Thursday, November 10, 2016

#GesiWindiTalk: Kenapa Saya Takut Sama Peristiwa 4 November 2016

Kenapa saya takut sama peristiwa 4 November 2016. Dunia tahu apa yang terjadi di Indonesia pada 4 November 2016 kemarin. Kalian dan saya tahu itu betulan terjadi, bukan fatamorgana unyu-unyu belaka. Saya nggak kepengin komentar tentang 411 nya. Nggak sama sekali.


Saya cuman pengin nulis tentang kenapa saya (dan mungkin para cina lainnya) takut / galau / parno dengan adanya 411 kemarin, yang mungkin buat kalian terdengar lebay atau berlebihan. Jelas ya frame nya.

YHA.


Berhubung ini seri #GesiWindiTalk, baca juga dari kacamata Windi Teguh yah. Windi adalah teman saya dari golongan mayoritas. Jadi pasti kami melihat peristiwa 411 dengan kacamata yang berbeda.


Sempat hati saya teriris membaca timeline Facebook (karena saya cuman mantengin Facebook doank yang paling sering) yang ramai bahas 411. Teriris melihat betapa kentalnya aroma sengit satu sama lain. Sedih rasanya. 

Makin teriris lagi ketika sempat membaca status beberapa kawan yang bukan cina. Kata-kata pasti dan diksi tepatnya saya sudah lupa. But, intinya kurang lebih:

Ah golongan minoritas lebay ah kalau sampai merasa takut. Besok itu kan aksi damai, nggak bakal kenapa-kenapa.

Gitu lah poin yang saya tangkap. Ada diksi lebay.

Kami yang cina-cina nggak bakalan mungkin lupa sama peristiwa 98. Kalian yang bukan cina pun pasti juga masih ingat, kan?

Kerusuhan yang terjadi 13 Mei - 15 Mei 1998 ini mainly memang di Jakarta, tapi juga terjadi di daerah-daerah lain. Krisis moeneter, tragedi Trisakti, dan tuntutan untuk melengserkan Order Baru bikin masa itu jadi chaotic luar biasa. Tercatat ada 1217 orang tewas terbakar, 31 orang hilang, dan 52 perempuan Tionghoa diperkosa (sumber: http://www.kaskus.co.id/thread/5370bd7ba907e76b2b8b45fd/jasmerah-foto-dan-kisah-tragedi-mencekam-mei-1998). Itu yang tercatat. Yang enggak tercatat?

Mungkin kalian yang bukan cina masih ingat karena memang it was huge. Peristiwa nggak main-main. Tercatat banget di sejarah.

Kami yang cina mengingatnya dengan alasan yang berbeda.

Karena kami trauma.

Berapa banyak orang cina yang tokonya habis dijarah, anggota keluarganya dipukuli, dan istri/ibu/adik/saudara perempuannya diperkosa.... hanya mereka terlahir dengan mata sipit? 

Kalau rumah kita kemalingan, misalnya, itu juga bakal bikin kita trauma kan? Apalagi kalau harta kita bener-bener dijarah dan anggota keluarga kita ada yang diperkosa? Itu ngeri...

Teman Adit malah ada yang mengalami kakaknya hilang dan belum ditemukan sampai sekarang sejak 98, simply karena keluarga teman Adit itu cina.

Kami pernah tidak dimanusiakan sampai segitunya. Kami pernah dianggap penduduk kelas dua dengan status sosial yang lebih rendah. Kami pernah dihabisi. 

Semua karena kami terlahir dengan mata sipit, kulit putih, dan rambut lurus tipis yang kalian sebut cina, sesuatu yang tidak pernah kami minta. Emang bisa request ke Tuhan kita mau lahir di tengah keluarga dengan ras, suku, dan agama apa? 

Mungkin kalian bertanya-tanya emang saya tinggal di mana saat 98 itu kok bisa trauma? Saya tinggal di Salatiga saat itu, yang puji syukur masih ayem-ayem saja. Tapi, kami dengar kabar bahwa kerusuhan sudah sampai di Solo yang hanya berjarak 2 - 2,5 jam perjalanan saja dari Salatiga. Kami nggak menyangka kerusuhan bisa juga mendatangi Solo. Jadi kami sudah siaga juga saat itu.

Plus, saya punya keluarga di Jakarta, kakak kandung Mama saya sekeluarga, yang punya dua anak perempuan. Ngeri lah kami membayangkan itu keluarga kami gimana nasibnya. Apalagi anak-anak cewe Akiu (Pakdhe dalam bahasa Cina) itu putih-putih banget yang kelihatan banget cina nya. Mereka putihnya di level sampai saya yang juga cina ini ngerasa kucel kalau ketemu mereka. BAHAHAHA. Serius, bok. Untunglah keluarga Akiu saya itu nggak terluka gimana-gimana. Mereka 'cuma' mengalami toko nya dirusak massa aja. Ya rugi banyak pastinya. Tapi kami saat itu sudah di level "Nggak papa, uang bisa dicari lagi. Yang penting nggak ada yang terluka, apalagi dinodai." Udah bersyukur banget itu keluarga besar saya cuman rugi harta doank.

Tapi, gimana keluarga-keluarga cina lain yang mengalami lebih dari itu? Beneran, saya nggak tega mau bayangin. Baca-baca komentar di status teman, sampai ada keluarga cina dengan level trauma yang mereka sudah siapin duit dan semuanya. Jadi kalau Indonesia ada kerusuhan yang membabat cina lagi, mereka bisa langsung cabut ke luar negeri. Itu level trauma nya sudah kayak apa, coba?

Kembali ke peristiwa 411.

Ketika semua lantang meneriakkan bahwa itu adalah aksi damai, tentu kami gerombolan mata sipit ini pun mengamini dan mengharapkan hal serupa. No question about that lah. Tapi, ketika ada video yang menunjukkan segerombol pendemo / massa (maaf kalau diksi nya kurang tepat) berjalan dengan mengusung spanduk bertuliskan:

GANYANG CINA
PENJARAKAN AHOK

... gimana kami nggak takut?

Beda kalau spanduknya bertuliskan:

GANYANG AHOK
PENJARAKAN AHOK

...nah itu mungkin nggak akan bikin kami setakut ini.

Tapi kalau kata-katanya adalah GANYANG CINA...? Apa kah berlebihan kalau kami jadi was-was dan merasa nggak aman?

Saya dan kalian tentu tahu bahwa kata CINA, jika diartikan, nggak hanya merepresentasikan satu sosok Ahok. Kata CINA itu luas banget. Saya jadi merasa ikut disebut kan jadinyaaa... *ge-er to the max*

Makanya, sejarah yang mencatat peristiwa 98 yang dialami oleh para cina DAN spanduk bertuliskan GANYANG CINA kemaren buat kami sudah menjadi alasan kuat kenapa kami takut.

Makanya, ketika ada yang berkata, "Lebay lu!" - saya sedih.


Itu dari kacamata saya yang cina ini. Thank God, teman-teman Muslim saya banyak banget. Dari mereka, especially Windi Teguh ini, saya jadi tahu:

Jika ada golongan mayoritas yang terlihat kurang berempati, itu BUKAN karena mereka memang ogah berempati, melainkan mungkin mereka simply nggak tahu rasanya gimana jadi golongan minoritas. Jadi mereka nggak bisa membayangkan aja. Because they never fill the minority's shoes.

Dari seorang teman Muslim saya yang lain, dia pernah bilang ke saya:

"Aku tuh enak di sini. Aku Muslim dan aku Jawa. Aku mayoritas banget. Mungkin kalau aku pindah ke luar negeri di mana aku jadi minoritas, aku nggak akan sanggup."

The bottom line is:

Kaum minoritas mungkin menganggap harusnya kaum mayoritas tahu lah apa itu empati dan toleransi, karena kaum minoritas ini nggak pernah merasakan menjadi kaum mayoritas yang tinggal di lingkungan yang homogen. 

Meanwhile, kaum mayoritas juga mungkin menganggap ketakutan-ketakutan kaum minoritas itu berlebihan karena selama ini kaum mayoritas tinggal di lingkungan yang homogen banget sehingga belum pernah bertukar cerita dengan kaum minoritas untuk saling memahami dan memaklumi.

Thanks, Windi, ceritanya. Itu mencerahkan dan bikin saya adem! And to all of my friends, semoga kita selalu rukun yaah, gengs!

***

Saya cuman berharap aja, kalau boleh, bahwa kita bisa lebih berempati satu sama lain dengan nggak mengecilkan ketakutan atau perasaan trauma orang lain.

Lebih jauh, saya berharap, tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran untuk teman-teman mayoritas kenapa saya dan kami-kami yang minoritas ini sempat takut dan was-was dengan peristiwa 4 November 2016 kemarin.

Bukan karena saya merasa kalian jahat. No. Kalian bukan Rangga. Yang jahat itu Rangga. Tapi karena pernah ada kejadian Mei 98 di mana golongan minoritas seperti saya pernah tidak dimanusiakan sebegitunya. Dan itu membekas sekali.

Finally, kita pasti punya harapan untuk Indonesia. What's yours?

Anyway, itu maap gambarnya pake gambar anak yang di Ju-On. Abis saya bingung mau kasih gambar apa. Saya pakai gambar itu simply becoz itu anak keliatan cina. HAHAHAHAHAH REMEHHHHH. Dan saya rada nyesel googling itu semalem karena jadi disuguhi google dengan gambar-gambar horor yang serem-serem.

-________-




Love,



38 comments:

  1. Kami yang takut dengan kejadian #411 kemarin, sama seperti kalian yang takut Donald Trump jadi Presiden AS.

    Dan jadi kontradiktif membaca status orang2 yang kebakaran jenggot setelah tahu Trump jadi Presiden. Mereka khawatir akan betapa rasisnya Trump ini. Padahal secara enggak sadar, status2 mereka selama ini juga tidak kalah rasisnya dengan Trump.

    ReplyDelete
  2. Kalau di Jakarta sini (saya ambil contoh ini karena ga tahu di daerah lain gimana), enggak cuma waktu 411 kemarin aja, warga Tionghoa memilih utk libur. Tiap ada demo besar, apapun demonya, siapapun yg menggerakkan demonya, murid saya yg Tionghoa sudah izin ga masuk dari sehari sebelum demo itu. Dulu saya sama seperti yg lain yg bertanya kenapa kalian bersikap sedemikian hingga? Tapi, alhamdulillah karena satu peristiwa saat saya terjebak di tengah demo anarkis di depan mata saya. Mereka yg sudah tersulut amarahnya, enggak mandang itu jawa, cina, bule, hitam, coklat, kuning atau putih. Semuanya dibabat membabi buta.
    Sampai sekarang saya juga trauma & jadi bisa memahami alasan kenapa orang-orang Tionghoa bisa sedemikian menanggapi demo-demo besar.
    Aamiin Momy Ubii & Aiden, semoga kita semua selalu rukun ya.. ^_^

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Ges, kalau kacamata saya yg belajar sejarah. Memang peristiwa tersebut sungguh menandai babak sejarah dan kami berharap tidak berulang. Di negeri ini sungguh mungkin sebagian lupa nenek moyang kita orang cinaaaa.. Stereotype kebencian mungkin sirik ya sama tionghoa karena kita masih terbawa propagandis jaman Hindia-Belanda yang menempatkan kaum Tionghoa lebih tinggi dari pribumi dengan segala kemudahannya (hebat banget ya hingga beratus taun mindset sebagian bangsa ini belum berubah) Ges i know your feeling, karena Banyak saudara saya juga banyak yang bermata sipit. Hopefully di negara tercinta kita tetap saling menghargai.

    ReplyDelete
  5. Sedih baca tulisan Mbak Gesi :(
    Saya dr golongan minoritas, dan termasuk yg mendukung aksi 411 kemarin... tp gak terbersit sedikitpun ini ttg etnis (khususnya cina). Menyesalkan juga adanya spanduk yg bertuliskan ganyang cina :( Maafkan saudara kami ya Mbak... maafkan kami yg mungkin gak sadar dan kurang berempati pada golongan minoritas seperti Mbak Gesi.

    ReplyDelete
  6. Dibesarkan dalam keluarga yang punya keberagaman salah satunya yang bikin saya merasa SARA itu bener bener kudu jauh jauh deh. Orang tua saya 15 tahun jadi ketua RT, warganya macem macem suku, agama, ras juga. Tapi kami bisa rukun rukun. Hal itu yang sampai sekarang selalu kebawa, bahwa hidup di dunia itu ada 2 hal mendasar, hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia. Kalau hubungan sama Tuhan baik, insyaAllah sama sesama manusia juga baik. Simple. Gak tau ya, aku ilmunya mungkin masih cetek hahaha :D

    ReplyDelete
  7. Aku pernah ngalamin juga Mam, gak disukai tanpa alasan sm seseorang di kampus. Ternyata gara-gara aku syipit. Wediaaan gak kathokan :)) Ya udah sih, aku berprinsip dan ngelus dada, kita semua gak bisa memilih kan dilahirkan di keluarga mana dan jadi etnis apa. Andaikan mereka tau ya, aku lahir gak dari keluarga homogen :'( Untungnya, teman-temanku tidak pernah melihatku dari sisi perbedaan ini.

    Jadi inget, dulu ngelamar kerja, di formnya ada opsi kesukuan. Aku gak ngerti nulis apa. Tak coret kabeh, tak tulis "INDONESIA" :))

    ReplyDelete
  8. Om tanteku juga orang Cina ges tapi kami rukun
    Kalau masalah 98 aku juga inget karena kejadiannya di solo. Ngeri bgt

    ReplyDelete
  9. Kak Grace, aku bs ngerasin bgt gmn ketakutan mu yg kata orang lain Lebay.Keluargaku, lebih tepatnya kaka sepupu kesayanganku terlahir dr papa seorang Cina, tinggal tepat di pusat Kota Jakarta dengan wajah yg ga bisa dibohongi lagi kalau memang kaka2ku ada darah Cina. Papa mereka sudah meninggal, dan tidak bs dipungkiri kejadian 98 dulu menjadi trauma membekas jg untuk keluarga saya. Bapak saya sebagai paman turun langsung menyelamatkan keponakan2 tercintanya, menjaga rumah warisan popo dengan di pilox rumah pribumi muslim (keluarga kaka memang muslim, tapi tetep orang2 mana perduli ketika liat Cina nya - maafkan bahasaku kalau kurang sopan).Ketar ketir rumah satu2nya tersebut diamuk massa yg kesetanan. Jaman itu blm ada bbm, atau line, atau wa. Kita kabar2an lewat sms dan telpon rumah campur aduk, sedih..panik..deg2an krn kondisi saya di bekasi dan mereka do jkt dgn akses tertutup massa yg membahayakan. Aah kok jd cerita ya kak..sambil berkaca2 loh aku keinget lg. Mohon di maafkan ya kak Grace bila kami dr kaum mayoritas pernah membekaskan luka dan trauma pada kaum minoritas. Semoga kedepannya tidak ada lg sebutan kaum mayoritas atau minoritas di Indonesia, tetapi semua sama, disamaratakan, warga Indonesia. Rukun2 selalu ya kak Grace :) tosss dari jauh mmmuah!

    ReplyDelete
  10. Mba Gesi,,, sini peluuuk.
    Saya bersyukur sekali tinggal dalam keberagaman. Saya punya sahabat dari kecil yg berbeda keyakinan dan kami berdampingan satu sama lain. Saya sendiri bermata sipit, ya karena moyang tanah kampung saya memang dari negeri cina toh? Di tahun ini saja, saya yg sipit tp berkerudung ini masih suka dilirik2 (mgkin mereka pengen nanya: kamu cina?😁)
    Intinya, saya mayoritas dalam keyakinan, tp juga kadang agak merasa minoritas karena perlakuan. Jd, saya mengerti perasaan teman2 minoritas lainnya.

    Saya baca di postingan mba windi sebelumnya ttg ada banner begitu, rasanya sedih. Saya ga liat langsung karena memang saya tdk memantau dr siaran tv.

    Campur aduk rasanya hari itu. Ada rasa takut kalau2 saudara kami yg sdg turun dalam aksi hari itu melukai hati saudara lainnya (kalau bahasaku, menarik sisi lain yg ga seharusnya). Mohon maaf ya, mba. Mewakili saudara kami itu.

    Ya, kaya yg mba Ges bilang itu. Ada tulisan Cina, kenapa ga pokok satu ke oknum langsung saja. Yg begitu itu rentan perpecahan. Pun waktu mendengar kutipan video orasi dr twitter yg bahasanya aduuuh provokatif sekaliii. Sensitif sekaliii. Saya agak takut.

    Pelan2 mengintip timeline fb. Kecut hati saya melihat teman2 minoritas yg terbawa arus politik. Ingin menanggapi bahwa ada yg dtg bukan krna politiknya tp karena cinta pada keyakinannya, pada imannya. Tapi tertahan, karena belum siap dengan diskusi panjang nantinya(yg cenderung berujung debat). Ilmu saya tidak seberapa.

    Makasih buat mba gesi dan mb windi yg berbagi ttg ini. Aamiiin.
    Semoga tak pernah akan ada lagi tragedi 98. Semoga juga seterusnya dan selamanya kita tidak terpecahkan. Rukun selalu di bumi Indonesia ini.

    ReplyDelete
  11. sebenernya YHA tuh apa sih ges? *oot hahhaa...

    ReplyDelete
  12. Aku tinggal di Solo pas tragedi 98. Aku dan keluarga juga bukan korban, bukan cina pula, tapi tetep trauma. Waktu itu sekolah libur, dan pas masuk, temen2 sekelas (yang mayoritas cina) banyak yang nggak pernah kelihatan lagi. Serem. Walau bukan korban, tapi sumpah trauma denger suara2 masa yg beringas, suara orang nangis2 karena takut, terus lihat langit oranye dan penuh asap karena banyak gedung dibakar.

    Dan iya, aku juga termasuk yang ketakutan 4 november kemaren. Berkali-kali minta suami nggak usah masuk kantor, tapi dia tetep ke kantor. Seharian senewen. Ngeliatin TV dan whatsapp mulu. Jahat banget kalau ada yang bilang lebay :'(.

    ReplyDelete
  13. alhamdulillah 411 udah selesai, nggak kayak 98 kan?

    ReplyDelete
  14. Terima kasih sudah berbagi mba Grace Melia. Air mataku banjir, membaca ini.
    Mudah mudahan yg bertanggung jawab untuk peristiwa itu segera di tangkap dan di adili, seadil adilnya. Aamiin.
    Ketika aku nonton film tentang Merry Riana, berjudul mimpi satu juta dollar.
    Dimana adegan awalnya adalah kerusuhan. Menuliskan tulisan pribumi di rumah, dijalan jalan saat akan menyelamatkan diri di cegat, orang orang yg tidak bertanggung jawab kalap, nafasku tertahan, air mataku mengalir, ketika dirinya harus berangkat sendirian ke Singapore, karena papanya hanya bisa membeli 1 tiket untuknya. Ketika dia sendirian tanpa uang di Singapore, dan tidak menemukan saudaranya di Sgp, ketika dia sendirian dijalan, was was menanti kabar berita keluarganya. merenungi nasibnya, seolah aku yg mengalaminya. Beruntunglah dia bisa menyelamatkan diri, bisa terhindar dari pemerkosaan orang orang yg biadab. Makanya ketika demo massal, degup jantungku pun lebih cepat dari biasanya, aku tak bisa tidur, kepalaku sakit, di status fb, aku mengatakan, bagi kaum minoritas, lebih baik mengungsi dulu lebih baik, walau aku kelihatan seperti aneh, seperti terlalu mencemaskan yg mereka pikir akan aksi demo biasa. Aku tak peduli orang anggap aku aneh, dengan ketakutanku. Aku saja yg kaum mayoritas bisa merasa sebegini takut terjadi apa" dengan kaum minoritas, apalagi dengan kaum minoritas. Aku puasa pada hari itu, dan ku umumkan difb, aku akan berpuasa esok hari di hari demo massal, agar bangsa dan negara kita di lindungi, damai dan aman. Aku berharap dengan pemberitahuanku, orang orang lain ada yg ikut tergerak untuk ikut puasa, dan berdo'a untuk bangsa dan negara kita.
    Alhamdulillah demo massal bisa di kendalikan dengan aman dan damai oleh pemerintah kita, alhamdulillah aparat tidak terpancing untuk menyerang, terus bertahan, ketika semakin terdesak, baru mengeluarkan gas air mata untuk memukul mundur pendemo yg terus memaksa maju dengan kekerasan. para TNI, polisi, dan semua yg mengamankan demo massal kemarin, adalah pahlawan kita. Alhamdulillah, Tuhan melindungi kita lewat mereka. Thanks para pahlawan. :')

    ReplyDelete
  15. Memang banyak betul orang yang komentar tanpa memposisikan diri sebagai orang yang dikomentari. Banyak komentar, kurang mikir. Aku yang Jawa dan sama sekali nggak punya keluarga keturunan Cina pun ngeri membayangkan kerusuhan 98. Miris kalau baca-baca soal kerusuhan 98 :(

    Kaum minoritas pun kalau bergaulnya di lingkungan yang homogen minoritas, empatinya juga bakal kurang terhadap yang mayoritas. Memang harus banyak bergaul dengan berbagai tipe orang untuk menumbuhkan empati dan memperluas pemikiran :)

    ReplyDelete
  16. Ka Gesi peluuuuuuk..
    Pukpukkk. Ga ah. Ga lebay sama sekali.
    Aku yang mayoritas aja tetep ngeri kok sama kejadian 411 kemarin. :(

    ReplyDelete
  17. Well said, Bu. Akhirnya ada yang bisa memahami kenapa kita-kita chinese suka reaktif dan lebay menanggapi isu SARA di Indonesia. Bukan karena pikiran pendek, tapi karena trauma T_T

    ReplyDelete
  18. Sabar yahh Mami ubi semoga isu-isu yang gak enak bisa segera reda dan tidak membuat trauma kembali. salam peluk

    ReplyDelete
  19. Ya Allah. Maafkan kami. Sesungguhnya saya pun sudah berpikir mengenai sudit pandang kalian Mbak Grace, hanya saja tidak menduga kalau sampai sebegitu traumanya kalian. Ya, semoga ke depannya kita sesama anak bangsa Indonesia bisa makin pandai untuk saling berempati.

    ReplyDelete
  20. Jangankan dirimu mami
    Aku yg tahun 98 di Kendari aja ketar ketir kok
    Salah satu pamanku di Makassar yg kebetulan istrinya orang cina sampe ngungsi ke Kendari lho

    Semoga Indonesia damai ya

    ReplyDelete
  21. Setuju gesi sama postingannya.. aku jg sempet takut dan pernah trauma dgn kejadian 98. Krn kerusuhan hampir masuk komplek rumah. Itupun semua bagian depan komplek sudah habis dijarah. Dan kita jg udah siapin dokumen dan gak tidur semalem, karena mau siap2 kabur *entah lewat mana juga* intinya kami takut juga.

    Betul gesi. Aku jg setuju kalau dimana2 kaum mayoritas suka gak ngeh kaum minoritas krn gak pernah diposisi kita. Tapi mungkin ketika kita berada di dunia luar yg kita minoritas. Baru akan berasa perbedaannya.

    ReplyDelete
  22. Dulu pernah bikin artikel tugas kuliah tentang perempuan Cina di tragedi 98 dan itu sedih banget. Jadi sekarang setiap ke Glodok, Kota Tua, Mangga Dua, atau daerah-daerah yang kebanyakan Tionghoa jadi kayak flashback tempat-tempat tragedi 98. Di luar artikel ini yang memang bagus, aku malah ngeri sama featured picture-nya yang Why so Afraid itu, Ges. Kok pikiranku malah melayang ke hantu-hantuan. Baru berani baca sekarang, soalnya semalam kan malam Jumat, hahahaha.

    ReplyDelete
  23. Semoga kejadian tahun 1998 gak akan pernah terulang lagi Mami Ubie. Dan mereka yang trauma segera disembuhkan. Peristiwa itu benar-benar mencoreng harga diri bangsa Indonesia. Jadi ingat tulisan Agustinus Wibowo saat kuliah di Cina daratan. Dia ditanya kenapa bangsamu sebegitu jahatnya kepada orang Cina? Kasian Agustinus ini, di negeri sendiri dibully karena dia seorang Cina dan saat sampai di negara Cina malah disalah-salahkan atas nama Indonesianya.

    ReplyDelete
  24. Peristiwa 411 ini adalah ujian untuk demokrasi Indonesia... Semoga kita bisa lulus dari ujian ini ya Mba. Dan jangan sampai kejadian 98 terulang.

    ReplyDelete
  25. Itu itu kok Rangga ikutaann? ��*gagal fokus*

    ReplyDelete
  26. Saya jawa,1998 saya tinggal di Solo dan saya tau ngerinya tragedi 98. Tiap malam begadang jaga kompleks selama 3 bln penuh . Tetangga dekat yg china untungnya aman,kami sampai hrus menulis "pribumi" dipagar rumahnya, tp ada tetangga jauh yg china kena jarah rumahnya krn di pinggir jln raya.Semoga tdk terulang.

    ReplyDelete
  27. Mei 98 saya nggak inget, masih 7taun.cuma inget dikasih tau ada huru hara, tp nggak paham.
    Sebelum baca artikel ini,jujur saya bahkan nggak peduli sama demo 411 kemarin. Lingkungan saya jawa semua muslim semua,fyi.
    Saya bener2 baru tau kalo ada yang waspada pada 411 kemarin.
    Thanks for sharing Ci Gesi ��

    ReplyDelete
  28. Sampai aku menulis komentar ini, aku masih sedih melihat situasi saat ini. Aku sangat memahami kecemasan itu, sangat paham.
    Pada beberapa even, ketika kawan-kawandari kelompok mayoritas cenderung berkelompok, aku menyempatkan diri untuk ber say helo dengan mereka yang minoritas.
    Aku mulai belajar Ges, bahwa selain agama, ada kemanusiaan yang juga harus diperjuangkan oleh manusia itu sendiri.
    Sampai saat ini, aku masih terus membuat status di fb, tentang kesetaraan, meskipun agak tersamar.
    bahkan aku sempat dibully oleh seseorang saat aku mengupload foto Buya Syafii.
    Jika kita mau bergaul lebih banyak dengan yang berbeda, maka tak ada lagi sekat bagi manusia .
    Aku meyakini, sesungguhnya semesta itu satu jalinan seperti jaring yang saling mengkait.

    ReplyDelete
  29. Sebagai bagian dari mayoritas, saya termasuk yang paling membenci jika ada orang-orang yang gampang dipengaruhi isu SARA. Saya paham trauma dan kengerian kawan-kawan minoritas. Saya yang bukan minoritas aja ngeri apalagi yang minoritas. Tapi percayalah, masih banyak orang mayoritas yang bisa berpikir jernih dan mengutamakan kedamaian Indonesia dan persaudaraan sesama manusia.

    ReplyDelete
  30. Saya orang jawa muslim golongan Mayoritas tapi fisik tubuh keadaan keluarga saya seperti orang cina yang mami Ubii jelaskan mata sipit putih rambut lurus..
    saya kaum mayoritas tapi diperlakukan seperti kaum minoritas, selama hidup saya sering dikucilkan di bully sering banget karena fisik saya.
    karena saya sering diperlakukan tak adil oleh orang yg satu ras sama saya akhirnya saya memilih untuk lebih berkawan dengan ras tionghoa karena mereka gak membeda2 kan..saya justru lebih diterima disana dan merasa aman dan nyaman.

    adanya peristiwa itu buat saya marah jengkel takut.. karena saya bagian dari mayoritas dan minoritas,
    saya tahu apa yg dirasakan kaum minoritas walaupun aslinya saya orang mayoritas..
    sedih rasanya buka timeline fb, isinya begituan semua, dari teman saya yg dijakarta ada yg takut untuk pergi kerja, ada yg milih libur..

    ReplyDelete
  31. Gak pernah bner2 liat demo. Tp ya bayangin ngeri jg

    ReplyDelete
  32. aku ngerti ges, krn temen kantorku yg China cerita soal ini juga ke aku pas 411 kemarin.. dia trauma ama kejadian 98 lalu, di mana keluarganya jd korban,... even dia pernah posting foto kalender di rumahnya, yg ternoda darah :(.. aku ga tau itu darah siapa krn tiap ditanya soal itu temenku cuma diam sambil melamun.. mungkin dia msh inget bgt kejadiannya.. :( .. mungkin org2 yg ga bisa berempati ini memang hrs ngerasain tinggal di tengah2 etnis mayoritas lain dan dia menjadi minoritas di situ.. aku pernah tau rasany.. aku prnh tinggal di lingkungan china, homestay ama keluarga china, kuliah dengan mayoritas mahasiswanya china.. cuma aku yg kulitnya coklat sendiri dan berjilbab pula.. kalo mereka lg ngobrol ama sesamanya pakai bhs mereka, dan bukan bhs inggris seperti kalo sdg ngobrol ama aku, di situ aku ngerasa kalo sdg digosipin ato dibicarain diblakang ato apalah.. ga enaaak bgt rasanya..

    dari situ aku bisa ngerti gimana perasaan org2 yg merasa minor.. kalo punya hati sih, ga mungkin tega memperlakukan orang minoritas dgn sikap yg meremehkan, merendahkan ato menghina begitu, kalo punya hatii :D.. makanya aku berharap org2 yg picik itu bnr2 suatu saat ngerasain gmn rasanya jd kaum minoritas

    ReplyDelete
  33. Aku muslim, bagian dari mayoritas, dan seumur hidup tinggal di lingkungan yg cenderung homogen Ges. Tapi aku baca. PRIHATIN. Pasca tragedi 98 itu banyak sekali bacaan berita maupun buku2 yg terbit soal ini. aku sampai tau betapa detilnya penjarahan dan perkosaan sadis yg dilakukan kepada keturunan Cina ini. Jadi aku paham banget soal ketakutan yg dialami oleh WNI yg 'kebetulan' beretnis Cina. Semoga Indonesia kian kondusif untuk terciptanya hidup damai berdampingan bagi semua umat manusia.

    ReplyDelete
  34. Jangankan dirimu mami
    Aku yg tahun 98 di Kendari aja ketar ketir kok
    Salah satu pamanku di Makassar yg kebetulan istrinya orang cina sampe ngungsi ke Kendari lho

    ReplyDelete
  35. Aku kturunan tionghoa, tinggal di solo & di pemukiman yg mayoritasnya tionghoa jg. Ada swalayan besar (kaya mall jaman dulu) dibakar dktt bgt sm rumahku. Naik ke balkon lantai 2 tmpat jemur baju ja kliatan bgt gmn apinya berkobar tggi bgt dgn asap kemepul. Kedengeran jg gmn teriakan massa & suara dentuman2 keras. Sempet massa mau ngrombon masuk wilayah km, tetangga smua udah ktakutan stgh mati. Oya lupa crt, di gang tmpat tinggal ku mski mayoritas tionghoa, tp ada bbrp jg yg kturunan Arab & kami smua hidup harmonis & saling toleran slma berpuluh2 taun. Bersyukur, di ujung gang tempat tinggal ada rumah org Arab yg bner2 backing, ngeblock jalan masuk gang & pasang badan di dpn gang spy massa ga masuk ke lingkungan kami yg mmg notabene terkenal ksbg kawasan tionghoa. Aku wkt itu msi kcil ga trlalu paham artinya takut diserbu massa. Tpi ngliat muka mama yg cemas stgh mati krn papa blm jg plng (papa wktu itu krja di bank yg jg di pusat kerusuhan di solo letaknya). Kalo denger crt dr papa yg bener2 trjebak di tengah2 kerusuhan dah lebih parah lgi & smpe skg papa takutt bgt soal gituan. Bgitu ada demo apapun (meski misalnya demo turunkan harga bbm) selalu telpon "jangn keluar rumah dulu ya". So, NO! NGGA LEBAY SAMA SEKALI. Dan bener2 kita butuh toleransi & kerukunan dgn smua manusia tnpa memandang perbedaan apapun. Kita ga ada yg tau masa depan gmn. Dan karma itu selalu ada. Who knows one day we will need the one we ditched the most? Who knows?
    Sekian.. And maaf sebelumnya kalo ada penggunaan diksi yg salah

    ReplyDelete
  36. The author shares their personal experiences as a member of a minority group in Indonesia, emphasizing the importance of understanding the traumatic experiences of the minority population. They argue for empathy to bridge the gap between communities, fostering a more inclusive and compassionate society. Abogado de Accidentes Camiones Grande

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^