Friday, July 22, 2016

Diari Papi Ubii #2: Is Video Game Really That Dangerous?

Hola! Today is the time for Diari Papi Ubii #2 - di mana blogpost ini akan berisi tulisan Adit, suami saya. Dua minggu lalu, Adit menulis tentang apa yang dia rasakan saat harus berdamai dengan kondisi Ubii yang berkebutuhan khusus.


Ternyata Diari Papi Ubii #1 itu dapat respons yang bagus. Views, comments, dan shares nya malah melebihi tulisan saya. Siyal. *Now you got that spotlight you talked about, Pi!* Karena ternyata tema seputar family yang ditulis Adit oke responsnya, saya pun menyodorkan tema tentang family lagi ke Adit untuk bahan Diari Papi Ubii #2 ini. Tapi, di tengah jalan, Adit bilang kepengin menulis tentang Pokemon Go, or gaming in general.


So, yaudah, selamat menikmati tulisan Adit tentang game yah! :)

*Game addict alert*

Adit:

Apakah Anda adalah salah satu dari jutaan orang yang ikutan download dan main game mobile besutan Niantic yang baru ngehype— Pokémon GO? Kalau iya, gimana sejauh ini? Suka? Biasa aja? Atau malah ilfil lalu berteriak dalam hati, “Kembalikan hari-hari berhargaku!” sambil menerawang jauh? Well, ngga mengejutkan sih overnight success-nya game ini— udah diprediksi bakalan jadi breakthrough dari tahun lalu. Gimana enggak? Fanbase-nya franchise Pokémon itu kuat dan banyak. Semua orang suka. Siapa sih yang ngga meleleh hatinya dengerin suara imut Pikachu? Gameplay-nya pun sangat ngga ngebosenin. Strategi, role-playing, adventure— semuanya ada di game ini. Pokémon (in general) is a whole package of gaming.

Ngga usah jauh-jauh ngomongin Pokémon GO dulu ya, let’s look at previous Pokémon release yang berjudul Omega Ruby & Alpha Sapphire (biasa disingkat ORAS). Ini game cuma bisa dimainin di platform terbatas: Nintendo 3DS. Harga copy game-nya mahal banget, sekitar 40 dollar US per copy. Tapi, tiga hari pertama rilis doi udah terjual 3 juta copy lebih. Ingat: ini ORAS yang kalo pengen mainin, kita harus punya konsol 3DS dulu, bukan lewat hape. So, konsumennya segmented banget. Nah, tetiba GO rilis di platform smartphone iOS dan Android, gratis pula. Ide gamenya pun brilian banget: ngegabungin gameplay klasik Pokémon ditambah bumbu interaksi dengan lingkungan sekitar kita secara real-time. Nggak heran lah orang-orang jadi keranjingan.

Lalu seperti gejala pop yang lain: ada yang suka, ada yang ngga suka. Bentuk ketidaksukaannya pun dimanifestasikan macam-macam: mulai dari yang remeh seperti ngepost meme-meme lucu di media sosial, sampe yang cringeworthy seperti ngeshare berita hoax yang mencatut nama akademisi.

Oke, cukup ngomongin Pokémon GO-nya. 

Sebenernya di blogpost ini saya bakal ngebahas gaming in general. Saya gusar dengan fakta bahwa:

Video game selalu dijadikan kambing hitam perilaku anak yang destruktif. 

Kebanyakan argumen seolah-olah tidak memberi ruangan bahwa video game dapat juga dijadikan sebagai wahana pembelajaran dan melatih kognisi. Dan standpoint saya cukup jelas disini: 

Saya adalah penikmat video game dan saya akan encourage orang untuk main game. 

So, disclaimer dulu yah: Tulisan ini tidak akan objektif. Saya hanya sekedar ingin berbagi point-of-view yang didasari oleh pengalaman sendiri.

Perkenalan saya pada video game sendiri dimulai tahun 1991 saat keluarga saya pindah kota. Saya dan kakak saya dihadiahi Papa sebuah konsol game: Nintendo Entertainment System (NES). Super Mario Bros, Castlevania, Mega Man, dan sebagainya— merekalah game-game yang menghiasi kenangan masa kecil saya tiap pulang sekolah (walaupun saya selalu main sebagai Player 2). Semenjak itu saya dan kakak makin giat upgrade console: dari NES yang 8-bit ke Genesis (kalau di Indonesia namanya Sega) yang 16-bit. Terus PlayStation, PS2, PSP, sampai Microsoft XBOX 360 dan PS3. Tapi sekarang ini udah ngga pernah mainin game lewat console box lagi. Platform terakhir yang saya mainkan (sampai sekarang) adalah console mobile Nintendo 3DS XL yang ngga pernah absen di tas saya.


Keluarga saya juga dukung-dukung aja soal saya main game. Ngga pernah ngelarang. Papa saya kadang main juga, walaupun sekedar puzzle game macem Puzzle Bubble. Adik saya penggemar setia Bishi-Bashi franchise. Grace dan saya (kalau lagi akur) biasanya main Tekken Tag Tournament. Dia pakai karakter Ling Xiaoyu dan Paul Phoenix sedangkan jagoan saya adalah Asuka Kazama dan Steve Fox. Habis main game fighting ini biasanya berantem beneran kita karena Grace ngga bisa terima kalau dia kalah. LOL. Oiya, saya bukan hardcore gamer yang rela menghabiskan belasan juta untuk build PC game, lho. Saya hanya penikmat saja. Saya suka game shooter, fighting, atau RPG (role-playing game). Beda dengan kakak saya yang dulu sempat dilarang ikut turnamen game nasional gara-gara dia udah terlalu sering menang (ini beneran). Sampai lemari buffet Ibu saya dipenuhi trofi turnamen game.


The point is, saya besar di lingkungan yang memberikan kebebasan penuh nge-game karena kami percaya, video game itu banyak manfaatnya: stress release, family bonding, even a tool to make money just like what my brother did (bahkan gara-gara kecintaannya sama game, kakak saya buka bisnis game center juga. Ajib). Dan ada satu hal lagi yang menurut saya bener-bener bermanfaat: ngegame memperluas wawasan saya.

Jadi ceritanya dulu, di kampus saya ada mata kuliah agama. Mata kuliah agama di kampus saya ini unik: tiap pekan dosennya ganti-ganti. Minggu pertama dosennya kyai, berikutnya diajar pendeta, lalu romo, lalu bante, lalu pedanda, lalu wen shi (guru agama Confucian), lalu dirolling lagi. Semua mahasiswa, tanpa terkecuali, harus ikut: apapun agamanya, apapun keyakinannya, ataupun tanpa keyakinan sekalipun. Bukannya kenapa-kenapa, tujuannya supaya menghalau fanatisme sempit— biar ngga jadi katak dalam tempurung dan biar sekedar tahu: ini ada lho ajaran agama selain agama kamu, yang sama-sama ngajarin kebaikan juga. Nah, waktu ngebahas agama Katholik, pak dosen romo ngejelasin mitologi Kristen dan memberikan pertanyaan seputar celestial beings gitu. Ngga nunggu lama, saya angkat tangan jawabin satu persatu pertanyaannya. Romo kaget, kenapa saya bisa tahu diluar kepala apa itu seraphim, cherubim dan galgalim Ezekiel, padahal saya “tercatat” Islam di KTP?

Saya jawab, 

“Saya belajar dari video game, Romo.”
“Kamu becanda, ya?”
“Enggak, Romo. Judul game-nya Shin Megami Tensei. Ada database mitologi semua kepercayaan dan agama di seluruh dunia disitu, Romo. Mulai dari Paganisme Skandinavia sampe Hindu Bali, semuanya ada.”

Semuanya ketawa. Soalnya ngga ada yang percaya kalau saya belajar dari game. Tapi itu kenyataannya. Shin Megami Tensei memudahkan saya untuk belajar budaya dan mitologi dunia secara efektif. And you know what, ngga cuma satu game ini yang saya bilang bermanfaat. Saya sebutin aja beberapa:
  • Saya belajar plot sejarah era Renaissans berikut dengan empirisisme-nya Niccolò Machiavelli melalui game Assassin’s Creed: Brotherhood (walau banyak plothole dan cerita yang diubah dari versi aslinya, at least dengan main game ini saya jadi tertarik belajar lebih jauh mengenai Renaissans).
  • Saya tahu dimana kekurangan mobil roda penggerak depan dan apa saja yang perlu diperhatikan saat mengendarai mobil all-wheel-drive dengan bermain Gran Turismo series. Yes, this game is my Automotive 101.
  • Saya hafal hampir semua tokoh di sejarah Tiongkok era Tiga Kerajaan (Sam Kok) melalui game Dynasty Warrior.
  • Saya belajar komposisi fotografi dasar “rule of third” dan betapa pentingnya sebuah moment dalam fotografi jurnalistik dengan bermain game horror Fatal Frame (kalo ini sekalian sport jantung).
  • Melatih motorik halus dengan berusaha mengeluarkan menu rahasia “cheats” dan “killer kodes” di game Mortal Kombat 3.

Masih banyak lagi ngga bisa saya sebutin satu-satu.

Yang diatas itu dampak nggak langsung ya. Dampak langsungnya? Kakak saya bisa memberikan contoh. Saat kakak saya masih berumur anak kuliahan, dengan memenangi pelbagai turnamen game dia bisa ngantongin uang puluhan juta rupiah. Yes, game tournament itu hadiahnya emejing. Coba deh google: e-sports money prize. Please jawdrop afterwards.

Contoh positif yang lain? Ada film dokumenter dari BBC yang pernah saya tonton judulnya “Gaming for Life.” Dinarasikan di film ini ada satu nenek tua renta yang terisolir di satu gunung di Jepang sana. Sehari-hari doi cuma berkebun di ladang, makan, tidur, and repeat. Dia terus sakit-sakitan dan ngga mau bersosialisasi sejak suaminya meninggal. Ngga tega ngelihat kondisi si nenek, salah satu cucu doi ngajarin cara pakai internet dan main game MMORPG (massive multiplayer online role-playing game) supaya nggak bosen. Dalam waktu singkat, perangai si nenek berubah. Yang dulunya sakit-sakitan, sekarang jadi ceria setelah main game itu. Bahkan dia mau bersosialisasi lagi dengan offline gathering para pemain game MMORPG di daerah itu. This shows how a video game can help you go through grief and sorrow easier.

Ada lagi ini: anak yang menderita autisme bernama Ralphie, akhirnya bisa bersosialisasi dan punya temen, mau beraktifitas keluar rumah— setelah main Pokémon GO. Baca deh. It really is a heartwarming story:


Well, nggak bisa saya bantah memang ada dampak negatif dari game. Saya juga mengalaminya sendiri. Habis selesai skripsi, saya nggak langsung ambil master degree atau cari kerja- saya pengen leha-leha dulu. Waktu itu saya harus menjalani perawatan gigi dan istirahat total 4 hari. Alih-alih istirahat, saya main sebuah game sandbox di Xbox 360 judulnya Saints Row 2. Game ini semacem versi nggak populer dari GTA series— dimana kamu bebas ngehajar orang lewat dan merampok kendaraan mereka. Saya main dan main terus 3 hari 2 malem tanpa henti. Berhenti cuma buat makan dan pup, terus lanjut lagi. Tiba saatnya saya kontrol. Begitu saya keluar rumah ngelihat sinar matahari, saya mual-mual dan pusing— rasanya pengen balik ke kamar lagi. Pergi ke klinik rasanya ogah-ogahan. Akhirnya disetirin Mama ke klinik, saya duduk di kursi belakang. Begitu sampe jalan raya, saya amatin mobil yang lewat satu persatu. Tibalah ada satu mobil BMW X5 jalan sejajar dengan mobil kami. Saya amati terus rodanya, saya terka berapa kecepatannya, saya lihat sopirnya— 

…Lalu saya berpikir keras bagaimana saya bisa menghentikan mobil tersebut, samperin orangnya, tembak dadanya sekali, kepalanya sekali, lalu ambil mobilnya. Saya sempat merogoh kantong untuk mengecek apakah pistol Desert Eagle kaliber 50 saya sudah fully loaded. Kemudian Mama ngerem mendadak, kepala saya terbentur kaca jendela lumayan kenceng. Sontak saya sadar: saya sudah ada pada kondisi gawat dimana saya ngga bisa membedakan antara video game dan realita. Dengan bermain 3 hari 2 malam itu saya unconsciously telah menghipnotis saya sendiri untuk tenggelam sepenuhnya dalam dunia Saints Row. Habis dari klinik saya langsung tidur dan istirahat ngegame seminggu penuh.

Di film dokumenter “Gaming for Life” yang saya sebutkan di atas, ini ada satu segmen contoh dampak negatif dari video game. Ada satu bocah yang sehari main game  jenis first-person shooting (Point Blank) bisa sampe 8 jam. Dampaknya? Dia ngga bisa tidur dengan jendela atau tirai terbuka. Dia yakin seyakin-yakinnya bahwa dia sedang diincar teroris, dan takut kalau sewaktu-waktu ada sniper yang nembak dia. Ini situasinya mirip sama saya: batasan antara realita dan video game sudah kabur gara-gara kelewatan nge-game nya.

Tapi ya dimana-mana, apapun itu, kalau labelnya sudah “terlalu” pasti nggak baik. Begitu pula dengan video gaming. Kalau terlalu sering dimainkan, it fucks up our brain for sure. Ngga cuma video game sih. Terlalu banyak belajar juga bisa bikin sakit. Kelewatan dosis mecin bisa bikin bego. Terlalu mencintai akan terluka… (UOPOOOOH!)

Nah, contoh yang kurang baik begini jangan dijadikan justifikasi bahwa main game itu dampaknya negatif melulu. Tadi kan sudah saya jabarkan juga kalo video game itu banyak banget manfaatnya. Terus gimana ngakalinnya? Ini yang diajarkan Papa saya— ada dua tipe gamer: 

yang menjadikan video game sebagai sarana untuk mendedikasikan hidup, dan 

yang mendedikasikan hidup untuk video game. 

Jadilah yang pertama. 

Toh, para gamer professional (atlet e-sports) aja main game untuk mencari uang dan bermata pencaharian. Bukan mencari uang untuk main game, kan?

Saya menjadikan video game sebagai sarana belajar— this is me using video game to enrich my life. 

Teman saya ngutang sana-sini buat beli rare items di game Ragnarok— this is an idiot dedicates his life for video game.

Comprehend the difference.

Best practice-nya mungkin seperti yang saya contohkan diatas: main game secukupnya, ambil yang bermanfaat saja dari game itu. Syukur-syukur bisa diaplikasikan ke dunia nyata. Hindari bermain game dalam waktu lama. Takut kecanduan? Oh come on! You have full control of your body. Kalau kecanduan, ya salahin diri Anda sendiri kok bego amat jadi orang ngga bisa kira-kira. Jangan playing victim atas kebodohan sendiri dengan mengkambinghitamkan video game.

Lalu gimana dong kalau kasusnya terjadi sama anak-anak? Ya namanya juga anak-anak, pastilah butuh pendampingan. Jangan serta merta, “Gendhuk/Thole, nggak boleh main Pokémon GO lagi. Mulai detik ini Papa/Mama ngelarang kamu main.” — you know what is going to happen when you forbid your kids doing something, while everyone is doing it? Your kids will hate you for sure, dan Anda akan dicap sebagai orangtua yang ngga asik.

“Yah, itu kan mainan buat anak-anak? Masa’ aku juga harus mainin sih?”

Aturan pertama diplomasi bisa diterapkan disini. Adjust yourself to their level. Jadilah teman main anak-anak Anda. Awasi, ingatkan kalau berasa udah kelewatan. Selain bisa jadi aktivitas bersama, ini juga bisa dijadikan bonding time, just like what my Dad did to me. Sumpah lho, buat saya kenangan main video game bareng Papa itu membekas banget sampai sekarang.

To sum up, menurut saya video game itu nggak berbahaya. Banyak banget malahan manfaatnya. It all depends on us whether we use video game to increase our life quality, or we let video game controls our life. Seperti semua hal: it’s two sided. Be wise!

Little story behind this pair of shoes: Adit merengek selama dua minggu biar saya kasih izin dia untuk beli sepatu keluaran Vans seri Nintendo Authentic ini. Katanya dia punya memori main game Nintendo ini sama Papa nya. Ditembak dengan embel-embel sentimentil begitu, saya akhirnya luluh.

***

Grace

Saya nggak nyangka Adit bakal seniat ini nulis tentang tema gaming ini. Sebenernya dia suruh saya edit atau nge-cut biar nggak kepanjangan. But I thought I'd just publish it originally (minus sumpah serapah berlebihan tentu saja).

Adit yang suka ngegame itu memang masih terbawa sampai detik ini. Dia masih suka main 3DS asyique sendiri. Dan masih suka ngibrit ke Timezone main game. 



Saya nggak protes sih karena sebenernya saya juga suka ngegame. Bedanya saya sukanya games di komputer, saat itu masih zaman DOS, macam Paperboy, Nicky Boom, dan Prince of Persia. Games baheula banget lah pokoknya.

Paperboy (abandonia[dot]com/files/games/805/Paperboy%202_1.png)
Nicky Boom (abandonwaredos[dot]com/public/aban_img_screens/nickyboom-1.jpg)
Prince of Persia (htmsdosgames[dot]com/wp-content/uploads/2015/11/prince-of-persia.gif)

Ada yang pernah main juga nggak? Kangen nggak sih sama games jadul gitu? Hiks.

Sekarang sih main yang cemen doank, Candy Crush, yang levelnya nggak naik-naik. 

Baca: Pelajaran Dari Ibu Candy Crush

So, about gaming, what do you think? Apakah anak-anak kalian suka banget main game? Sukanya games apa? Dilarang atau dibolehin? Ada hal positif yang ditunjukkan sama anak-anak kalian dari hobi ngegame nya itu nggak? Cerita yukkksss.



Love,






45 comments:

  1. Paperboy dan Prince of Percia sukses bikin keki karena gak pernah naik ke stage berikutnya hahahaha.

    Setuju sama Papi Ubii. Saya juga dulu waktu kecil ada tes Bahasa Inggris sama bule. Ditanya hewan-hewan. Saya bisa jawab semua.

    Pas ditanya tau darimana. Saya bilangnya dari game Harvest Moon. Dan ketiga temen saya bingung karena ga tau game-nya hahahaha.

    Dari game saya belajar Bahasa Inggris. Tentunya masih banyak pelajaran lainnya hehehe.

    Cuma anehnya dulu waktu kecil dikasih jatah sabtu-minggu aja boleh main. Sekarang udah bebas malah gak kepengen tuh main setiap hari.

    Ehhh jadi kepanjangannn. Hehehe salam kenal Mami Ubii :)

    ReplyDelete
  2. Adit bagus ya nulisnya, suka bacanya. #DiariPapiUbii jadi paporitku!

    ReplyDelete
  3. suka baca ceritanya kak adit *manggilnya kak atau om sih?*
    --
    Sayangnya dikeluargaku mah susah diajak bercanda, semuanya serba serius, kadang main game aja dalem kamar atau pas keluar rumah..
    dulu pernah minta beliin play statiob pas masih kecil #eh malah di amuk.. hm..
    udah ah, gak lagi-lagi minta sesuatu untuk ngegame..
    kalau sekarang sih enak, ada game di smartphone tp serasa di kekang pas di rumah jd sulit kalau mau maenan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. panggil nama aja ngga usah pake mas atau om daripada bingung hehe.. well, persepsi orang beda-beda sih ya soal video game. media yang ngulas keburukan lebih banyak daripada yang ngulas kebaikan, jadinya ya asumsi game = ngga ada manfaatnya, inevitable.

      Delete
  4. Another great post dari Mas Adit! Ah ga usah komen panjang-panjang. Mau cari Pokémon dulu. Itu beneran bikin mbrabak deh screen capt ttg anak yang main Pokémon Go nya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo mas Dani. thanks apresiasinya. ho'oh beneran ngga nyangka ada efek yang segitu positifnya buat keluarga dengan anak autis. bagus deh ya hehe..

      Delete
  5. Replies
    1. iya itu stance nya mirip sama Jun Kazama di Tekken 2 cuma si Asuka ini lebih variatif kunciannya.

      Delete
  6. Candy Crush wkwkwk iya nih yg penting semuanya itu ada batasnya jgn sampe terlalu

    ReplyDelete
  7. Anjroot tulisannya keren!!!!

    Saya dah umur 40 masih main game. Hearthstone! Lebih suka yg strategi macam Warcraft, YuGiOh, dsb.

    Anak boleh main hanya week end aja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sukanya cardfight gitu ya? saya ada kenalan temen komunitas cf vanguard. nggak ngeh cara mainnya gimana hahaha

      Delete
  8. Bagian ini saya ngakak:
    Melatih motorik halus dengan berusaha mengeluarkan menu rahasia “cheats” dan “killer kodes” di game Mortal Kombat 3.

    Soalnya bener haha.
    Sebagai Mama seorang gamer cilik, yang hobinya main First-Person Shooter di PC kayak Dying Light, Resident Evil, The Last of Us dan sejenisnya (sementara Mamanya jijik liat Zombienya), saya senang nemu tulisan ini. Thanks ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha iya enable motaro and shao khan, smoke juga. Tricky banget itu B + A + ↓ + ← + ↑ + C (hahaha masih inget!)

      Wah TLOU itu menurutku game yang endingnya worthy buat kebawa mimpi. Sumpah deh this is one of the best games ever created by humankind.

      Delete
  9. Sepanjang ini daann detailnya papi adit nulis,, sayapun bisa rampung gitu dan enggak eneg bacanya,,
    LANJUTKAN papi ADIT,,

    ReplyDelete
  10. Nicely written mas Adit. Bukan masalah game-nya tapi orangnya memang yang bikin problem sih.
    Kapan2 kita adu tekken gimana? hahaha. dah lama gak main tekken nih. Atau mungkin mbak Grace ikutan juga mainnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. AYOK! di mesin arcade aja biar tambah seru hehehe..

      Delete
  11. Saya harus komentar apa ya?
    Duh, Adit sama banget kaya suamiku, Gesi. Dia ngga anti kalau Arya kenal game dari kecil. Pernah dia bilang, dari gamelah dia ngerti bahasa Inggris dan tau ini itu. Walhasil, sekarang Arya dah bisa mainkan game RPG, meskipun kadang masih nanya-nanya sama Papanya buat nyari jalan keluarnya kemana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. RPG kadang bikin pusing emang mba haha.. Terima kasih ya sudah mau mampir baca :)

      Delete
  12. wuaaa, papi ubi
    aku enggak mudheng tuh game-game yang diceritain, soalnya aku enggak pernah ngegame
    mario kali ya yang ngeh gitu... wkwkwkw
    pokemon go aku cuma donlot melalui apk tapi gadgetku ggbisa diinstal, hahaha
    mau instal di lepy kok ribet gt ya, entar mau main pake google map gt

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tunggu aja rilisan resminya Pokemon GO Asia, mbak. Bentar lagi kok.

      Delete
  13. Game ku yag gampang-gampang aja biasanya plant vs Zombie, yg kaya gitu2 deh, kalo yang susah takut kebawa emosi. Pengennya refreshing malah jadi kesel gara2 ga bisa maininnya hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kadang sih iya sampe frustrasi gitu. tapi itu seninya hehee.. to find the way out.

      Delete
  14. game jadull aku sukanya prince of persia. lainnya paling mario bros dll yg dari nintendo.
    iyaa...punya anak skr ga bisa jauh dr games. ma boyz maen games seadanya di hp. emaknya ngumpet2 maen game criminal case hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya maraknya game mobile juga mempermudah akses anak ke game. Tapi kudu diawasi sih ya soalnya banyak juga anak-anak yang main game dengan rate PG-13 lewat hape.

      Delete
  15. aku sebenernya ga maniak game sih.. tapi dulu jaman sekolah suka mainin mario bros ;p .. trs kalo yg skr, cuma games dari hp kyk candy crush, farmer saga, soda crush dan jelly crush wkwkwkwkw, yg modelnya ga jauh2 bedalah.. tp harus diakuin kok, kdg kalo udh main game ini, suka ga inget wktu memang... untungnya kadang sadar utk stop main kalo udh dgr suara si kecil ato si kaka manggil2 emaknya ini ;p..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo saya ada trick mba, pake timer hehe.. kalo pas weekend timernya dibuang jauh-jauh. terus main game seharian :))

      Delete
  16. wow! I'm very happy that someone wrote this long post. Well I'm a game developer in Bandung, and I hope this post will open our society mind. Thank you!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Mas Rama. Salam kenal! Saya punya banyak kenalan developer C++ dan Ruby on Rails dari Kiranatama WGS. Tapi ngga tau mereka ngedevelop game juga ngga. Yang jelas sih kita pernah main Pokemon bareng hehe..

      Delete
    2. ooooohhh WGS. tau tau. tau doang sih. ahahaha. saya di Agate Studio Mas, ayok bikin maen pokemon go brg, di ciwalk dasyhat lure modulenya. ahahaha

      Delete
  17. Huwaa Papi Adit samaan kayak suamiku, gak bisa lepas dari 3DS. Bahkan aku ikut keranjingan main game tipe get dressed up gitu wkwk

    ReplyDelete
  18. Widiih Papi Ubi tulisannya keren euy. Wawasan tentang video gamenya luas. Sampe aku aja nggak ngerti game2 yang disebutin saking banyaknya haha. Cuma tau beberapa doang. Btw, itu piala banyak amat ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih apresiasinya. Haha iya itu kakak saya setiap ada e-sport tournament pasti juara 1.

      Delete
  19. adikku suka main game minecraft di tabletnya. kalo aku lebih suka main gameboy dari nitendo hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. minecraft itu game sandbox yang ngga kalah seru dibandingin GTA. Salam nintendonian! :)

      Delete
  20. saya salah satu yg kena kedua dampaknya. dampak positifnya ya bisa buat belajar bhs inggris soale kan pake bhs inggris kalo ga mudeng kepaksa buka kamus to. dampak negatifnya ya kebawa sampe dunia nyata. saya juga pernah ngalamin maen game berhari-hari pas mau keluar rumah kyk vampir keluar kandang mataharinya silau trs bikin mual.

    ReplyDelete
  21. another great post dari Mas Adit! Ah ga usah komen panjang-panjang. Mau cari Pokémon dulu. Itu beneran bikin mbrabak deh screen capt ttg anak yang main Pokémon Go nya...

    ReplyDelete
  22. Intinya main game tidak boleh berlebihan dan sebaiknya ambil sisi positifnya ya :D kalau untuk anak memang lebih baik kalau kita dampingi sekalian ikut main hehe

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^