebelum hamil. Dampaknya pada anak semengerikan ini. Saya merasa bersalah sekali pada Ubii," ungkap alumnus Sastra Inggris Univeritas Sanata Dharma Jogjakarta tersebut.

Menurut informasi dokter, memang virus yang ada di tubuh ibu tidak bisa hilang. Tapi, ada saat virus itu lemah. Bila kesehatan ibu dijaga dengan baik sehingga virus menjadi lemah, jabang bayi bisa baik-baik saja.

Menghadapi kenyataan itu, Grace shock, sedih, dan putus asa. Tapi dia sadar bahwa Ubii membutuhkan ibu yang kuat untuk menyokongnya menjadi anak yang kuat juga. Grace segera mencari grup diskusi bagi orangtua yang dikaruniai anak-anak seperti Ubii. Selain butuh teman seperjuangan, Grace butuh banyak informasi untuk membesarkan Ubii. "Ternyata banyak anak yang lahir seperti Ubii karena ketidaktahuan orang tua seperti saya. Padahal, dengan screening TORCH dan vaksin, hal seperti ini bisa dicegah," jelas perempuan yang aktif sebagai mami blogger itu.

Grace pun tergerak untuk mengampanyekan sadar TORCH dan mewadahi segala macam informasi tentang rubella. Dia membuat note di Facebook, menulis di blog pribadi, hingga akhirnya berbagi di komunitas parenting. Responsnya luar biasa. "Akhirnya, saya bikin Rumah Ramah Rubella secara online. Ada informasi mulai dari pencegahan sampai penanganan. Kami anggap semuanya keluarga dalam satu rumah yang sedang berjuang bersama," jelas Grace.

Rumah Ramah Rubella dibentuk pada 2 Oktober 2013. Kini lebih dari 1000 anggota bergabung. Dengan Rumah Ramah Rubella, semua bisa saling menyokong. Misalnya di luar pulau jawa, apalagi di Jayapura, masih banyak kekurangan tenaga medis. "Ada anggota dari Jayapura mau CT-scan anaknya di Jakarta dibantu anggota di Jakarta. Ditampung menginap dan direkom rumah sakitnya," cerita Grace mencontohkan.

Rumah Ramah Rubella pun membuat channel YouTube untuk melihat video sesi fisioterapi dan panduannya untuk bisa dilakukan sendiri di rumah. "Tidak semua orang tua punya akses membawa anaknya fisioterapi. Terkendala jarak atau biaya, video ini bisa membantu," imbuh Grace yang belum berencana menambah momongan karena masih ingin fokus membesarkan Ubii itu.

Beberapa kali Grace atau Rumah Ramah Rubella mendapat kesempatan untuk tampil di depan publik seperti diundang ke acara talk show atau pembicara di seminar-seminar parenting dan kesehatan. Tentu saja ini disambut gembira. "Impian kami, bahaya TORCH itu dapat diketahui sebanyak mungkin orang," harap Grace.

Perempuan yang tahun ini terpilih sebagai Kartini Next Generation versi Kementrian Komunikasi dan Informatika itu ingin orang aware TORCH sebelum tertular dan menurun pada anaknya. (puz/c17/ayi)

BERDASAR PENGALAMAN: Grace dalam salah satu gathering yang diadakan Rumah Ramah Rubella

***

Bukukan Perasaan di Letters to Aubrey

PADA minggu-minggu pertama kelahiran Ubii, Grace belum tahu apa yang terjadi pada buah hatinya itu selain kebocoran jantung. Ubii sangat rewel. Tidak bisa berhenti menangis kecuali ditimang dan didekap untuk diberi ASI. Datang ke dokter, Grace dihujani diagnosis yang membuatnya langganan menangis di depan dokter. Hati yang berkecamuk membuat Grace setengah hati mengurus Ubii.

"Sebelum tahu Ubii nggak bisa dengar, aku cerewet sekali. Mengajak ngobrol dan nyanyi setiap waktu. Sering mendongeng juga. Setelah itu, jadi merawat dalam diam," kenang Grace yang baru mengetahui kondisi Ubii beberapa bulan setelah melahirkan.

Grace dan suami, Aditya, memutuskan hidup mandiri, terpisah dari orangtua sejak menikah. Mereka hanya merawat Ubii berdua. Keduanya sering uring-uringan dan berujung pada pertengkaran karena capek dan tidak mau saling mengerti.

"Hal sepele bisa jadi masalah, saling menuntut. Waktu itu kami masih belum deal with all these things. Kami berdua sampai ikut hipnoterapi pasangan lho. Akhirnya saya dan suami sepakat, kami butuh manajemen stres yang bagus demi Ubii," kenang Grace menghadapi masa sulit itu.

Mereka mulai saling menghargai keluhan pasangan. "Saya capek, papinya siap menggantikan. Begitu pula kalau Papi bilang capek, saya sama sekali tidak akan menuntut macam-macam. Kalau dua-duanya capek, Ubii dititipkan sama eyang dan kami punya waktu berdua," jelas Grace.

Dengan kekompakan, mereka berharap Ubii tumbuh menjadi anak yang kuat dan percaya diri. Grace bersyukur suaminya selalu mendampingi apa pun agenda untuk Ubii, seperti melakoni berbagai tes, berobat, hingga kunjungan fisioterapi. Grace memilih menulis di blog untuk menyalurkan semua hasrat "cerewet"-nya pada sang buah hati. "Saya nggak sabar pengin ngobrol sama Ubii. Jadi, saya bikin semacam surat di blog untuk dibaca Ubii kelak. Biar suatu hari nanti, Ubii tahu orangtuanya selalu cinta sama dia," jelas Grace.

Isi surat-surat itu berisi curhat, cerita keseharian, tindakan medis, kisah manis, hingga terapi yang dijalani Ubii di rumah. Saat ini surat-surat di blog itu sudah dibukukan dengan judul Letters to Aubrey. "Bisa jadi kisah penyemangat dan informatif ibu-ibu seperti aku. Sebagian hasilnya disumbangkan untuk Rumah Ramah Rubella," kata Grace. (puz/c7/ayi)

ANUGERAH ISTIMEWA: Grace dan suami, Aditya Suryaputra, serta si kecil Aubrey.


***

Yang Sering Ditanyakan pada Grace

Apa itu Rubella?
Rubella atau campak jerman adalah virus yang ditularkan lewat cairan tubuh penderita, bisa air liur maupun darah. Bagaimana sampai ada virus rubella yang masih belum diketahui sampai sekarang. Rubella termasuk dalam virus TORCH.


Apa dampaknya pda ibu hamil?
Pada ibu hamil, virus rubella mengakibatkan sang ibu demam akut, mata berair karena infeksi, sendi-sendi ngilu, dan keluar ruam di sekujur tubuh. Ibu hamil menularkan virus tersebut ke anak sehingga anak mengalami congenital rubella syndrome atau rubella bawaan.

Apa yang terjadi pada anak dengan congenital rubella syndrome?
Jantung bocor, gangguan pendengaran, katarak, microcephally, retardasi psikomotorik, dan kognitif.

Adakah upaya peneymbuhannya?
Tidak bisa berharap untuk sembuh 100% dan seperti anak-anak sehat kebanyakan. Tetapi, satu per satu bisa diringankan dengan pola asuh, pengobatan medis, dan berbagai terapi. Misalnya, menggunakan alat bantu dengar, operasi katarak, dan fisioterapi.

Bagaimana mencegahnya?
Melakukan tes pre-marital atau screening TORCH untuk memastikan kondisi ibu sehat siap hamil. Juga, disuntik vaksin MMR, yakni Measles (campak), Mumps (gondongan), dan Rubella (campak jerman).

Mengapa rumah ramah rubella?
Mengampanyekan bahaya TORCH sehingga bisa dicegah. Berbagi informasi dan saling menguatkan untuk mengasuh anak-anak yang spesial. Selain itu, ingin mewadahi donatur untuk membantu orangtua yang tidak mampu mengobati putra-putrinya di masa mendatang. Sebab, biayanya sangat mahal. (puz/c15/ayi)

APRESIASI: Terpilih sebagai Kartini Next Generation 2014 versi Kemenkominfo
***
Selain versi cetaknya, ternyata ada juga versi online nya. Hehehe. Nggak selengkap di versi cetak sih. Bisa diintip di sini.



Kayaknya itu dulu deh di postingan ini. Semoga tips foto saat diulas di media cetak bisa terpakai. Huahahaha. Semoga info seputar TORCH, khususnya Rubella ini bisa bermanfaat buat kita semua ya. :)



Love,


Ges



Tuesday, January 7, 2014

'Bersyukur Buah Hatiku Masih Bisa Melihat Dunia' di Tabloid Wanita Indonesia

Credit

Blog post kali ini masih berlabel #GraceOnMedia. Ini cerita saya di media yang terakhir sampai saat ini. Tapi semoga suatu saat dapat kesempatan lagi. AMIN. :)

Kemunculan saya di Tabloid Wanita Indonesia ini lagi-lagi diawali dengan hadirnya saya di Press Briefing #TitikBalik Manulife. Puji Tuhan. Event yang menyenangkan tersebut membuka banyak pintu untuk saya; bisa masuk di beberapa media, jalan-jalan di Mall besar Jakarta, dan berkenalan dengan banyak kawan baru yang hebat-hebat. Saya datang ke acara tersebut padahal hanya ingin memenuhi undangan dan ingin menceritakan Rumah Ramah Rubella. Sungguh, ini adalah berkat yang luar biasa besar di tahun 2013. Terimakasih Tuhan.

Mbak Riana, reporter Tabloid Wanita Indonesia yang menulis cerita tentang saya ini, mewawancarai saya via telepon. Pembicaraan kami santai. Banyak tawa dan canda yang menemani perbincangan kami. Mbak Riana juga terbilang well-prepared. Buktinya, ia menyodorkan banyak pertanyaan yang bagus dan informatif. Mbak Riana mengetik jawaban saya sambil berbicara di telepon. She's one multitasking girl, I suppose. :) Mbak Riana juga mengulas cerita saya dengan lengkap; mulai dari awal perjalanan saya, awal penerimaan saya terhadap kondisi Ubii, dan yang terpenting, tentang Rumah Ramah Rubella. Hal terakhir ini lah yang paling saya tunggu-tunggu. Semoga Rumah Ramah Rubella bisa menggandeng lebih banyak lagi orangtua untuk berbagi bersama. Semoga para orangtua yang merasa sendiri dan bingung atas kondisi buah hatinya bisa menemukan komunitas ini karena mereka butuh dukungan. Namun, ada beberapa hal yang perlu dikoreksi. Di Tabloid Wanita Indonesia disebutkan bahwa saya sudah tahu kondisi Ubii sejak ia masih berada dalam kandungan. Sebenarnya nggak begitu. Saya baru mengetahui dengan pasti bahwa Ubii terkena Congenital Rubella Syndrome saat ia sudah berusia 5 bulan. But it's okay. Humans make mistakes, don't they? :)

Mimpi apa saya melihat cerita tentang saya ditampilkan di dua halaman penuh? Ya Tuhan, rasanya sungguh luar biasa. Bercampur aduk antara senang, nggak percaya, speechless, terharu, dan bangga pada diri sendiri. Bangga yang saya rasakan bukan bermaksud sombong. Sungguh. Saya bangga karena ternyata saya bisa bangkit dari keterpurukan atas kondisi Ubii. Tentunya itu semua nggak lepas dari dukungan banyak pihak; orangtua, mertua, saudara, om, tante, dosen, dan teman-teman, baik secara moril mau pun materiil. Nggak mungkin saya bisa sekuat ini dan dikisahkan dalam rubrik Kisah Sejati di Tabloid Wanita Indonesia tanpa adanya support dari mereka semua.

Saya ingin menuliskan cerita saya dalam rubrik Kisah Sejati di Tabloid Wanita Indonesia yang terbit tanggal 19 Desember 2013 itu di sini. Siapa tau ada yang penasaran dan sudah nggak bisa nemu di agen koran lagi. Hehehe. So, this is it, 'Bersyukur Buah Hatiku Masih Bisa Melihat Dunia' dalam Tabloid Wanita Indonesia.
Note: Nama lengkap saya yang salah, saya betulkan.

***

Kehamilan sering dianggap sebagai momen yang menjadikan seorang wnaita sempurna sebagai wanita. Begitu pun yang dirasakan Grace. Hingga kemudian dia berubah marah pada Tuhan saat buah hatinya divonis mengidap Congenital Rubella Syndrome (CRS) yang membuat putri cantiknya mengalami kebocoran jantung dan terganggu pendengarannya. Namun kemudian ia sadar, Tuhan pasti punya rencana yang indah dibalik setiap musibah. Dengan keyakinan itu ia mendirikan Rumah Ramah Rubella.

Kini, wnaita cantik itu sudah bisa tersenyum tulus menghadapi liku hidupnya. Ia memandang semua dengan kacamata keindahan. Itulah yang terpancar jelas di wajah putihnya saat menjumpai WI awal Desember lalu. Senyum tulusnya terpancar saat menyambut dengan sapaan ramahnya.

Selanjutnya dengan suara lembutnya Grace membagi kisah hidupnya.

MENJALANI BAHTERA RUMAH TANGGA DI USIA BELIA

Perkenalkan, namaku Grace Melia Kristanto, biasa disapa Grace. Usiaku kini 24 tahun. Saat kuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, aku sudah sering membayangkan, jika lulus kelak, aku ingin meniti karier di tempat yang keren. Puji syukur setelah lulus aku mendapat pekerjaan yang kuharapkan di Kalimantan.

Namun kemudian aku galau. Kalau aku ambil kesempatan ini berarti aku harus berjauhan dengan kekasihku yang masih menempuh pendidikan di Yogyakarta. Entah kenapa aku agak khawatir menjalani hubungan jarak jauh. Karenanya, saat aku menginjak usia 22 tahun, aku memutuskan untuk melepas masa lajang, bahagia dipersunting kekasih yang kucinta, Aditya Suryaputra.

Menghadapi bahtera rumah tangga di usia yang masih cukup muda memaksaku untuk berlatih mandiri. Berbekal pengetahuan dari kedua orangtua, aku menjalani dan menikmati masa-masa indah menjadi seorang istri. Sambil menemani suamiku melanjutkan pendidikan S2 di Yogyakarta, aku sibuk menulis dan mencurahkan hari-hariku dalam blog pribadiku. Oh ya, aku memang hobi menulis.

Tak lama setelah menikah, rupanya Tuhan langsung memberikan kepercayaan padaku untuk mengandung buah hati kami. Trimester pertama kehamilan tidak terlalu menyulitkan. Aku tidak mengalami morning sickness yang berlebihan. Mungkin karena aku juga sangat antusias dengan kehamilan ini.

Namun kondisi sangat berbalik ketika menginjak usia kandungan 5 bulan. Aku stres sekali. Tidak hanya secara emosional, fisikku pun sering mengalami gangguan seperti demam, nyeri, bahkan lemas. Bawaannya nggak pengin ngapa-ngapain, maunya tiduran saja.

Demam menurun, masalah berganti dengan munculnya bintik-bintik merah di sekujur tubuhku. Tak mau tinggal diam, suamiku yang melihat kepanikanku turut khawatir dan mengajakku periksa ke dokter.

Aku makin kebingungan, karena dokter mengatakan aku tidak sakit. Demikian juga dengan bayiku, katanya baik-baik saja. Merasa masih aman, aku sama sekali tidak mengkhawatirkan kondisi bayi dalam kandunganku.

Namun lama-kelamaan aku lebih sering mengalami nyeri dan demam. Akhirnya aku mencari alternatif pendapat dengan berkonsultasi pada dokter kandungan lain. Sampai tiga dokter kandungan yang aku kunjungi, namun hasilnya nihil. Tidak ada yang mengatakan aku sakit.

Akhirnya, aku mulai mencari tahu sendiri dengan melakukan tes darah. Rupanya aku terkena virus TORCH. Dalam pencarian aku menemukan artikel yang mengatakan bahwa virus itu sangat berbahaya bagi bayiku. Di Indonesia belum banyak ibu hamil yang mengetahui virus ini. Jujur, belum pernah aku mendengar tentang virus TORCH.

SEMPAT MARAH SAMA TUHAN

Aku bertahan dan berusaha berpikir positif, menghilangkan kekhawatiran dalam hatiku. Hingga akhirnya usia kandunganku mencapai 9 bulan, waktuku untuk melahirkan. Sebenarnya aku ingin melahirkan secara normal. Namun karena dokter melihat ada pengapuran, akhirnya diputuskan untuk diambil tindakan sesar. Apapun caranya, aku bersyukur bayiku lahir dengan selamat.

Bayi perempuan mungil nan menggemaskan itu kemudian kami beri nama Aubrey Naiym Kayacinta. Nama ini sengaja aku pilih karena memiliki arti yang bagus. Aubrey berarti penuh belas kasih, Naiym kuambil dari bahasa Ibrani yang artinya kesayangan Tuhan. Sedangkan Kayacinta artinya aku berharap anakku dicinta oleh banyak orang.

Bayi mungil itu membuat hari-hariku dan suami lebih berwarna. Sampai akhirnya kami menyadari ada yang aneh padanya. Bayiku terus menerus menangis, hanya terdiam saat tidur. Tubuhnya pun terlihat kurang aktif bergerak seperti kebanyakan bayi lainnya.

Kelahiran Aubrey adalah anugerah, namun arti anugerah itu kemudian sempat bergeser menjadi sebuh musibah karena anakku divonis mengidap Congenital Rubella Syndrome (CRS). CRS berasal dari virus Rubella yang menyerang kehamilanku pada trimester ketiga (harusnya pertama). Rubella adalah virus dalam kelompok TORCH, sungguh virus yang jahat karena menyebabkan anakku terkena kebocoran jantung, gangguan pendengaran sangat berat, retardasi psikomotorik, dan radang otak.

Aku marah sama Tuhan, mugnkin itulah perasaanku saat mendnegar Aubrey harus terkena virus Rubella. Aku bingung, aku marah sama Tuhan, kenapa kok tega ngasih cobaan segitu beratnya. Usiaku masih muda, masih banyak rencana ke depan yang ingin aku jalani bersama dengan anakku.

Kekesalanku tidak berhenti sampai di situ, aku menjadi pribadi yang mudah emosi bahkan suamiku pun kena getahnya. Dari situlah muncul konflik-konflik kecil yang lama kelamaan membuat hubunganku dengan suami merenggang.

Belum hilang rasa lelahku, kedua orangtua ku ikut bingung harus berbuat apa. Virus itu memang belum banyak diketahui sehingga mereka tidak tahu harus bagaimana selain menangis dan meratapi nasib.

Di balik semua keluh kesah dan air mataku, aku masih menyimpan sejuta tanya pada Tuhan. Sepanjang malam aku terus berdoa supaya aku bisa mengatasi ini semua. Karena selain marah, aku yakin Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar batas umatnya.

Dari beberapa dampak yang ditimbulkan oleh Rubella, aku masih besyukur karena anakku tidak kehilangan indra penglihatannya. Itu artinya, Tuhan masih memebrikan kesempatan padaku untuk bertatapan langsung dengannya. Ah, kalau begini, satu indra saja terasa sangat berarti.

Sebetulnya aku masih menyimpan sedikit rasa kecewa pada para dokter anak yang kala itu menanganiku. Semua sama sekali tidak memebritahukan masalah dan bahaya Rubella. Sudah sekitar 4 hingga 5 dokter yang aku hubungi dan mereka memberikan pernyataan yang sama. "bayinya tidak apa-apa, mungkin belum banyak bergerak karena usianya juga belum aktif untuk melakukan banyak kegiatan. Lagian ibu juga masih muda kan, wajar kalau trauma masalah seperti ini," begitu kata dokter.

RUMAH RAMAH RUBELLA

Rasa putus asa sesekali memang masih menghantui, tapi aku sadar harus segera musnahkannya demi kesembuhan putriku. Bersamma suami, kami mulai rajin membawa Aubrey berobat. Kami mengajaknya melakukan fisioterapi tiga kali seminggu. Tujuh macam obat, empat kali sehari dan konsultasi ke dokter syaraf anak, sudah menjadi makanan harian bagi kami.

Jika awalnya aku sempat marah pada Tuhan, namun akhirnya aku mulai kuat. Aku bisa bangkit dan percaya bahwa dunia itu indah. Aku pun terinspirasi untuk berbagi cerita Aubrey lewat tulisan. Tak ada maksud lain, aku hanya ingin mengingatkan agar orangtua lebih waspada dalam perencanaan kehamilan.

Aku dihadapkan pada realita yang mencengangkan. Rupanya sama sepertiku, banyak orangtua yang awam tentang TORCH, baik tentang akibat dan pencegahannya. Banyak yang memilih tidak memproteksi kehamilannya karena biaya screening TORCH dan vaksin MMR dirasa mahal. Tak hanya itu, banyak pula yang terlanjur memiliki anak dengan TORCH tapi tidak tahu harus bagaimana.

Sementara itu minimnya alokasi dana dari dinas kesehatan utnuk anak TORCH kongenital juga menjadi salah satu kendala. Sosialisasi dari narasumber kesehatan serta dinas kesehatan mengenai TORCH pun masih sangat minim. Bahkan biaya untuk mengobati dampak TORCH pun tidak tercover asuransi.

Kenyataan-kenyataan demikian kemudian menggelitik hatiku. Apa yang bisa kulakukan? Membantu dalam segi biaya, tentu tak mungkin karena aku masih membutuhkan banyak biaya untuk Aubrey. "Lalu apa?" tanyaku dalam hati.

Aku kemudian terpikir untuk menghadirkan Rumah Ramah Rubella. Ini adalah salah satu bukti kepedulianku terhadap ibu-ibu hamil yang belum tahu banyak soal TORCH dan bahayanya. Meski baru aku rintis sejak bulan Oktober lalu, namun aku tidak menyangka bahwa jumlah anggotanya sudah mencapai 285 orang. Terdiri dari ibu-ibu muda yang hamil.

Rumah Ramah Rubella adalah komunitas terbuka yang diperuntukkan khususnya bagi para orang tua dengan anak yang terkena Congenital Rubella Syndrome. Orang tua yang sekedar ingin tahu apa itu Congenital Rubella Syndrome dan dampaknya atau ingin tahu tentang fisioterapi, pengasuhan, dll dan ibu dengan anak yang spesial juga boleh bergabung. Di sini kita semua berbagi, belajar, dan berkeluh kesah bersama mereka yang memiliki pengalaman yang sama soal TORCH.

Filosofinya sederhana, Rumah adalah di mana kita memiliki anggota keluarga. Ramah adalah attitude yang kita harapkan antar anggota keluarga. Rubella mengacu pada virus Rubella yang menyatukan perjuangan kami. Harapanku, di rumah ini dapat menyosialisasikan TORCH, berbagi informasi seputar pengobatan dampak TORCH dan membantu mencari donatur untuk meringankan beban biaya yang kurang mampu.

Komunitas ini sebetulnya lahir dari hobiku menulis di blog mengenai bahaya TORCH. Lambat laun, banyak respon masuk dan akhirnya kami semua saling bertukar informasi serta pengalaman kesehatan terutama mengenai TORCH.

SEDIKIT-SEDIKIT LAMA-LAMA JADI BUKIT

Aku belum berbuat sesuatu yang besar. Aku hanya ingin bilang bahwa kita semua punya kuasa penuh untuk membuat musibah apa pun dalam hidup kita bertransformasi menjadi berkat bagi diri sendiri dan orang lain.

Rencananya,, tahun depan Rumah Ramah Rubella akan semakin giat mengampanyekan TORCH. Dengan mengadopsi prinsip komunitas pengumpul koin, Coin A Chance, kami akan membuat celengan Rumah Ramah Rubella dan turun ke jalan.

Harapan kami, tentunya masyarakat tidak merasa terlalu terbeban dengan dimintai donasi berupa koin. Kesempatan ini juga akan digunakan untuk menyosialisasikan TORCH, mulai dari pencegahan, dampak pada janin, hingga penyembuhan dampaknya.

Aku juga mengagendakan untuk mendekati dinas kesehatan dan WHO guna mendukung misi ini. Meski sibuk dengan komunitas ini, aku juga kini tengah mempersiapkan buku yang berisi tentang cerita Aubrey dan Rubella. Sejauh ini prosesnya sudah mencapai 95%. Setelah terbit nanti, rencananya beberapa persen hasil penjualan buku akan disumbangkan pada Rumah Ramah Rubella.

Prinsip sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit aku yakini benar. Marilah kita membuat perubahan mulai dari lingkup terkecil. Walau dimulai dari hal kecil asal ditekuni dengan kesungguhan, niscaya akan bermanfaat. Hidup sungguh terlalu berarti untuk dihabiskan dengan menyenangkan diri sendiri. Mari buat perubahan!

***


Friday, January 3, 2014

'Jadilah Ibu yang Luar Biasa' di Koran Jakarta

Credit
Blog post ketiga hari ini. Hihihi. I am so on fire today. Beberapa hari belakangan ini capek badan dan pikiran, jadi netbook tua ini jadi teman mengusir jenuh. Yeay! Blog post ini masih saya labeli dengan #GraceOnMedia

Masih ingat nggak cerita saya di Press Briefing #TitikBalik Manulife? Saya cerita bahwa ada seorang mbak yang mewawancarai saya tapi saya lupa si mbak ini dari media mana. Nah, ternyata ia dari Koran Jakarta. Namanya Mbak Eka. Orangnya berjilbab dan manis. Kalau bicara lembut sekali, beda banget dengan saya yang cempreng. Hehehe.

Mbak Eka, saat di Press Briefing #TitikBalik Manulife, berjanji bahwa ia akan menghubungi saya jika artikel yang ditulisnya sudah akan terbit. Dan, ia menepati janjinya. Hore. Terimakasih Mbak Eka. Dua hari sebelumnya Mbak Eka mengirimkan SMS pada saya untuk meminta saya mengirimkan foto saya berdua dengan Ubii. Untuk Koran Jakarta, saya memilih foto saya berdua dengan Ubii yang masih jarang nongol. Hehehe.

Tulisan tentang saya di Koran Jakarta ini singkat saja karena digabung dengan cerita mama-mama lain yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus. Namun, walau hanya sedikit, saya suka artikel yang ditulis oleh Mbak Eka ini. Saya suka diksi yang ia pilih dan bagaimana ia merunutkan cerita saya dan Ubii hanya dari wawancara kami yang singkat. Mbak Eka, ini 4 jempol buat kamu! :)

Cerita tentang saya dan Ubii serta tiga mama lain dimuat dalam Koran Jakarta yang terbit pada hari Sabtu, 21 Desember 2013 lalu. Hampir bertepatan dengan Hari Ibu ya. Maka dari itu judul utama nya juga menggambarkan kasih seorang ibu. Hehehe. Judul utama tulisan Mbak Eka dalam rubrik Rona ini adalah A Mother's Unconditional Love. Untuk cerita tentang saya dan Ubii, Mbak Eka memberi subjudul 'Jadilah Ibu yang Luar Biasa'

Yuk kita baca bersama-sama, kan pasti sudah sulit cari koran terbitan berhari-hari yang lalu. Hehehe. Yang saya tulis hanya cerita tentang saya dan Ubii saja ya.

***

"Tuhan Jahat." Kalimat itu tak kuasa keluar dari Grace Melia Kristanto (24) saat pertama kali mengetahui kondisi putri pertamanya, Aubrey Naiym Kayacinta (18 bulan), didiagnosa mengidap penyakit Congenital Rubella Syndrome (CRS).

"Kenapa Tuhan kasih ini buat aku. Aku masih muda, masih banyak impian - kenapa dikasih tanggung jawab sebesar ini?," ungkap Grace yang baru mengetahui kondisi tersebut saat putrinya beranjak usia lima bulan.

"Apalagi, ternyata banyak yang harus saya lakukan, entah itu fisioterapi, USG jantung, CT-Scan, dan lain sebagainya, yang membutuhkan biaya tidak sedikit," lanjut Grace. Virus CRS membuat Ubii - begitu ia memanggil sang buah hati - memiliki gangguan syaraf, pendengaran, motorik, dan kelainan jantung.

Namun, seiring berjalannya waktu, Grace sadar bahwa terus-menerus meratapi nasib dan komplain bukanlah pilihan yang baik. "Ubii nggak boleh punya ibu yang kayak gitu. Itu awalnya aku bangkit."

Ia butuh sekitar dua sampai tiga bulan untuk melewati proses menerima kondisi Ubii. Selama rentang waktu itu, Grace mengaku sering menangis sehingga membuatnya setengah hati mengurus kondisi sang putri. "Saya sadar kalau saya lemah, putri saya tidak jadi anak yang kuat," tukas dia.

Grace akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai English trainer dan lebih fokus mengurus sang putri. Tak sampai di situ, menyadari pengetahuan mengenai CRS di Tanah Air sangat minim, Grace akhirnya membuat jembatan komunikasi dengan ibu-ibu yang mengalami kondisi sama. Ia pun mendirikan komunitas Rumah Ramah Rubella, sebuah komunitas di jejaring sosial untuk saling berbagi informasi dan pengalaman mengenai virus Rubella.

Ia pun berpesan pada orang tua yang mengalami kondisi yang sama. "Jangan dengar orang bilang anakmu cacat, kurang, anggaplah anakmu luar biasa dalam artian positif. Supaya mereka bisa luar biasa dalam makna yang benar-benar positif, jadilah ibu yang luar biasa buat mereka."

***


'Gigih Membesarkan Anak yang Terpapar Virus Rubella' di Kompasiana[dot]com

Credit

Halo halo halo. Wuih, hari ini saya sedang bersemangat blogging. Hehehe. Blog post kali ini masih bercerita tentang kemunculan saya di media. Huehehe. Semoga belum pada bosan *senyum manis*

Kemunculan di Kompasiana[dot]com ini lagi-lagi dibukakan jalannya oleh event Press Briefing #TitikBalik Manulife yang diselenggarakan di Kota Kasablanka 5 Desember 2013 silam. Berbeda dengan Mbak Anna dari Kompas[dot]com yang mengirimkan beberapa pertanyaan untuk saya jawab via email, penulis artikel ini, Mas Harja Saputra, nggak melakukan itu. Mas Harja menuliskan artikel ini hanya dari cerita saya yang saya ikutkan dalam kampanye #TitikBalik dan dari beberapa jawaban yang saya berikan atas pertanyaan MC acara tersebut, Mbak Desy Novianti.

Meski begitu, saya pribadi menyukai artikel yang ditulis oleh Mas Harja ini. Mas Harja nggak hanya menulis tentang saya dan bagaimana perjuangan kami menghadapi Congenital Rubella Syndrome pada Ubii, tapi juga memberikan fakta mengenai virus Rubella menurut WHO. Tentu ini adalah nilai tambah bagi sebuah artikel, at least for me. Jadi pembaca juga dapat mendapatkan informasi seputar virus Rubella secara objektif dari sudut pandang medis, nggak hanya dari saya sebagai ibu yang bersentuhan langsung dengan Rubella. Selain itu, Mas Harja juga melengkapi artikel ini dengan beberapa foto yang apik. Apik karena saya terlihat nggak gendut-gendut amat. Hahaha. No, that was a joke. Saya suka cara Mas Harja menampilkan foto saya; dari angle maupun dari caranya meng-highlight foto tulisan saya. Saya nggak tahu apa istilahnya dalam fotografi, tapi fotonya bisa dilihat di akhir blog post ini. :)

Dari segi koreksi, Mas Harja juga saya acungi jempol. Awalnya Mas Harja menulis panggilan saya adalah Meli. Saya geli aja sih membacanya. Rasanya aneh membayangkan nama panggilan saya Meli. Hehehe. Kemudian saya iseng memberi komentar di bawah tulisan Mas Harja. Saya bilang kalau panggilan saya adalah Grace. Nggak sampai setengah jam, Mas Harja mention saya di Twitter untuk memberitahukan bahwa nama saya sudah dikoreksi. Padahal saya nggak berharap sampai sejauh itu loh. Sungguh. Thanks anyway, Mas Harja! :)

Ada yang ingin membaca artikel Mas Harja dengan judul 'Gigih Membesarkan Anak yang Terpapar Virus Rubella' itu? Monggo :)

***

"Gusti mboten sare", Tuhan tidak tidur, kasih sayang-Nya senantiasa menaungi seluruh alam semesta ini, tidak terkecuali bagi ciptaan-Nya, manusia.

Hal ini yang dirasakan seorang Gracie Melia Christanto (Grace), baginya hidup berjalan begitu sempurna mengalir tanpa halangan yang berarti. Mimpi untuk menjadi seseorang yang bisa berguna bagi banyak orang telah terwujud, menjadi english trainer untuk pekerja tambang pada sebuah perusahaan besar, juga impian tentang cinta, mencintai dan dicintai, kemudian membentuk sebuah keluarga yang bahagia telah ada dalam genggamannya. Lalu selesai?


Ternyata semua itu belum selesai. "Berguna bagi banyak orang" ia temukan bukan ketika dia bekerja pada perusahaan besar, bukan juga ketika dia mengabdi mengajarkan bahasa Inggris kepada para pekerja tambang. "Berguna" itu ketika hidup mengantarkannya pada sebuah titik-balik, buah cintanya terkasih, Aubrey Naiym Kayacinta (Ubii) didiagnosa mengidap penyakit Congenital Rubella Syndrome (CRS).

Jika sebuah titik balik pada banyak kisah-kisah inspiratif yang terjadi di seluruh dunia ini acapkali berujung manis, bagi seorang Gracie Melia Christanto semuanya terbalik 180 derajat. Buah hatinya Ubii, mengalami penyakit jantung bawaan, kehilangan pendengaran, dan gangguan sistem motorik baik yang halus maupun kasar, hingga masalah berat badan. Semua penyakit ini akibat terpapar virus rubella.


Virus rubella, menurut WHO dalam Fact sheet N°367 bukanlah sebuah virus yang berbahaya jika menyerang, virus ini hanya menyebabkan demam pada bayi dan anak-anak, namun lain halnya jika virus ini menyerang ibu hamil muda, "When a woman is infected with the rubella virus early in pregnancy, she has a 90% chance of passing the virus on to her fetus. This can cause miscarriage, stillbirth or severe birth defects known as CRS (congenital rubella syndrome). Children with CRS can suffer hearing impairments, eye and heart defects and other lifelong disabilities, including autism, diabetes mellitus and thyroid dysfunction."

Kondisi yang sangat berat dan mengguncang bagi siapapun yang mengalami, sebuah titik balik yang tidak akan dipilih oleh siapapun juga jika bisa memilih.


Namun inilah hidup, dan seorang Gracie Melia Christanto sudah ditetapkan untuk menjalaninya. Tuhan tahu ia pasti bisa serta mampu menjalankannya.


Adilkah Semua Ini?

Mengundurkan diri dari pekerjaan adalah suatu hal yang pertama diambilnya, fokus akan pengobatan sang buah hati menjadi sebuah prioritas utama. Ketika ia mengalami itu, satu kata yang terlontar bernada protes "Kenapa Tuhan begitu jahat pada saya??"


Sedih dan juga frustasi, sedih menghadapi semua ini, dan frustasi tidak terbiasa diam di rumah. Namun tanpa dia sadari alam ini begitu bijak menyapanya dalam kesedihan, perlahan pikirannya mulai terbuka.


"Kalau saya lemah siapa lagi yang mampu menahan beban semua ini", ujar Grace.


Menulis adalah senjata utama dalam mengusir semua rasa emosi-emosi yang mengendap, dari sini barulah dia sadari ternyata banyak sekali kondisi-kondisi persis seperti yang dia alami. Semangat berbagi, semangat saling menguatkan, semangat saling membantu telah hidup dalam dirinya. Hingga sampai tulisan-tulisan itu dibaca oleh produser TV nasional dan mengundangnya untuk menjadi narasumber, hanya satu tujuannya sekarang yaitu, keinginan untuk memberikan sebuah kesadaran akan bahaya CRS bagi banyak orang, apa yang harus dilakukan para wanita sebelum hamil.


Rumah Ramah Rubella kemudian berdiri berdasarkan sebuah gagasan dia bersama dua orang temannya, sebuah komunitas yang saling berbagi informasi tentang dampak dan cara-cara menghadapi penyakit CRS ini, dan tentu saja menggerakkan donator bagi para penderita CRS yang kurang mampu, mengingat biaya pengobatan masih tergolong mahal.


Inilah kisah titik balik bagi seorang Gracie Melia Christanto, ketika impiannya "berguna bagi banyak orang" telah menetapkan dia berada pada jalan ini. Ia juga dinobatkan sebagai salah seorang Pemenang "Kisah Titik Balik Terinspiratif" yang diadakan oleh Manulife bersama 2 orang lainnya yang mempunyai cerita tak kalah menarik, Kamis (5/12), di Mall Kota Casablanca.


Kampanye Titik-Balik

Kampanye kisah inspiratif yang bertema titik-balik (turning point) ini merupakan program edukasi dari dan untuk masyarakat yang diadakan oleh Manulife sejak bulan September 2013. Ada 1.118 kisah titik-balik yang merupakan kisah nyata masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.


Melalui kampanye Titik Balik, Manulife Indonesia menemukan dua hal utama yang paling diperjuangkan oleh masyarakat:


"Pendidikan dan kesehatan merupakan dua hal yang paling diyakini dapat meningkatkan taraf hidup di masa depan," ujar Nelly Husnayati, Vice President Director & Chief Agency, Employee Benefits & Sharia Officer, PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia.


"Itu sebabnya, pendidikan dan kesehatan menjadi sumber inspirasi luar biasa bagi masyarakat untuk bangkit dari apapun tantangan dan rintangan hidup yang dihadapi".


Menurut Alexander Sriewijono, psikolog UI yang ikut berpatisipasi dalam kampanye, ia menuturkan pada saat talkshow bahwa kisah titik-balik adalah cerita yang memberikan semangat saat semuanya berbalik arah. Lebih dari 1.000 kisah Titik Balik yang terkumpul merefleksikan semangat masyarakat yang luar biasa untuk maju.

"Kumpulan kisah Titik Balik ini sangat powerful untuk menyemangati kita. Belajar dari kisah-kisah nyata ini, kita harus yakin bahwa apapun tantangan yang dihadapi, tiap orang mampu meraih masa depan yang lebih baik asalkan disertai niat yang lurus, kesungguhan dan perjuangan yang konsisten", ujar Alex.


Kisah-kisah ini bukan sekedar penghias memori, bernostalgia dengannya, atau hanya sarana untuk mengeluh, dan mengasihani diri sendiri. Kisah inspiratif adalah kisah yang dapat lebih menggugah rasa empati, kita seperti mendengarnya dari seorang kawan kita sendiri yang sedang "curhat". Kita bisa merasakan atmosfir kesedihan, kita bisa merasakan emosi dan kegalauan yang mendalam.

"Bahkan saya mungkin tidak akan kuat. Air mata saya ini menetes kalau mbak Grace meneruskan ceritanya. Hati saya begitu nelangsa begitu mendengar kalimat, "Kenapa Tuhan jahat sama saya?", tambah Alex.**


 ***






Thursday, January 2, 2014

'Melepaskan Mimpi demi Kesehatan Si Buah Hati' di Kompas[dot]com

Credit
Nampang di media kali ini adalah dalam Kompas[dot]com. Awal mula saya kenal dengan reporter sekaligus editor di Kompas.com yang bernama Mbak Anna adalah melalui acara Press Briefing #TitikBalik Manulife yang diselenggarakan di Mall Kota Kasablanka tanggal 5 Desember 2013 lalu. Kebetulan dalam acara itu memang banyak reporter yang hadir.

Sebenarnya Mbak Anna ingin bertanya-jawab sedikit dengan saya di acara Press Briefing #TitikBalik Manulife seusai acara. Apa daya, saya terburu-buru karena ada 2 teman saya yang menunggui. Akhirnya kami bertukar email saja.

Untung hari itu saya mengecek folder Spam, ternyata email Mbak Anna masuk di folder tersebut. Hihihi. Segera saya balas. Esoknya Mbak Anna mengirimkan permintaan untuk berteman di jejaring Facebook dan meminta izin untuk menyimpan beberapa foto saya untuk artikelnya. Boleh dong pastinya. :)

Besoknya, tepat tanggal 13 Desember, bertepatan dengan tanggal hari pernikahan saya, artikel tentang saya yang ditulis oleh Mbak Anna sudah muncul di website Kompas[dot]com. I personally love what she wrote. Ternyata Mbak Anna menyempatkan mengunjungi blog Letters to Aubrey saya dan menuliskan beberapa baris kalimat yang saya tulis dalam blog. Terasa sekali Mbak Anna benar-benar berusaha untuk menulis artikel yang bagus dan lengkap. Mbak Anna juga tak lupa menceritakan tentang Rumah Ramah Rubella, komunitas yang saya bentuk untuk mewadahi para orangtua dengan anak yang terinfeksi TORCH. Lengkap lah sudah artikel tersebut. Two thumbs up for Mbak Anna! :)

Artikel yang memuat cerita saya ini diletakkan dalam rubril Female dengan judul 'Melepaskan Mimpi demi Kesehatan Si Buah Hati'

***

Dari posisi kecewa dan marah kepada Tuhan, Gracie Melia Christanto berubah menjadi ibu yang kuat dan mensyukuri kehadiran Aubrey, putri pertamanya yang mengidap cacat bawaan akibat virus Congenital Rubella Syndrome. Ia juga mendirikan komunitas orangtua yang memiliki anak dengan kelainan yang sama.

Perasaan bahagia dan bersyukur akan kehadiran Aubrey Naiym Kayacinta pada 19 Mei 2012 dirasakan Gracie dan sang suami Aditya Saputra. Namun, ketika Aubrey menginjak usia 6 bulan, Gracie merasa curiga dengan banyaknya gangguan kesehatan yang dialami putri pertamanya.

Pada awalnya, Gracie tak memahami penyakit apa yang diderita buah hatinya. Baru ketika ia memeriksakan putrinya ke rumah sakit, dokter menanyakan mengenai pemeriksaan Torch ketika hamil. "Saya memang tidak melakukan pemeriksaan itu saat hamil," kata wanita berusia 24 tahun ini.

Infeksi Torch, yakni toksoplasmosis, rubela, cytomegalovirus, dan herpes simplex, sebenarnya bisa dideteksi dengan melakukan penapisan Torch pada trimester pertama kehamilan atau sebelum hamil sehingga jika ada infeksi bisa diobati.

Ubii, panggilan sayang untuk Aubrey, mengalami kebocoran jantung, gangguan pendengaran berat, retardasi psikomotorik, mikrosefali, gangguan berat badan, dan encephalitis (pengapuran otak). Gangguan-gangguan tersebut menyebabkan kemampuan motorik Ubii sangat terlambat. Pada usianya yang sekarang sudah masuk 19 bulan, Ubii baru bisa tengkurap sendiri. Berat badannya juga baru 8 kilogram.

Kemudian, setelah dilakukan pemeriksaan darah, ternyata Ubii positif mengidap virus Rubella, bahkan jumlahnya cukup banyak. Sejumlah pemeriksaan lain pun dilakukan pada hari itu, antara lain USG kepala.

"Semua hasilnya tidak bagus. Saya sangat sedih pada hari itu dan menangis di depan dokter dan sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit. Saya masih muda, mengapa saya diberi cobaan ini, bagaimana jika saya tidak kuat," demikian pikirnya.

Bila boleh memilih, tentu Gracie akan meminta kondisi yang berbeda dari yang saat ini. Ia masih ingin aktif bekerja dan mengambil gelar master. Bersama sang suami ia juga masih mengumpulkan uang demi keluarga kecil mereka. Tetapi, tampaknya Tuhan sudah memilihkan jalan ini untuknya.

Gracie kemudian mencoba mengingat-ngingat dari mana Ubii mendapatkan virus tersebut. Ternyata di kehamilan trimester pertama, Gracie pernah jatuh sakit. Gejalanya mirip dengan gejala flu; mata berair, lemas, nyeri pada otot, dan rasa mengantuk terus-menerus. Beberapa hari kemudian muncul bintik-bintik merah di sekujur tubuhnya.

"Saya tidak tahu kalau itu adalah Rubella atau cacar Jerman. Ketika itu dokter bilang kalau itu gatal biasa dan orang Jawa biasa menyebutnya gabagan. Saya baru tahu kalau itu Rubella setelah mencocokkan apa yang saya alami dengan artikel kesehatan tentang dampak Rubella pada ibu hamil," katanya.

Virus Rubella sebenarnya tidak berbahaya jika diidap anak-anak. Tetapi, virus ini sangat berbahaya jika diidap ibu hamil karena akan ditularkan pada janinnya.

Motorik Ubii yang terlambat membuat putri kecilnya ini harus digendong ke mana-mana. Padahal, sebagai ibu, Gracie sudah memimpikan bisa berjalan bergandeng tangan dan berkejar-kejaran dengan putri kecilnya ini.

Terapi

Meski mengaku sempat menyangkal kondisi buah hatinya, berkat dukungan suami dan keluarga besar, Gracie mulai bangkit dan bersemangat untuk mengobati Ubii. Gracie yang awalnya berprofesi sebagai guru bahasa Inggris untuk para pekerja tambang ini kemudian memilih meninggalkan pekerjaannya demi total mengurus Ubii.

Ubii melakukan fisioterapi di rumah sakit tiga kali seminggu, masing-masing selama satu jam. Putri kecil ini juga mengonsumsi obat-obatan untuk menurunkan kekakuan tubuhnya dan meningkatkan kerja sarafnya. Di usianya yang belum genap setahun, Aubrey harus mengonsumsi 7 obat dalam sehari.

Di rumah, Gracie dengan telaten melatih motorik dan pendengaran Ubii melalui modul yang ia dapatkan di internet. "Baru-baru ini saya mewarnai beras untuk melatih motorik halus pada tangan Ubii dan juga untuk mengenalkan warna," kata wanita yang berdomisili di Yogyakarta ini.

Informasi yang ia dapatkan dari internet kemudian ditulis ulang di buku latihan, termasuk latihan untuk merangsang pendengaran Aubrey.

Perlahan tetapi pasti banyak kemajuan yang dialami Aubrey, antara lain Aubrey sudah mulai berlatih duduk dari yang awalnya hanya bisa berbaring kaku. "Buat saya kemajuan ini sudah sangat luar biasa," kata wanita yang tampak selalu ceria ini.

Meski sempat kesulitan membiayai terapi Aubrey, ia merasa ada banyak pertolongan dari orang-orang di sekitarnya. "Pernah juga saya iseng mengikuti kuis dan ternyata mendapat hadiah yang lumayan, pokoknya ada saja rezeki Ubii," katanya.

Komunitas

Karena cukup aktif menulis tentang keadaan Aubrey di blog letters-to-aubrey-with-rubella.blogspot.com atau situs komunitas ibu dan anak, cukup banyak ibu-ibu yang memiliki anak dengan gangguan yang sama menghubunginya. "Kebanyakan dari mereka curhat kalau mereka merasa sendirian sehingga mereka merasa minder," ujarnya.

Kondisi itu membuat Gracie terpicu untuk membuat komunitas bagi para orangtua yang memiliki anak luar biasa seperti Ubii. Ia juga makin menyadari kurangnya perhatian para calon orangtua terhadap pentingnya pemeriksaan Torch dan vaksin MMR. "Salah satu misi kami di komunitas ini adalah menyosialisasikan pentingnya Torch," katanya.

Komunitas Rumah Ramah Rubella yang didirikannya memang kebanyakan berkomunikasi dengan para anggota melalui Facebook. "Kami belum sempat melakukan gathering karena anggotanya hampir dari seluruh Indonesia, termasuk dari Papua," katanya.

Ia juga rutin menerjemahkan materi latihan fisioterapi yang kebanyakan berbahasa Inggris. Belakangan, ia mulai diundang untuk mengisi sesi sharing di seminar ataupun talk show. Kisah Ubii yang ditulisnya juga memenangkan kisah terbaik dalam kampanye Titik Balik yang diadakan oleh perusahaan asuransi Manulife.

Untuk mengisi waktunya, Gracie kini membuat bando (headbands) bayi kreasinya sendiri. "Awalnya saya membuat hanya untuk Ubii, ternyata banyak yang pesan. Sekarang saya memiliki online shop sendiri. Hasilnya memang tidak banyak, tapi lumayan untuk membeli susu dan fisioterapi," katanya.

Kini Gracie merasa tak pernah lagi merasakan sesal, sedih, atau kecewa. Yang ada hanyalah perasaan bersyukur dan semangat untuk mendorong tumbuh kembang Ubii setiap harinya.

"Keinginan saya tidak muluk-muluk. Saya nggak berharap Aubrey bisa berprestasi di bidang ini atau itu, menjadi dokter atau apalah. Saya hanya berharap Aubrey bisa mencintai dirinya sendiri apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Saya berharap Aubrey juga bisa mencintai saya seperti saya mencintainya," ujarnya.

Dalam salah satu suratnya ketika Ubii berulang tahun ke-18 bulan, di blognya Gracie menulis:
Mami harap Ubii diberi kemampuan untuk melihat setiap cobaan menjadi tantangan, setiap kesulitan menjadi perjuangan yang harus diselesaikan, dan setiap ejekan menjadi motivasi untuk bertahan. Tidak mudah, memang. Tapi yakinlah, Ubii bisa. Pasti bisa.

***

Tuesday, December 31, 2013

'Aubrey Tidak Akan Minder' di Media Indonesia

credit
Leganya, saya sudah sampai di rumah dengan selamat setelah menghabiskan libur Natal di kampung halaman, Salatiga tercinta. Bayangan leyeh-leyeh setelah sampai di rumah langsung ambyar begitu melihat dapur. Yes, atap dapur beserta kanopi di atas area jemuran saya ambrol 2 minggu yang lalu. Sudah dibetulkan sih. Tapi piring dan kawan-kawannya belum ditata kembali ke tempatnya. FIUH! Batal deh acara leyeh-leyeh.

Ini nih penampakan atap dapur saya yang ambrol. Anyway, ambrol itu Bahasa Indonesia bukan sih? *misfokus*


Sebelum menata piring dan keroco-keroconya ke rak, saya ingin mengalasi permukaan rak dengan kertas koran. Mulai lah saya mengubek-ubek tumpukan koran bekas. Eh, nggak sengaja nemu harian Media Indonesia yang memuat saya, Ubii, dan suami. I want to remember this thing. Tulis di blog ah. :'))

Cerita tentang saya ini dimuat bersama cerita dua keluarga lain yang juga menjadi narasumber di Kick Andy untuk episode 'Aku Ingin Terus Hidup' yang ditayangkan tanggal 13 September 2013 lalu. Judul cerita keluarga saya adalah 'Aubrey Tidak Akan Minder'


***

PERJUANGAN tak kalah panjang juga dialami Aditya dan Grace Melia. Mereka memiliki seorang putri yang saat dalam kandungan terinfeksi virus rubella atau campak jerman. Aubrey, putri sulung mereka, mengalami gangguan pendengaran, kebocoran jantung, serta kerusakan syaraf otak.

Aubrey lahir pada 19 Mei 2012 melalui proses operasi sesar. Ketika dilahirkan, Aubrey tak menangis layaknya bayi pada umumnya.

Kondisinya sangat lemah sehingga harus dimasukkan ke inkubator. "Jadi harus dicubit dulu sama suster, baru menangis," ujarnya.

Ternyata, Aubrey tertular virus Rubella dari sang ibu. Kata Grace, ketika mengandung, tubuhnya mengalami gejala munculnya bintik-bintik merah di sekujur kulit.

Akibat virus itu, pertumbuhan Aubrey tak normal. Berat badannya kurang, sulit berbicara dan bergerak.

Sejak usia enam bulan, Aubrey menjalani fisioterapi di Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada, tiga kali seminggu.

Setelah selama delapan bulan menjalani fisioterapi, Aubrey berangsur membaik. "Sudah bisa bergerak, tengkurap, angkat kepala. Sekarang sudah bisa makan, kalau dulu sulit karena lidahnya sering keluar," kata Grace.

Grace dan Adit tak pernah menyesal memiliki Aubrey. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bagi mereka, Aubrey adalah anugerah dan berkat Tuhan.

"Meski penyakit ini sulit disembuhkan, Aubrey kami harapkan bisa tumbuh normal, tidak minder. Kami yakin dia bisa karena Aubrey sudah kami persiapkan dari sekarang," ujar Grace. (Pol/M-3)

***

And, yes, Ubii is a miracle from God! :)