Showing posts with label Letters to Aubrey. Show all posts
Showing posts with label Letters to Aubrey. Show all posts

Thursday, January 8, 2015

Tips Menambah Berat Badan Anak


Di buku Letters to Aubrey, salah satu kisah yang saya ceritakan adalah tentang betapa galaunya saya karena berat badan Ubii benar-benar stuck jalan di tempat selama 3-4 bulan. Saya masih ingat betul, memasuki usia 4 bulan sampai Ubii berusia 7 bulan, beratnya tetap di 4,7 kg saja. Setelah mencari tahu penyebabnya dan melakukan pengobatan, pola makan Ubii kemudian diperbaiki. Akhirnya kini berat badannya mulai baik dan konsisten naik, walau sedikit-sedikit. Sejak itu beberapa pertanyaan ditujukan pada saya tentang apa yang saya lakukan untuk memperbaiki berat badan Ubii. Mungkin bukan hal yang baru sebetulnya. Saya share di sini barangkali bisa bermanfaat. :)


Pertama-tama, kita perlu mencari tahu terlebih dulu kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan berat badan anak kita segitu-segitu aja. Dari pengalaman saya mengasuh Ubii dan hasil diskusi dengan dokter serta ahli gizi, hal-hal berikut ini bisa menjadi penyebab:

Wednesday, December 31, 2014

Surat Dari Mami Ubii di For Her Jawa Pos


Melihat teman-teman blogger dan penulis yang sering mengirim tulisan ke surat kabar, sebenernya saya kepengen juga. Tapi, selalu masih nggak pede. Nggak pede dan bingung mau nulis apa sih. Hehehe.

Saya ingat banget hari itu tanggal 15 Desember 2014, saya sedang siap-siap mengantarkan Ubii untuk fisioterapi rutinnya. Tiba-tiba saya mendapat LINE dari Mba Puspita dari Jawa Pos. Mba Puspita ini adalah reporter yang dulu mewawancarai saya untuk rubrik For Her Jawa Pos. Ceritanya bisa dibaca di sini yah. Mba Puspita bertanya kok saya nggak ikutan lomba menulis surat untuk anak yang diadakan oleh Jawa Pos? Wuih, saya malah nggak tahu ada hajat itu. Jadi semangat banget saya untuk ikutan. Jadi saya langsung cari infonya. Ketemu deh infonya di sini.

Badalah. Ternyata deadline nya tanggal 15 Desember 2014 which means hari itu juga. Mana sempat saya bikin, apalagi pas banget mau mengantar Ubii fisioterapi malam itu. Jadi saya LINE Mba Puspita lagi, saya bilang batal aja deh ikutan. Kayaknya nggak bakal sempat. Tapi, Mba Puspita menyemangati saya terus. Saya jadi ikutan semangat. Coba-coba aja ah. Nggak berhasil juga nggak apa-apa karena emang bikinnya nggak semedi dulu.

Tuesday, October 28, 2014

Peserta Lomba Review #LetterstoAubrey

Awal Oktober lalu, saya bersama Stiletto mengadakan Lomba Review #LetterstoAubrey di sini. Lomba review ini bisa berjalan berkat dukungan para sponsor. So, I'd like to say thank you very much to Blackmouz Milestone, Fitinline, Mothercare Indonesia, and Stiletto.

Tak ketinggalan, terima kasih juga untuk teman-teman yang sudah ikutan, yes. Ini dia daftar peserta Lomba Review #LetterstoAubrey: 

Monday, October 27, 2014

Lomba Review #LetterstoAubrey

Hola... Setelah ngadain Giveaway #LetterstoAubrey kemarin, kali ini saya dan Stiletto Book (dan tentu saja atas dukungan para sponsor) pengen ngadain seseruan bareng buku Letters to Aubrey lagi. Kali ini seseruannya adalah:

Lomba Review #LetterstoAubrey


Jembreng hadiahnya dulu ah biar pada semangat. Puji syukur, saya mendapat sponsor yang murah hati untuk mendukung Lomba Review #LetterstoAubrey ini. Thanks a bunch to Blackmouz Milestone, Mothercare, Fitinline, dan Stiletto Book. Ini dia hadiahnya:

Friday, August 15, 2014

Mejeng di For Her Jawa Pos


Hai hai hai, kali ini saya mau berbagi cerita sambil bernarsis ria ya. Hehehe. Pengen cerita tentang pengalaman saya diulas di media cetak Jawa Pos dalam rubrik For Her. Walau ini bukan kali pertama saya diizinkan Tuhan diulas di media, tetap saja pengalaman ini punya warna dan cerita tersendiri untuk saya. Terima kasih untuk Mbak Puspita, reporter yang luwes juga Mas Bayu, fotografer yang sabar untuk kesempatan berharga ini.

Kesempatan ini datang dengan cara sederhana. Suatu siang menjelang sore ada telepon dari Mbak Puspita. Mbak Puspita menanyakan kesediaan saya untuk diulas di Jawa Pos. Kebetulan Mbak Puspita memang sedang mencari sumber di Jogja. Selain saya, ada juga Mbak Herlina Dewi, PimRed Stiletto Book, yang akan ikut diwawancara. Rencananya saya akan diwawancara di kantor Stiletto saja biar sekalian dan Mbak Puspita lebih hemat waktu dan tenaga cari lokasi. Berhubung lokasi nggak di rumah, otomatis saya harus menitipkan Ubii di rumah Eyang nya. Jadi, pertama-tama, saya izin ke suami dulu, boleh nggak. Syukurlah, suami saya yang budiman itu *tsah* kasih lampu ijo. Yeay!

Setelah Mbak Puspita dan Mas Bayu sampai di kantor Stiletto, agenda pertama adalah foto-foto dulu untuk liputannya karena Mas Bayu masih ada tugas lain jadi nggak bisa menunggu kami selesai wawancara. Walau saya amatir, boleh kan saya berbagi tips. Barangkali bermanfaat kalau kalian diulas di media yang butuh foto on the spot juga. Hehehe.

Tips supaya cethar membahana di media cetak ala Gesi:
  1. Sebelum hari-H tanya dulu ke orang media, ada dress code nggak *halah* Takutnya salah kostum kan. Hehehe.
  2. Pilih pakaian yang sopan tapi tetap kamu banget.
  3. Enaknya sih pilih outfit yang adem karena foto-foto itu bisa keringetan loh. (Atau cuma saya ya?)
  4. Kalau info wawancara sudah datang jauh hari sebelumnya, mending pilih pakaian jauh-jauh hari juga biar nggak makan waktu pagi-pagi bingung mau pakai baju apa. Saya nggak pilih baju jauh-jauh hari. Pas hari-H, baru sadar ternyata baju yang saya rencanakan mau dipakai masih di laundry. Ihiks. Gagal deh tampil maksimal.
  5. Kalau kamu ngerasa nggak fotogenik, jangan malu jangan galau minta bantuan fotografer atau reporter nya untuk mengarahkan pose yang oke. Malu bertanya sesat di jalan. Malu minta bantuan alhasil foto nggak cethar.
  6. Kalau kamu terbiasa foto dengan angle dari samping atau memiringkan kepala supaya pipi tembem kamu tersamarkan, PLEASE, latihan dulu foto dengan pose 'normal' di depan cermin. Untuk Jawa Pos, ternyata nggak bolehin narasumber foto dengan gaya alay kepala miring walaupun kita sudah nunjukkin gimana tembemnya pipi kita kalau foto dari depan. Jadi, biar nggak kagok foto dengan angle yang nggak biasanya kita lakukan, mending latihan dulu deh. Hehehe.
  7. Kalau kamu merasa nggak oke difoto sehingga pengen diulang-ulang-ulang sampai ada foto yang kamu rasa paling spektakuler mending, jangan sepelekan pentingnya mencairkan suasana dengan ngobrol dan bercanda bareng fotografer dan reporter. Lumayan bisa nutupin rikuh nya. Mereka juga jadi lebih sabar. Huehehehehe.
  8. Kalau akhirnya kamu beneran nggak juga dapat foto yang oke terus minta ulang-ulang, jangan lupa bilang 'Maaf ya ngerepotin' dan 'Makasih banyak-banyak ya' sama fotografer dan reporternya. Hihihihi.
Sesi foto kemarin bener-bener bikin saya keringetan. Saya terbiasa foto dengan angle dari samping atau memiringkan kepala saya karena pipi saya tuh tembem bukan main. Kalau di foto dari depan, astaga, muka saya jadi pipi semua isinya. Meweknya, Mbak Puspita bener-bener wanti-wanti kalau di Jawa Pos sebaiknya nggak foto model begitu. Hiks. Pupus sudah harapan saya untuk tampil kece di foto. Berhubung sama sekali nggak terbiasa foto dari depan, foto saya jelek terus (Yang mau ngejek silahkan grr). Akhirnya saya sering minta fotonya diulangi. Hehehe. Setelah diulang-ulang, foto saya....masih jelek. Pasrah deh. Aslinya ya begini. Tapi Mbak Puspita nggak membiarkan saya menyerah *tsah bahasanya*. Mbak Puspita yang akhirnya malah makin getol mengarahkan gaya saya dan meminta Mas Bayu untuk mengulangi foto. Syukurlah, akhirnya dapet juga foto yang mendingan (maksudnya muka saya ya, bukan kualitas fotonya) dan nggak alay.

Ini foto saya dengan angle miring dari samping yang ditolak mentah-mentah sama Mbak Puspita. Tapi syukurlah, saya kebagian simpen foto ini buat kenang-kenangan. Hehehe.


Nah ini foto dari depan yang dikehendaki Jawa Pos. Bandingkan sama foto dengan pose dan angle ala Gesi. Yang ini pipi semua, kan? :'))))


Selesai foto-foto, wawancara dimulai. Awalnya Mbak Puspita mewawancara Mbak Herlina Dewi duluan. Saya nungguin sambil ngerusuhin kantor Stiletto. Hehehe. Kelar ngobrol dengan Mbak Dewi, giliran saya pun tiba. So let's get started! Mbak Puspita tampak sudah cukup well-prepared dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Wawancara berlangsung santai dan mengalir sambil ditemani secangkir kopi. Setelah pertanyaan-pertanyaan yang Mbak Puspita siapkan sudah habis, Mbak Puspita bertanya, "Masih pengen cerita tentang apa nih Mbak Ges?" Jadi hari itu saya puas dan seneng banget dengan sesi wawancara nya. Rasanya semua hal yang ingin saya bagikan baik tentang Ubii, Rumah Ramah Rubella, dan buku saya yang berjudul Letters to Aubrey bisa saya ceritakan selengkap-lengkapnya (semoga ya).


Akhirnya profil saya benar-benar ada di rubrik For Her koran Jawa Pos hari Rabu, 6 Agustus 2014 kemarin. Overall saya suka banget dengan tulisan Mbak Puspita. Caranya menceritakan, memberikan judul, memberikan caption foto, dan menggambarkan apa yang saya alami itu pas banget menurut saya. Thank you very much, Mbak Puspita! Thank you, Jawa Pos! :))

Nah ini profil saya yang ditulis oleh Mbak Puspita di Jawa Pos, barangkali ada yang pengen baca tapi nggak sempat beli koran nya. :)

***

Hati Hancur Cinta Tak Luntur

Grace Melia Kristanto, 25, tidak menyadari adanya virus dalam tubuhnya semasa hamil. Hingga kemudian sang buah hati lahir dengan kondisi congenital rubella syndrome. Hatinya hancur. Namun, cinta pada si kecil tak pernah luntur. Bahkan, Grace berjuang membuat wadah untuk orangtua seperti dirinya.

TAK ada yang curiga pada kondisi kesehatan bayi dalam kandungan ketika Grace Melia mengalami demam dan ruam di tubuh. Kata dokter, Grace hanya perlu beradaptasi karena baru pindah dari Jawa ke luar pulau. Apalagi, ini adalah kehamilan pertamanya. Grace yang semula khawatir kembali lega.

Hingga saat anaknya lahir pada 19 Mei 2012. Kondisi bayi yang diberi nama Aubrey Naiym Kayacinta itu tidak begitu baik. Terlambat menangis dan sulit bernapas pertanda ada kelainan pada otak dan jantung. Ubii, panggilan sayang Aubrey, melakoni serangkaian tes. Mulai tes ekokardiografi, tes pendengaran, hingga USG otak. Semua hasilnya merupakan kabar buruk. Grace ditanya dokter, "Dulu ibu kena rubella, ya. Sebelum hamil ibu tes TORCH tidak?"

Untuk kali pertama dalam hidupnya, istri Aditya Suryaputra itu mendengar TORCH dan rubella. "Pulangnya saya langsung googling, ditemani suami. Saya baca sambil bergetar, bahkan tak sanggup melanjutkan bacaan. Semuanya cocok, gejala sejak kehamilan hingga kejanggalan perkembangan Ubii sekarang," kenang ibu muda kelahiran 1989 itu saat ditemui di Jogjakarta pekan lalu.

Ubii mengalami congenital rubella syndrome sehingga menderita gangguan pendengaran berat, kelainan jantung, dan retardasi (kelainan) motorik. Pada kasus sejenis, biasanya anak terinfeksi rubella bawaan alias sejak lahir, mengidap katarak hingga kebutaan. Syukurlah mata Ubii sehat.

Rubella adalah salah satu kawanan TORCH, yaitu toxoplasma gondii (toxo), rubella (campak jerman), cyto megalo virus (CMV), dan herpes simplex virus (HSV). Jika seorang ibu punya virus itu pada dirinya, ketika hamil besar kemungkinan mengakibatkan gangguan kesehatan bawaan yang fatal pada jabang bayi. "Itu pentingnya screening TORCH sebelum hamil. Dampaknya pada anak semengerikan ini. Saya merasa bersalah sekali pada Ubii," ungkap alumnus Sastra Inggris Univeritas Sanata Dharma Jogjakarta tersebut.

Menurut informasi dokter, memang virus yang ada di tubuh ibu tidak bisa hilang. Tapi, ada saat virus itu lemah. Bila kesehatan ibu dijaga dengan baik sehingga virus menjadi lemah, jabang bayi bisa baik-baik saja.

Menghadapi kenyataan itu, Grace shock, sedih, dan putus asa. Tapi dia sadar bahwa Ubii membutuhkan ibu yang kuat untuk menyokongnya menjadi anak yang kuat juga. Grace segera mencari grup diskusi bagi orangtua yang dikaruniai anak-anak seperti Ubii. Selain butuh teman seperjuangan, Grace butuh banyak informasi untuk membesarkan Ubii. "Ternyata banyak anak yang lahir seperti Ubii karena ketidaktahuan orang tua seperti saya. Padahal, dengan screening TORCH dan vaksin, hal seperti ini bisa dicegah," jelas perempuan yang aktif sebagai mami blogger itu.

Grace pun tergerak untuk mengampanyekan sadar TORCH dan mewadahi segala macam informasi tentang rubella. Dia membuat note di Facebook, menulis di blog pribadi, hingga akhirnya berbagi di komunitas parenting. Responsnya luar biasa. "Akhirnya, saya bikin Rumah Ramah Rubella secara online. Ada informasi mulai dari pencegahan sampai penanganan. Kami anggap semuanya keluarga dalam satu rumah yang sedang berjuang bersama," jelas Grace.

Rumah Ramah Rubella dibentuk pada 2 Oktober 2013. Kini lebih dari 1000 anggota bergabung. Dengan Rumah Ramah Rubella, semua bisa saling menyokong. Misalnya di luar pulau jawa, apalagi di Jayapura, masih banyak kekurangan tenaga medis. "Ada anggota dari Jayapura mau CT-scan anaknya di Jakarta dibantu anggota di Jakarta. Ditampung menginap dan direkom rumah sakitnya," cerita Grace mencontohkan.

Rumah Ramah Rubella pun membuat channel YouTube untuk melihat video sesi fisioterapi dan panduannya untuk bisa dilakukan sendiri di rumah. "Tidak semua orang tua punya akses membawa anaknya fisioterapi. Terkendala jarak atau biaya, video ini bisa membantu," imbuh Grace yang belum berencana menambah momongan karena masih ingin fokus membesarkan Ubii itu.

Beberapa kali Grace atau Rumah Ramah Rubella mendapat kesempatan untuk tampil di depan publik seperti diundang ke acara talk show atau pembicara di seminar-seminar parenting dan kesehatan. Tentu saja ini disambut gembira. "Impian kami, bahaya TORCH itu dapat diketahui sebanyak mungkin orang," harap Grace.

Perempuan yang tahun ini terpilih sebagai Kartini Next Generation versi Kementrian Komunikasi dan Informatika itu ingin orang aware TORCH sebelum tertular dan menurun pada anaknya. (puz/c17/ayi)

BERDASAR PENGALAMAN: Grace dalam salah satu gathering yang diadakan Rumah Ramah Rubella

***

Bukukan Perasaan di Letters to Aubrey

PADA minggu-minggu pertama kelahiran Ubii, Grace belum tahu apa yang terjadi pada buah hatinya itu selain kebocoran jantung. Ubii sangat rewel. Tidak bisa berhenti menangis kecuali ditimang dan didekap untuk diberi ASI. Datang ke dokter, Grace dihujani diagnosis yang membuatnya langganan menangis di depan dokter. Hati yang berkecamuk membuat Grace setengah hati mengurus Ubii.

"Sebelum tahu Ubii nggak bisa dengar, aku cerewet sekali. Mengajak ngobrol dan nyanyi setiap waktu. Sering mendongeng juga. Setelah itu, jadi merawat dalam diam," kenang Grace yang baru mengetahui kondisi Ubii beberapa bulan setelah melahirkan.

Grace dan suami, Aditya, memutuskan hidup mandiri, terpisah dari orangtua sejak menikah. Mereka hanya merawat Ubii berdua. Keduanya sering uring-uringan dan berujung pada pertengkaran karena capek dan tidak mau saling mengerti.

"Hal sepele bisa jadi masalah, saling menuntut. Waktu itu kami masih belum deal with all these things. Kami berdua sampai ikut hipnoterapi pasangan lho. Akhirnya saya dan suami sepakat, kami butuh manajemen stres yang bagus demi Ubii," kenang Grace menghadapi masa sulit itu.

Mereka mulai saling menghargai keluhan pasangan. "Saya capek, papinya siap menggantikan. Begitu pula kalau Papi bilang capek, saya sama sekali tidak akan menuntut macam-macam. Kalau dua-duanya capek, Ubii dititipkan sama eyang dan kami punya waktu berdua," jelas Grace.

Dengan kekompakan, mereka berharap Ubii tumbuh menjadi anak yang kuat dan percaya diri. Grace bersyukur suaminya selalu mendampingi apa pun agenda untuk Ubii, seperti melakoni berbagai tes, berobat, hingga kunjungan fisioterapi. Grace memilih menulis di blog untuk menyalurkan semua hasrat "cerewet"-nya pada sang buah hati. "Saya nggak sabar pengin ngobrol sama Ubii. Jadi, saya bikin semacam surat di blog untuk dibaca Ubii kelak. Biar suatu hari nanti, Ubii tahu orangtuanya selalu cinta sama dia," jelas Grace.

Isi surat-surat itu berisi curhat, cerita keseharian, tindakan medis, kisah manis, hingga terapi yang dijalani Ubii di rumah. Saat ini surat-surat di blog itu sudah dibukukan dengan judul Letters to Aubrey. "Bisa jadi kisah penyemangat dan informatif ibu-ibu seperti aku. Sebagian hasilnya disumbangkan untuk Rumah Ramah Rubella," kata Grace. (puz/c7/ayi)

ANUGERAH ISTIMEWA: Grace dan suami, Aditya Suryaputra, serta si kecil Aubrey.


***

Yang Sering Ditanyakan pada Grace

Apa itu Rubella?
Rubella atau campak jerman adalah virus yang ditularkan lewat cairan tubuh penderita, bisa air liur maupun darah. Bagaimana sampai ada virus rubella yang masih belum diketahui sampai sekarang. Rubella termasuk dalam virus TORCH.


Apa dampaknya pda ibu hamil?
Pada ibu hamil, virus rubella mengakibatkan sang ibu demam akut, mata berair karena infeksi, sendi-sendi ngilu, dan keluar ruam di sekujur tubuh. Ibu hamil menularkan virus tersebut ke anak sehingga anak mengalami congenital rubella syndrome atau rubella bawaan.

Apa yang terjadi pada anak dengan congenital rubella syndrome?
Jantung bocor, gangguan pendengaran, katarak, microcephally, retardasi psikomotorik, dan kognitif.

Adakah upaya peneymbuhannya?
Tidak bisa berharap untuk sembuh 100% dan seperti anak-anak sehat kebanyakan. Tetapi, satu per satu bisa diringankan dengan pola asuh, pengobatan medis, dan berbagai terapi. Misalnya, menggunakan alat bantu dengar, operasi katarak, dan fisioterapi.

Bagaimana mencegahnya?
Melakukan tes pre-marital atau screening TORCH untuk memastikan kondisi ibu sehat siap hamil. Juga, disuntik vaksin MMR, yakni Measles (campak), Mumps (gondongan), dan Rubella (campak jerman).

Mengapa rumah ramah rubella?
Mengampanyekan bahaya TORCH sehingga bisa dicegah. Berbagi informasi dan saling menguatkan untuk mengasuh anak-anak yang spesial. Selain itu, ingin mewadahi donatur untuk membantu orangtua yang tidak mampu mengobati putra-putrinya di masa mendatang. Sebab, biayanya sangat mahal. (puz/c15/ayi)

APRESIASI: Terpilih sebagai Kartini Next Generation 2014 versi Kemenkominfo
***
Selain versi cetaknya, ternyata ada juga versi online nya. Hehehe. Nggak selengkap di versi cetak sih. Bisa diintip di sini.



Kayaknya itu dulu deh di postingan ini. Semoga tips foto saat diulas di media cetak bisa terpakai. Huahahaha. Semoga info seputar TORCH, khususnya Rubella ini bisa bermanfaat buat kita semua ya. :)



Love,


Ges



Monday, June 30, 2014

Letters to Aubrey di Festival Buku Indonesia 2014

Puji syukur, tulisan ini diapresiasi sebagai
Juara I Lomba Blog - Festival Buku Indonesia 2014
2 Juli 2014, Gedung Wanitatama Yogyakarta

***



Sering sekali ada festival buku di kota berhati nyaman ini, Yogyakarta. Biasanya saya selalu datang, apa lagi kalau bukan untuk memborong buku-buku yang memang menawarkan diskon yang sangat lumayan. Hehehe. Maklum gadis muda emak-emak, mupeng berat kalau dengar kata diskon. Tahun ini, Yogyakarta kembali mengadakan Festival Buku Indonesia 2014. Tempatnya di Gedung Wanitatama Jl. Solo. Yeay!


Tahun ini saya lebih update daripada sebelumnya loh karena saya selalu mengikuti Twitter dan Fan Page Festival Buku Indonesia 2014. Dari media sosial mereka, saya jadi tau apa saja kegiatan yang ada di festival ini. Wah, macam-macam. Ada diskusi umum, bedah buku, wisata buku, live performance, stand up comedy, dan berbagai macam lomba untuk anak-anak. Info itu saya lihat di pamflet yang dipublish online di media sosial seperti ini, lengkap dengan tanggal-tanggalnya:


Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini saya nggak hanya datang sebagai pengunjung. Ehem. Yes, saya juga datang sebagai narasumber di acara bedah buku yang diadakan karena buku saya yang berjudul Letters to Aubrey baru saja diterbitkan oleh penerbit Stiletto. Hore.


Saya pengen cerita tentang acara bedah buku saya, Letters to Aubrey, ya. Bedah buku saya diadakan di hari Jumat, 27 Juni 2014 pukul 18.30. Sesiangan notifikasi di Twitter saya berbunyi terus. Kirain siapa sih kok sampai ada mention lebih dari 20. Tumben! Hihihi. Ternyata mention-mention itu datang dari @FestivalBukuIND yang membagikan kabar tentang acara bedah buku saya sambil menyertakan pamflet online nya.


Jujur, saya senang sekali melihat panitia Festival Buku Indonesia 2014 yang sangat giat mempromosikan kegiatan di hari Jumat lalu. Jelas saja saya ikut senang karena hari itu kan saya mau dibedah. Hihihi. Nggak tanggung-tanggung loh promosinya karena @FestivalBukuIND juga mention akun-akun dengan banyak followers seperti @Jogja Student, @jogjaviewnet, @JogjaUpdate, @twitUGM, @twitUNY, and many more. Two thumbs up deh untuk kegigihan panitia! :))

Syukurlah, Jumat petang cuaca cerah. Nggak hujan, nggak badai, nggak tsunami. *lebay* Sebelum acara bedah buku Letters to Aubrey dimulai, panitia berkali-kali memperkenalkan buku nya lebih dulu supaya pengunjung juga kenal tentang apa sih buku saya itu. MC membacakan sinopsis dan testimoni dari Om Andy Noya. Nggak ketinggalan, MC sangat luwes dan grapyak mengajak para pengunjung yang sedang berada di dalam pameran atau di stand makanan untuk ikut bergabung di panggung bedah buku. Thank you MC dan panitia. :)

Sebelum maju, saya didaulat PimRed Stiletto untuk membacakan salah satu surat yang ada di dalam buku Letters to Aubrey. Dan inilah surat yang saya bacakan. *Sstt, bocoran nih*

Dear Ubii,

Maaf, Mami nggak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melihat Ubii aktif dan merespons suara. Mami sedikit memaksa dokter untuk memberi surat rujukan guna melakukan tes BERA pada Ubii. Skor di hasil tes BERA Ubii menunjukkan angka 105 dB. Itu artinya Ubii baru bisa mendengar suara yang sangat keras seperti suara pesawat terbang atau mesin pemotong rumput. Bayangan-bayangan negatif langsung muncul di pikiran Mami. Bagaimana Ubii bisa bertahan nanti? Bagaimana jika Ubii diejek teman-teman Ubii? Apa Ubii harus selamanya hidup di dunia yang sunyi? Bagaimana jika nanti Ubii kesepian? Bagaimana jika Ubii ketakutan? Apa kita tidak bisa bernyanyi bersama? Buat apa lagi Mami menyanyikan lagu untuk menidurkan Ubii? Buat apa lagi Mami memanggil nama Ubii? Untuk apa Mami menutup pintu pelan-pelan dan berjalan mengendap-endap ketika Ubii tidur? Ubii tidak bisa mendengar semua itu. Hancur hati Mami. Mami menangis saat itu juga di hadapan dokter dan perawat. Papi hanya diam. (Letters to Aubrey, hal. 31)


Setelah saya selesai membacakan sedikit penggalan surat dalam Letters to Aubrey itu, moderator dari Stiletto yaitu Mbak Weka memanggil saya untuk maju dan memperkenalkan saya. And the question and answer session started. Woohoo. Pertama-tama Mbak Weka memberikan pertanyaan-pertanyaan, kemudian disusul dengan pertanyaan dari beberapa pengunjung. Kurang lebih ini dia obrolan di acara bedah buku Letters to Aubrey:

Question (Q): Sebenarnya TORCH itu apa sih dan mengapa berbahaya untuk ibu hamil?
Answer (A): TORCH adalah singkatan dari Toksoplasma, Others, Rubella, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes. TORCH ini bisa menyerang siapa saja, tapi memang akan jauh lebih bahaya kalau menginfeksi ibu hamil karena bisa menembus ke plasenta sehingga janin pun akan ikut terinfeksi. Penularan TORCH sendiri macem-macem. Untuk Toksoplasma bisa disebarkan lewat kotoran kucing dan konsumsi sayuran atau daging yang kurang matang. Untuk yang lainnya, bisa lewat hubungan seksual, cairan tubuh penderita seperti ingus, air liur, dan air seni.

Q: Gimana bisa ada ide untuk membuat blog Letters to Aubrey yang akhirnya menjadi buku ini?
A: Awalnya cuma karena saya pengen merasakan bisa ngobrol sama Ubii. Tapi itu kan belum bisa saya lakukan karena Ubii ada gangguan pendengaran sangat berat sehingga belum bisa diajak berkomunikasi. Makanya akhirnya saya tulis surat di blog Letters to Aubrey saja biar bisa seolah lagi ngobrol sama Ubii. Juga supaya Ubii bisa tau waktu dia kecil, dia ngapain aja sih. Semacam kenang-kenangan untuk Ubii, gitu.

Q: Pasti ada rasa sedih ya saat pertama kali mengetahui keadaan Ubii. How can you handle that?
A: Hmm.. Saya mikirnya gini.. Kelak, saya ingin Ubii jadi anak seperti apa sih? Apa saya pengen Ubii jadi anak yang lemah, lembek, dan nggak optimis? ENGGAK. Saya nggak pengen Ubii begitu. Sebaliknya, saya pengen Ubii jadi anak yang kuat, optimis, dan bisa survive di tengah kondisinya. Kalau saya pengen anak saya kuat, ya saya harus contohkan itu dong. Ubii nggak akan bisa jadi anak yang kuat kalau ibunya sendiri nggak optimis dan gampang jatuh. Itu awalnya kenapa saya akhirnya bisa optimis dan lebih santai.

Q: Awalnya gimana sehingga bisa menerbitkan buku Letters to Aubrey ini? Apa dari awal memang ingin blog Letters to Aubrey diterbitkan?
A: Wah enggak sama sekali. Awal ngeblog nggak berani berpikir dan bermimpi seperti itu karena seperti yang saya ceritakan, saya ngeblog hanya karena pengen bisa seolah sedang ngobrol sama Ubii. Nah suatu hari saya lihat tweets Stiletto sliweran di timeline saya. Saat itu Stiletto ngetweet tentang genre buku mereka yaitu Momlit dan bertanya ke followers nya apa ada ibu yang suka menulis lewat blog. Dari situ saya memberanikan diri untuk menghubungi Stiletto dan menceritakan tentang blog Letters to Aubrey. Saya tanya kira-kira blog Letters to Aubrey ini layak nggak ya kalau dijadikan buku. Eh, ternyata gayung bersambut. Puji Tuhan.


Terus, Mbak Weka memanggil Mbak Dewi, PimRed Stiletto yang berperan besar dalam membidani buku Letters to Aubrey. Sesi tanya jawab berlanjut bareng Mbak Dewi juga.

Q: Mengapa Stiletto akhirnya memutuskan untuk menerbitkan buku Letters to Aubrey?
A: Awalnya ya seperti yang diceritakan Grace. Dia cerita kalau punya blog lalu saya mengintip blognya. Ternyata isi blognya sangat inspiratif. Walau formatnya seperti curhatan, tapi ada informasi dan hal positif yang bisa didapatkan setelah membacanya. Jadi Stiletto nggak punya alasan untuk nggak menerbitkan Letters to Aubrey.

Q: Bagaimana proses editing Letters to Aubrey? Apa ada kesulitan mengedit naskah yang format awalnya adalah postingan blog? Apa ada beda pendapat dengan penulis Mbak Ges?
A: Ada banget terutama dari segi bahasa karena Grace banyak menuliskan surat dengan Bahasa Inggris di blognya dan Bahasa Inggris yang dipakai bukan kata-kata percakapan sehari-hari yang sudah lazim didengar orang. Jadi ya harus disesuaikan dan banyak surat yang perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dulu. Terus sempat 'cekcok' sama Grace juga karena ada beda pendapat mana surat yang perlu dan nggak perlu untuk dimasukkan dalam buku. Grace nya suka ngeyel. Hahaha.

Hiks, saya dibilang suka ngeyel. Ergh.. Setelah sesi tanya jawab itu, Mbak Weka membuka kesempatan dari pengunjung bedah buku untuk melontarkan pertanyaan. To my surprise, semua penanya adalah laki-laki! Hihihihi.

Q: Gimana ya Mbak supaya saat kita menulis itu kita bisa membuat pembaca terhanyut? Kan kadang kita pengennya nulis cerita sedih tapi pembaca nggak merasakan kesedihan kita. Lalu, Mbak Grace saat menulis di blog itu mengalir saja atau dipikirkan dulu pemilihan katanya?
A: Jawaban saya klise banget nih Mas. Menurut saya, asal kita menulis dari hati maka tulisan kita akan menjadi enak dibaca. Hehehe. Kalau saya biasanya membangun mood dulu. Misalnya, saya suka minum kopi. Nah biasanya sebelum menulis, saya menyeduh kopi dulu. Ngopi-ngopi dulu sampai moodnya bagus baru deh nulis. Kalau untuk nulis di blog, biasanya saya mengalir aja. Nggak saya pikirkan diksinya. Saking mengalirnya, makanya kadang saya nggak sadar kalau saya memakai kata-kata dalam Bahasa Inggris yang nggak gampang dipahami. Hehehe.

Q: Menurut saya buku ini bukan hanya cocok dibaca oleh para ibu. Saya sendiri sebagai seorang bapak merasa perlu membaca buku ini supaya saya juga tahu tentang TORCH. Nah, Mbak Grace, maaf kalau pertanyaan saya cukup banyak. Saya pengen tanya apa yang Mbak Grace lakukan setelah mengetahui kondisi Ubii? Apa langsung cari dokter atau malah cari referensi di internet dulu tentang Rubella? Lalu bagaimana Mbak Grace mengatasi rasa sedih pada awalnya? Terus tadi Mbak Grace berkata biaya mencegah lebih murah daripada mengobati ya, memang biaya pengobatannya berapa? Bisa kah memberi gambaran sedikit? Saya jadi kasihan gimana kalau ada keluarga yang kurang mampu, padahal screening TORCH kan mahal.
A: Syukurlah kalau buku ini dirasa juga cocok dibaca oleh para ayah ya. Hehehe. Setelah saya mengetahui Ubii terkena Rubella, saya segera mencari dokter yang saya pikir bisa mendukung kesembuhan Ubii dan ternyata itu nggak gampang. Ceritanya juga saya tuliskan di buku Letters to Aubrey. Setelah saya berhasil ketemu dengan dokter yang tepat, saya banyak berdiskusi dan berdialog dengan beliau supaya saya makin memahami TORCH dan khususnya Rubella. Sambil baca-baca dari internet juga sih. Hehehe. Kalau waktu pertama kali saya down, saya nitip Ubii di Eyangnya. Lalu saya mengambil waktu sendiri, melakukan apa yang saya suka supaya nggak stress dan saya nanya sama Tuhan apa benar Dia yakin saya bisa dipasrahi Ubii. Lalu saya seperti teryakinkan bahwa jika Dia sampai memberikan Ubii dengan kondisinya yang spesial ini pada saya, berarti Ia yakin saya mampu. Makanya saya jadi optimis lagi. Untuk biaya pengobatan memang lebih mahal berkali-kali lipat, Pak. Biaya pencegahan dengan screening TORCH hanya 2,5 juta. Saya sebut 'hanya' karena saya bandingkan dengan biaya yang harus kami keluarkan untuk berobat. Alat bantu dengar Ubii saja (sepasang) sudah bisa untuk membeli 2 buah motor matic. Belum lagi biaya fisioterapi 720.000/bulan, konsultasi dokter 150.000/bulan, obat 200-300.000/bulan. Kalau ada tes yang perlu dilakukan berarti biaya nambah lagi. USG jantung sekitar 500.000, CT Scan 1,5 juta, tes pendengaran 900.000, dan lain-lain. Jadi terasa kan kalau lebih baik keluar uang 2,5 juta untuk mencegah. Untuk biaya screening TORCH, memang masih terasa mahal. Tapi syukurlah, bulan Februari kemarin, sudah ada advokasi ke Gubernur DIY untuk subsidi screening TORCH. Doakan saja supaya usaha kami ini berhasil ya, Pak.

Q: Saya ndak mau nanya sebenernya. Saya cuma mau cerita sedikit bahwa skripsi saya kemarin adalah tentang anak berkebutuhan khusus. Saya yang ndak mengalami punya ABK saja merasakan sendiri bagimana perjuangan berinteraksi dengan mereka. Apalagi Bu Grace. Saya cuma mau angkat jempol untuk Bu Grace. Semoga Bu Grace selalu sabar. Yakin saja pasti Tuhan menciptakan segala sesuatunya dengan kekurangan dan kelebihan. Mungkin anak Bu Grace memiliki kekurangan, tapi saya yakin ia juga akan memiliki kelebihan-kelebihan.
A: Amin. Terima kasih Pak.

Q: Apakah pesan Mbak Grace pada ibu-ibu lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus supaya bisa tetap semangat dan hal positif apa yang Mbak Grace rasakan dengan keadaan Aubrey?
A: Simple aja. Gini, anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan special need kids ya, atau anak luar biasa. Tapi, konteks 'luar biasa' di sini kan negatif karena mengacu pada kekurangannya. Nah marilah kita membuat kata 'luar biasa' ini memiliki konotasi yang positif. Mari kita tunjukkan anak-anak kita itu luar biasa karena misalnya ia selalu optimis, ia mau selalu berjuang, ia nggak gampang jatuh, dll. Tapi, bagaimana mungkin anak kita bisa luar biasa kalau kita tidak menjadi ibu yang juga luar biasa bagi mereka? Maka dari itu, mari kita jadi ibu yang luar biasa. Hal positif yang saya rasakan dari Aubrey adalah dengan keadaannya seperti ini, Aubrey bisa membuat saya lebih terpacu untuk lebih baik. Aubrey bisa membuat saya berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat.

Itu adalah pertanyaan terakhir dalam sesi tanya jawab. Setelah itu, Mbak Weka selaku moderator memberi kesempatan pada saya untuk membacakan sebuah surat lagi. Kali itu, saya memilih membacakan surat untuk Zoey, teman seperjuangan Ubii yang sudah berpulang ke sisi-Nya. Surat ini saya buat untuk mengenang Zoey dan tentunya atas izin dari Mama dan Papa Zoey. Begini penggalan suratnya:

Dear Ubii,

Di surat Mami kali ini Mami pengen cerita tentang Zoey, teman seperjuangan Ubii yang sekarang sudah menjadi malaikat kecil di surga. Mami ingin Ubii kenal Zoey walau hanya melalui surat kecil ini.

Perjuangan Zoey dan Mama Zoey lebih besar daripada perjuangan kita, Ubii. Zoey nggak hanya terinfeksi Rubella, tapi juga CMV dan Toksoplasma. Perjuangan Zoey dimulai sejak ia dilahirkan. Zoey harus dirawat NICU selama satu bulan karena mengalami trombositpenia (kekurangan trombosit) dan sesak napas. Setelah Zoey boleh pulang ke rumah, Mama Zoey mulai mengusahakan pengobatan untuk dampak-dampak dari Toksoplasma, Rubella, dan CMV pada Zoey. Virus dan parasit jahat itu membuat Zoey terkena retinopati, kebocoran jantung, dan gangguan pendengaran.

Belum tuntas semua usaha penyembuhan itu, Zoey mengalami sesak napas lagi saat berusia tiga bulan. Hasil radiologi Zoey menunjukkan adanya pembesaran limpa dan jantung. Kekebalan tubuh Zoey juga menurun. Dokter menduga itu disebabkan oleh infeksi CMV Zoey yang cukup tinggi sehingga trombosit dan hemoglobin Zoey naik turun nggak menentu.

Zoey harus dirawat lagi di ICU. Selama di ICU, Zoey memakai ventilator untuk membantunya bernapas. Ia hanya mendapat asupan makanan dari infus. Zoey dirawat di ICU selama hampir satu bulan hingga akhirnya dipercaya Tuhan untuk menjadi malaikat kecil yang cantik. Di akhir usianya, Zoey berjuang dengan kekebalan tubuh dan trombosit yang terus menurun. Zoey berjuang di saat-saat terakhirnya dengan trombosit yang hanya di angka 7 dari batas minimal 150.000. Zoey nggak berhenti berjuang sampai trombositnya ada di angka 0.

Zoey keren ya, Ubii. Semangat Zoey luar biasa. Mami harap semangat Zoey bisa diteruskan oleh Ubii.

Dear Zoey,

Apa kabar? Tante Grace belum kesampaian bertemu dengan Zoey, ya. Zoey pasti betah, ya, di sana? Mungkin sekarang Zoey sedang bermain cilukba bersama malaikat lainnya. Selamat bahagia di sana, ya, Zoey Diarra Fahnudi. (Letters to Aubrey, hal. 170-174)


*maaf jadi mewek lagi* *tarik napas*

Yes, itu lah surat saya untuk Zoey. Selanjutnya, kami menawarkan kesempatan untuk pengunjung yang mau membacakan sepenggal surat yang ditulis oleh suami saya alias Papi nya Ubii dari buku Letters to Aubrey. Sebenernya Papi Ubii rencananya mau datang tapi berhubung nggak ada yang bisa jagain Ubii, dia jadi batal datang deh. Hiks. Tapi nggak apa-apa. Hihihi. Akhirnya ada pengunjung yang voluntarily membacakan surat dari Papi Ubii daaann.... ada gift untuk kamu, Mas. Terima kasih ya! :))


And, that's a wrap! Selesai juga acara bedah buku Letters to Aubrey. Setelah itu, tentunya foto-foto dong. Hihihi.


Dan jangan lupa serbu buku Letters to Aubrey ya, kenapa? Karena, Juli nanti *eh bentar lagi dong* bakal ada LETTERS TO AUBREY GIVEAWAY! Yiipie! *heboh sendiri* *maklum giveaway pertama di blog Ubii nanti* *ngikik manja*

Mumpung Festival Buku Indonesia 2014 masih ada sampai tanggal 3 Juli 2014, mampir aja ke stand Stiletto Book. Lebih asyik kan kalau dapat diskon? *tetup*


Overall, that was a hell of happy and precious moment. Thank you Festival Buku Indonesia 2014 yang sudah kasih kesempatan untuk bedah buku Letters to Aubrey! Sukses selalu ya. :)

PS: Buat yang pengen tau hari ini dan besok-besok ada acara apa aja di Festival Buku Indonesia 2014, langsung aja menuju ke Fan Page atau Twitter @FestivalBukuIND yah. :)




Tuesday, June 3, 2014

Book Launching Letters to Aubrey

Wuih, ternyata udah lama juga nggak update blog ini. Hiks. Ini curi-curi waktu mumpung Ubii bobok. Hehehe. Nggak bakal panjang deh, cucian piring menumpuk. Barang-barang dari rumah sakit belum ditata lagi. Harus nginem setelah ini. Hieeee.

Just want to share some pictures on my book launching. Yes! Letters to Aubrey has been released already! Hurray. Thanks to Stiletto Book, Mba Dewi, Mba Tikah, Mba Eno, Mba Carra, dan Mba Weka. Sebenernya launchingnya udah kemarin-kemarin, which was on May 21th, bertepatan dengan hari lahir suami tercinta. Tapiii, berhubung pas itu rempong karena si anak cantik harus opname, jadi belum sempet upload fotonya. Heuheuheu. Book launchingnya diadakan di BPAD Yogyakarta. Eh, tapi, sebelum pamer foto, kenalan dulu dong sama buku saya. Buku Letters to Aubrey itu tentang apa sih? Tadaa, ini dia sinopsisnya:
 

Congenital Rubella Syndrome merupakan kumpulan kelainan bawaan akibat virus rubella yang menginfeksi kehamilan seorang perempuan.

Melalui buku ini, penulis mengajak kita masuk dalam perjalanan yang penuh warna ketika dia membesarkan putrinya yang berkebutuhan khusus–akibat terinveksi virus rubella. Ada penolakan, kecewa, dan juga letih yang lambat laun menjadi rasa ikhlas dan optimis. Sebagai ketua komunitas Rumah Ramah Rubella, penulis juga membuka wawasan kita tentang TORCH pada umumnya dan rubella pada khususnya. Dia pun menyerukan pesan kepada orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk terus optimis karena mereka tidak berjuang sendirian.

Semua informasi, pesan, serta rasa cintanya pada sang anak dituangkan dalam bentuk kumpulan surat dengan kata-kata yang ringan dan penuh makna. Buku ini sarat akan cinta seorang ibu pada anaknya. Lewat kumpulan surat ini, penulis ingin putrinya mengerti bahwa ia dicintai dan dibanggakan sebagaimana adanya.

Ada orang-orang keren yang berkenan ngasih testimoni juga loh untuk Letters to Aubrey. Tadaa, ini dia testimoninya:

“Perjuangan Ibu Grace untuk Aubrey, putrinya, menunjukkan bahwa setiap anak adalah spesial. Kasih sayang dan pendampingan orangtua, bukan hanya menjadi obat, tapi juga menunjukkan nilai kehadiran seorang anak di antara keluarga.” Andy F. Noya

“Membaca kisahnya, saya menangis. Bukan sedih, saya salut dan bangga sekali sama Grace. Membaca buku ini membantu kita membuka mata lebih lebar dan meluaskan hati agar ikhlas.” Maulita Iqtanti – Managing Editor Mommies Daily


Dan ini foto-foto nya :)))

Pamflet event. Thanks to Stiletto Book! :)
Sebelum berangkat narsis dulu boleh ya :))
Suami yang selalu setia menemani :*
Suasana launching buku saya :)
Suami ikut membacakan surat di dalam buku yang dia tulis
Tanda tangan perdana hehehe :))
Papi nya Ubii
Cihuy! Finally! :D
Dua buah hati saya: Letters to Aubrey dan Rumah Ramah Rubella
Narsis lagi heuheuheu
Buku-buku PO yang mau ditandatangani hehehe
Selamat membaca :) *dok. Stiletto*
Itu foto-fotonya. Mau tau reportase nya nggak? Mau dong, hehehe. Yang mau baca reportase nya monggo diintip di sini yah.

Buat teman-teman yang sudah baca buku Letters to Aubrey, boleh loh kalau mau menuliskan review nya :)) Silakan tulis review nya di sini yaaa. Tararengkyuuu. :))

Ini covernya, biar kalau pada mau beli nggak salah hihihi


PS: Akhir bulan ini akan ada Giveaway Letters to Aubrey dengan hadiah-hadiah kece loh, tungguin yaaaaa... ^___^ Tapih, giveaway nya khusus buat teman-teman yang sudah punya bukunya dong. So, ayo diborong duluu, hihihi. Buku Letters to Aubrey bisa dikantongi di toko-toko buku atau untuk pemesanan online bisa hubungi penerbit Stiletto di Twitter @Stiletto_Book. See ya in my giveaway! :))