Friday, June 16, 2017

Diari Papi Ubii #19: Memangnya Suami Perlu Diimbangi?

Loyal readers blog Diari Mami Ubii pasti tahu saya pernah bikin tulisan berjudul Mengimbangi Suami. Di situ, saya cerita hal-hal yang saya lakukan atau usahakan untuk mengimbangi Adit. Kalau belum baca tulisan itu, baca dulu ya. 



Kenapa harus baca? Biar relate sama Diari Papi Ubii kali ini, soalnya Adit bakal semacam menimpali tulisan saya yang itu. And, well, sharing his thoughts as well sih. Buat yang baru pertama kali main ke blog ini, Adit itu suami saya dan Jumat 2 minggu sekali itu jadwal tulisan dia.


Adit:
When girls and women are educated and barriers to their best futures fall, companies are more profitable, communities prosper, governments make better choices and economies grow. Countries where women are closer to enjoying equal rights are more economically competitive. Countries that repeal laws that discriminate against women, and pass laws that promise equality see an increase in women joining the workforce and see a boost in economic growth. Companies with more women in senior management are proven to be more profitable. As Beyonce sings, “My persuasion can build a nation. ~ Nina Hachigian

Sebenernya saya dari dulu pengen sekali nulis dengan tema yang sedikit kontroversial. Saya ingin sekali nulis point of view saya tentang “overdosis agama” yang belakangan ini sering sekali isunya dihembuskan oleh kawan-kawan di media sosial. Saya sudah punya gambaran saya akan menulisnya dari sisi saya yang memang sejak kecil sampai SMA mengenyam pendidikan agama di sekolah Muhammadiyah — lalu malah ended up bertato, bekerja untuk antek asing, menikah dengan cewe yang ngga seiman, beda ras pula. Saya rasa saya bisa memberikan sudut pandang yang berimbang untuk menyikapi permasalahan yang sensitif macam agama.

Baca: Cinta Yang Kuterima Dari Mereka Yang Berbeda Agama

Tapi ya ini blognya Grace. Dia bilang, “Enggak. Kamu nggak usah aneh-aneh. Kamu nanggepin tulisanku aja yang kemaren.”

Ya sudah.

Kesan pertama membaca tulisan Grace yang Mengimbangi Suami, saya senyum-senyum saja. Kenapa? Saya merasa ditipu atas judulnya. Saya pikir tulisannya akan sedikit misoginis karena “mengimbangi” itu kok kesannya dari awal saya berada di atasnya Grace gitu? Padahal enggak. Eeh ternyata di akhir si Grace encourage women empowerment lewat tulisannya. Baguslah.

But seriously, dari awal saya tidak pernah merasa “diatas” istri — kecuali saat ena-ena. Ehem.


Saya merasa di level yang sama. Sejak awal pernikahan selalu kami tegaskan, walau peran kami berbeda, tapi ngga boleh ada yang ngerasa “aku yang lebih berperan” atau “kerjaanmu cuma ngurusin ini-itu”… Pokoknya dilarang terlalu jumawa dengan porsinya, dan menganggap remeh porsi yang lain. Breadwinner dan homemaker sama-sama penting. Period.

Dan untuk hobi Grace yang “remeh” macam stalking akun gosip, saya juga mau meluruskan di sini: saya tidak menentang Grace untuk melakukannya.

Baca: Silly Convo #4 - Stop Lambeturah!

Yang saya tentang adalah jamnya. Grace itu kadang ya seharian ngeluh capek, minta dipijat, eeh malamnya masih scrolling akun gosip — kadang sampe jam 3-an. Ini yang saya nggak suka.

Kembali ke kesetaraan posisi tadi.

Yes, akhir-akhir ini saya agak sedikit terganggu dengan beberapa aktivitas teman saya yang sering nge-share tips-tips dari artikel website agar bisa nikah muda, lalu cara taat pada suami yang kelak akan menjadi kunci surga. Saya tidak masalah dengan nikah mudanya sih asal udah cukup umur baik legalitas maupun kematangan organ reproduksi seksualnya — cuma agak gimana gitu soal taat pada suami adalah kunci surga. Setelah saya telusuri, ternyata dalil bersumber pada beberapa verse Quran dan Hadist. Pun di agama lain juga sebelas-duabelas. Well, saya tidak mau mengatakan ini salah itu benar. Who am I to judge lalu belagak jadi sok-sokan bahas kitab LOL. It’s all up to you to define it.

Yang saya tentang disini adalah upaya-upaya pelemahan posisi wanita setelah pernikahan. Ini masih banyak sekali terjadi. Setelah nikah, istri disuruh berhenti kerja. Pokoknya harus beberes rumah. Harus pinter masak. Harus menyambut suami saat pulang kerja dengan kopi panas dan gorengan — tidak lupa pijatan bahu dan punggung karena suami sudah “lelah” bekerja keras seharian di hadapan komputer mencari uang untuk “kelangsungan hidup rumah tangga kita.”

Apalagi kalau sudah punya anak. Wuih! Dengan dalih, “Biar aku saja yang bekerja keras, Dek. Kamu jangan kerja, fokus ngurus anak dan rumah saja. Biar Abang yang sengsara cari uang.”


Women sometimes don’t realize that what so-called “noble task” given by their husbands, actually is a kind of attempt to weaken their position in the marriage. Demi kelangsungan hidup rumah tangga kita? Oh come on. Kelangsungan rumah tangga, atau demi kepuasan ego kamu sendiri wahai bapak-bapak? Perilaku seperti inilah yang menyebabkan istri sangat bergantung pada suami.

Lalu, “biar Abang yang sengsara cari uang,” menurut ngana, ngurus rumah dan anak itu nggak capek kah? Saya pernah jadi bapak rumah tangga — ngurus rumah dan satu anak berkebutuhan khusus selama beberapa bulan, sementara Grace yang cari duit. You know what? Ini adalah pekerjaan yang paling exhausting. Sumpah demi apa.

Baca: Untuk Para Suami, Berbagi Tugas Yuk

So don’t get me wrong yah disini.

Saya sangat respek dengan stay-at-home moms. Saya bisa memahami kondisi di mana memang istri harus mengurus anak di rumah dan tidak (atau belum) bisa bekerja karena mungkin bingung nanti anak dijaga oleh siapa, sedangkan dana belum mencukupi untuk hire nanny atau daycare.

Yang saya kritik adalah para suami yang membunuh mimpi-mimpi istrinya dengan dalih “kodrat istri/ibu ya di rumah ngga usah kerja.”

Memang tugas utama seorang ibu adalah mengurus anak-anak. Tapi jangan lupa, ini juga tugas utama seorang ayah. Memang tugas utama istri adalah mendampingi suami. Tapi jangan lupa, istri juga human being yang punya keinginan, passion, dan cita-citanya sendiri. Dan ini adalah tugas utama suami untuk memfasilitasinya.

Baca: Hobi Suami, Didukung Nggak Ya?

Adalah suatu siang di kantin kantor. Saya dan supervisor saya sedang ngobrol ngalor-ngidul sambil nyeruput kopi sachet. Kami memang sperti itu: sangat random. Detik ini ngobrolin Anies Baswedan, lalu switch ke pembahasan dialog Rhoma Irama dalam film Kemilau Cinta di Langit Jingga, lalu jumping ngomongin kerjaan, diakhiri dengan joke receh. Anyway, saat itu kami sedang membahas pergerakan yang digadang teman doi. Kira-kira begini:

“Tahu nggak, Dit — temenku ini, dia tau-tau ngumpulin ibu-ibu gitu. Lalu setelah dikumpulin, dia nggelar acara ngobrol santai macem talkshow. Temenku ini penasaran banget, apa ada kegiatan lain yang ibu-ibu ini lakukan. Kebanyakan dari mereka ya ngurus rumah. Cuma yang bikin agak sedih, pas temenku nanya ibu ini punya keinginan ngga sih? Hampir semuanya jawab, “Ya kami kepengennya anak-anak bisa sukses, suami bahagia…” Ngga ada yang jawab keinginannya sendiri, Dit."


Sampe temen saya ini emphasize, “Lah itu kan buat anak-anak dan suami. Kalo ibu sendiri gimana? Ibu kepingin jadi apa?” Pada ngga inget cita-citanya, Dit. Saking selflessnya, ngga tahu apa yang mereka inginkan buat dirinya sendiri. Menurutmu gimana?”

Saya bingung mau lebih sedih mendengar jawaban ibu-ibu itu, atau sedih dihadapkan fakta bahwa ternyata masih banyak juga gejala seperti ini terjadi di masyarakat.

Lain cerita, saya sangat salut dengan salah satu teman saya (sebut saja si A) yang memang melarang istrinya untuk kerja kantoran dengan alasan “yang mengurus anak siapa?” Namun, dengan segala upaya, si suami memfasilitasi hobi istrinya yang emang demen sama crocheting dan jahit-menjahit — dan sekarang hobinya membuahkan hasil sehingga istri punya sumber pemasukan sendiri.

Beda cerita dengan si B yang menyuruh istrinya berhenti bekerja. Padahal saat itu si istri sudah jadi senior engineer di kantornya. Begitu punya anak pun, si istri fokus momong. Sampai pada akhirnya si suami menjadikan posisi istri yang fokus ke anak sebagai excuse untuk poligami. “Kamu ngurusin anak terus. Saya nggak ada yang ngurusin.” Ini cerita beneran. Sad fact — and it’s happening out there.


Peran wanita telah mengalami kemajuan pesat dalam gaya hidup beberapa dekade terakhir, baik karena ada yang megang jabatan penting di pemerintahan seperti Ibu Susi atau Ibu Sri Mulyani, maupun untuk hal-hal sederhana seperti mendapatkan pekerjaan, dan akomodasi dalam self-supporting. Sepertinya SDG point ke-5 sudah ada di depan mata. Apa itu SDG? Bisa diihat disini: http://www.undp.org/content/undp/en/home/sustainable-development-goals.html.

Namun, posisi wanita ngga pernah enak di lingkungan patriarkis macam kita ini. Mereka diberi tanggungjawab yang lebih besar yang sudah saatnya ditanggung bersama dengan suami: membesarkan anak dan mengurus rumah.

Kembali lagi ke tulisannya Grace yang Mengimbangi Suami, saya nggak habis pikir lho dia sampai merasa kecil gara-gara buku yang saya baca, gara-gara kerjaan saya, gara-gara lingkup pergaulan saya. Karena semua itu ya saya anggap “occupational hazard” saja dan harusnya Grace nggak perlu minder. Untuk bacaan pun, Grace agak lebay ah. Dia nggak melulu baca Miiko. Saat kuliah, dengan epicnya dia mengupas peran pashtunwali dalam struktur masyarakat Afghanistan melalui media novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini. Kenapa harus minder sama saya coba?

To be honest, saya yang kebanyakan minder sama Grace. Gimana enggak? Dia udah sering banget nongol di TV nasional, diundang buat jadi pembicara di event Kementrian, even foto bareng sama Ira Koesno. IRA KOESNO!

Pernah ngerasa invisible nggak? Saya sering. Gara-gara Grace juga sih. Udah kenyang saya jalan berdua ama Grace lalu ada orang tau-tau nyamperin teriak, “Mbak Grace ya? Foto bareng dong!” — lalu saya minggir diem berasa jadi burung puyuh nyari semak-semak buat berak. Terus, sering saya dipanggil “Pak Grace” sama temen-temen komunitasnya Grace, because they just simply don’t know my name. Pernah juga ada pengalaman absurd ngawal diplomat-diplomat Amerika berkunjung ke ASEAN Secretariat. Pas saya dikenalkan sama official photographernya ASEAN, doi menjulurkan tangan sambil bilang, “Suaminya Grace ya, Mas?”

Damn.

But all in all, saya bangga banget sih ama doi. It’s good to know banyak orang yang terbantu atas gerakan Rumah Ramah Rubella yang digadang Grace dan teman-temannya. It’s good to know tulisan-tulisan di blognya punya pembaca setia. And it’s good to know pemasukan Grace sebagai blogger bisa membantu meringankan beban saya dalam mencari uang.

Baca: Istri Punya Penghasilan Sendiri, Yay Or Nay?

But, the most important “good to know” is that Grace has become an amazing mother to my two kiddos. And it’s been an honor to marry her.

To sum up, I will leave a quote from William Golding here:
I think women are foolish to pretend they are equal to men; they are far superior and always have been.

Tabik!

***

Grace:

What Adit's trying to say is ...

Saya simpulin yah.

💏 Perempuan yang sudah menikah dan punya anak juga berhak dan boleh banget untuk bahagia dengan punya mimpi-mimpi nya sendiri.

Baca: Before Turning Thirty

💏 Perempuan yang sudah jadi istri dan ibu kadang juga butuh waktu untuk menjadi diri nya sendiri, dan melakukan hal-hal yang dia suka.

💏 Membesarkan anak dan mengurus pekerjaan domestik itu 'beban' berdua. Dilakukan sama-sama.

💏 Peran suami yang lebih banyak mencari uang dan peran istri yang lebih banyak mengasuh anak tetap sama-sama penting. Those roles are equally important.

💏 Suami perlu memberikan support pada istri untuk menjadi pribadi yang mandiri. Bukan hanya dalam hal mencari uang, namun juga dalam hal self-confidence, self-esteem, pola pikir, dan wawasan agar suami tidak dengan mudahnya meremehkan istri.

Tentang menjadi istri dan ibu, pasti banyak cerita dan tantangan masing-masing. And of course, pilihan masing-masing. Terkait bahasan ini, saya kasih 3 contoh nyata dari temen-temen saya sendiri yah.

👩 Ibu Candy-Candy. Dia adalah tipe workaholic yang sangat enjoy punya rutinitas kantoran. Passion nya bukan ngurus anak di rumah, karena yah, dia adalah tipe orang yang butuh ketemu orang lain on a daily basis. Orang-orang yang butuh punya obrolan di luar tema perkembangan anak masing-masing. Dia tipe yang begitu. Setelah menjadi ibu, dia jadi stay at home mom, 'hanya' karena suami nya nggak sreg melihat dia bekerja di luar rumah. Suami nya masih sangat mempercayai pembagian tugas tradisional di mana mencari uang adalah tugas suami, sementara tugas istri adalah mengurus rumah. Suami nya nggak menyadari bahwa bagi Ibu Candy-Candy, bekerja bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang passion.

👩 Ibu Chibi Maruko-chan. Dia sebenernya nggak kepengin jadi stay at home mom. Sebenernya pengin kerja di kantor nya yang lama karena dia butuh bersosialisasi dan udah ikrib sama temen-temen kerja di kantor lama. Tapi kondisi keluarga nya memang mengharuskan dia untuk jadi ibu rumah tangga. Gaji suami nya masih UMR. Otomatis mau hire babysitter atau bayar daycare belum bisa. Eyang-eyang nya tinggal di kota lain. Lalu nanti anak nya sama siapa kalau kedua orangtua nya bekerja? Maka pilihan paling masuk akal adalah Ibu Chibi jadi SAHM.

👩 Ibu Shizuka. Dia memang passion nya jadi ibu. Dia tipe yang menikmati aneka keriweuhan pagi-pagi gedombrangan bikin MPASI buat anak nya, bersihin ini itu karena diberantakin dan dicoret-coretin sama anak nya, endebre-endebre. Sebelum punya anak, dia bekerja kantoran yang jabatan dan gaji nya sudah lumayan banget lah. Setelah punya anak, dia memilih untuk resign karena ya itu tadi, passion nya adalah memang ngurus anak dan rumah. Keputusan itu harus 'dibayar' dengan suami nya perlu sering ambil lemburan supaya semua kebutuhan hidup mereka tercukupi, karena kan nggak ada penghasilan lagi dari Ibu Shizuka. Tapi ya, tidak masalah. Mereka menikmati itu. Ibu Shizuka nggak pernah mengeluh membabibuta saat harus hemat atau karena capek ngejar-ngejar bocah karena jadi stay at home mom adalah 100% pilihan dan keinginan dia sendiri yang dapat full support dari suami.

Yang Adit suka merasa sedih sehingga jadi ingin merangkul suami-suami itu, jelas, model suami nya Ibu Candy-Candy.

I hope you've got the point.

Tulisan Adit yang ini mungkin akan ada yang nggak setuju. So, feel free to agree to disagree yah.


The bottom line is ...

Pernikahan adalah tentang berkomunikasi dan berkompromi. Istri sama berhak nya dengan suami untuk berbahagia dan punya mimpi. Suami butuh merasa dihormati dan diayomi istri nya. Istri butuh merasa didengarkan, dihargai, dan diberikan pilihan ketika pilihan memang tersedia.

Untuk perempuan-perempuan single yang belum menikah, kalau kamu merasa pekerjaan kamu adalah passion dan kebutuhan yang lebih dari 'sekedar' mencari uang, komunikasikan opsi-opsi ini pada calon suami mu kelak. Boleh nggak kalau kamu akan tetap ingin bekerja setelah punya anak. Boleh nggak nanti memakai jasa daycare atau babysitter saat kamu harus bekerja. Komunikasikan.

Karena seiring berjalan nya waktu, ternyata cinta doang mah nggak cukup. Ternyata kompromi dan komitmen jauh lebih perlu.



Love,




31 comments:

  1. Ngikik baca candy candy, maruko.chan :D

    Mas Adit pro feminis kah? Salut

    ReplyDelete
  2. Setuju banget. :D Kalau udah ngerasain indahnya rumah tangga, bakal ngerasain banget deh. Nggak melulu soal cinta.

    ReplyDelete
  3. Salut sama Papi Ubii. Cara berpikirnya modern banget. :)

    ReplyDelete
  4. Andaikan semua lelaki punya pikiran kayak Adit

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak perlu semua laki-laki, minimal suami kita aja. Hehehe.

      Delete
  5. lalu saya minggir diem berasa jadi burung puyuh nyari semak-semak buat berak. LOL.
    Keren as always, banyak belajar dari kalian berdua^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga ngakak pas baca draft nya bagian itu. Hahaha. Thanks for visiting ya, Nyak! :*

      Delete
  6. Satu kata buat Adit, PINTER! pinternya lahir batin pula.
    Jarang ada laki-laki yang pinter kayak gitu. Lucky you, Ges!. :)

    Both of you complete each other, serasi banget.
    Awet-awet, akur-akur terus ya... Tuhan berkati.

    ReplyDelete
  7. Nggak pernah kelewatan baca tulisan papi ubii, selalu kasih pencerahan dan tau gimana sudut pandang laki2

    ReplyDelete
  8. Salut sm the way of thinking nya papi Ubii & even mau terjun lsg jd 'bapak rmh tangga' 👏👏 krn di negara ini srgkali ga cm suami yg mikir gt tp bhkn mertua2 & org tua dr pihak istri sekalipun. Jd mau ngubah mindset yg mendarah daging itu udh susahh bgt krn udh jd 'tradisi' 😅
    Salute for your both achievements & thank you for sharing with us (the readers) feeling blessed dgn info2 & pembukaan2 barunya 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener, kadang yang bikin susah itu justru dari keluarga besar ya. Padahal kadang suami nya sendiri mah oke-oke aja. Makasi udah mampir ya, mom :)

      Delete
  9. sepertinya sebentar lagi akan banyak yg minta foto bareng sama pak grace juga nih kalo lg jalan2 berdua..jadi gak perlu melipir nyari semak2 lagi dehh...hihii. pliizzzz tularkan pemikiran2 kaya gini ke 'mas bojo'ku...

    ReplyDelete
  10. Selalu suka sama pemikirannya mas adit. Karena dasarnya saya juga sbg cewek agak ga setuju kalau harus jd SAHM setelah nikah. Karena ya kata Mba Gesi td bener, kerja itu bukan cuma soal uang. Tp macem character building gitu mba buat aku. Jadi kalau harus jadi SAHM maybe aku pilih calon lain hehehe.

    ReplyDelete
  11. Mas Adit keren ������ (aku tau namamu kok mas, dari mbak Gesi sih ������)
    Aku termasuk ga setuju kalo istri (apalagi yang punya anak kecil) bekerja alasannya 'cuma' krn uang, dg syarat suami bekerja dan berkecukupan ya
    Tp aku setuju kalo istri bekerja krn emg ada passion, apalagi ada tujuan pengabdian (dokter, guru, dll) atau tujuan mulia lain yg bermanfaat untuk pemberdayaan masyarakat
    Aku sendiri ibu rumah tangga yg nyambi privat lepas, suami bertanggung jawab penuh soal keuangan keluarga tp dia ga nglarang aku ngajar privat krn dia tau i love it very much
    Pun dia bilang gpp kalo aku mau berhenti kalo capek (kadang curhat tentang siswa/keluarga ga emg susah ditangani dia malah ikut sebel dan marah sendiri haha, dia ga mau aku susah dan capek aja sih)
    Kami berdua bangga dan menghargai apa yg masing2 kami lakukan

    ReplyDelete
  12. Setuju delapan sembilan sepuluh pokok e buat mas adit.

    Semoga besok anak q bisa pinter bahasa inggris dan pengetahuannya luas kaya mas adit dan mb gesi..aamiin..😊😊

    Alhamdulillah suami q tipe yg mau berbagi tugas dan memahami bahwa aq punya mimpi dan butuh dunia luar.

    Klo dr 3contoh diatas aq bingung masuk yg mana, hahaha. Aq butuh dunia luar buat mbangun jaringan, tp juga pegang anak. Aq tipe gak mudah percayaan sama orla, sama simbahnya anak jg agak gimana gitu klo mau nitipin lama ato bahkan suruh ngasuh. Khawatir gak sesuai harapan q..hahahaha

    ReplyDelete
  13. Hi ci.. Akhirnya diary papi ubii ada lgi..
    Suamikua tipe yg dukung aja sih kko kerja malah dia fine fine aja. Cuma setelah mama sya sakit jdi ga bsa kecapean mau ga mau sya resign. Krna sya ga percayaan sma orng. Ya.. Mau cri nany tpi aya parnoan bgt jdi orng. Klp sodara sndri ga yakin sma gaya asuhnya. Jdi wktu itu kptusan yg ckup berat hrus resign kntor aplgi atasan sya ada ksih harapan utk sya jdi naik jabatan. Dan wktu itu kntor jga berat utk lepas sya.
    Tpi pda akhirnya memilih anak dlu.
    Dan now sya udh sngat menikmati hmpir setahun jdi IRT. Dan sya jdi happy jga krna jdi bsa menyalurkan hobby baking di dapur dan suami ga larang asal happy.
    Dan utk rencana kedepan jga suami udh tau sya mau apa aja. Krna sya sllu crta sya pngen ini pngen itu. Dan ya sejauh ini dia sih oke.
    Smoga lah suatu saat di waktu yg tepat yg bsa melepas anak sya dgn orng yg tepat di saat yg ga sama dia. Dan bsa wujudin ini itu saya. Hehehe

    ReplyDelete
  14. Astagaa...
    Gua suka banget tulisan ini.
    Setuju banget sama opininya papi Ubii..
    For me (20 years old girl), yang masih kuliah dan kerja (Not in a place to judge sih), gua kadang suka kesal dengan anggapan kalo yang namanya ngurus ruma dan anak itu cuma kerjaan ibu seorang, sesuatu yang seharusnya dibagi rata antara suami dan istri.

    Apalagi sewaktu gua bilang mau kuliah S2 dan mama simply bilang "Cewek gausah sekolah tinggi-tinggi, nanti juga terkhirnya di dapur"
    Demi apa pun..
    I believe kalo smart mom will make a smart kids,
    Buat gua yang suka benget sekolah, melanjutkan pendidikan itu bukan sekadar formalitas, tapi kebahagiaan...
    Ok.

    Berharap nanti bakalan dapet suami yg open minded banget kyk mas deeh..
    :D

    ReplyDelete
  15. Well said!

    Udahlah kalian berdua rock and roll couple bangeeettt lah
    Kindly visit my blog: bukanbocahbiasa(dot)com

    ReplyDelete
  16. Sumpah ngakak pas bagian nganter diplomat ASEAN dan akhirnya disapa dengan Pak Grace, haha.anyway aku pernah jadi Ibu Chibi Maruko Chan tapi tipe 2, gaji suami sih Insyaallah udah lebih dari cukup, tapi kondisi jauh dari ortu, mertua dan sodara,bikin parno kalo ninggalin anak cuma sm pengasuh, akhirnya jadi SAHM, lalu banyak ngeluhnya! Dan ternyata passion ku juga ga ngurus anak dan rumah aja, dari sononya butuh ngobrol sama orang lain, butuh bersosialisasi (yg bukan ngegosip sm tetangga, hehe), dan upgrade diri, dg kata lain kudu pny aktivitas lain yang bermanfaat. So far lbh bahagia dengan kerjaan yang fleksibel waktunya, jadi tetep bisa mencapai impian, tapi anak masih bisa terhandle (dengan bantuan suport sistem tentunya:D). Dan percaya ga percaya, respon suami juga jadi beda (lebih ngenakin lah) semenjak aku lebih bahagia:)

    ReplyDelete
  17. Tx God, suamiku punya prinsip yg sama ama adit :) .

    Beda ama yg sebelumnya -_-. Dulu aku sering ngerasa minder, sakit ati gara2 dicekokin dengan kata2, "kamu tuh istri, harus nurut kalo ga mau durhaka"

    Untung akhirnya aku sadar, suami begini mah cerein aja, krn palingan ujung2nya dia cm manfaatin itu dan selingkuh jg toh. Terbukti soalnya.

    ReplyDelete
  18. Haha..burung puyuh yg cr semak2 buat berak..
    Mas adit ini kya papaku bgt, pendukung, gender equality, aq hmpr terjebak jd ibu2 "yg pntg suami n anak2ku sukses", tersadar wkt terakhir ini papaku nanya "klo kamu sendiri, apa rencana utk dirimu sndri?", Awalnya aq ngrasa klo papa tkt dgn nasibku klo ditinggal suami (in negatif or positive way, tau kan ya mksdku?) Tp stlh aq pikir2, aq kan jg manusia, dlu pny cita2 jg, knp cm berakhir n bahagia liat suami n anak sukses, knp g bahagiain mereka jg krn liat ibu/istri mereka sukses dgn jlnnya sndri.

    ReplyDelete
  19. Ihh... selalu​ suka dengan tulisannya mak grace..

    ReplyDelete
  20. Nice share Pak Grace, eh mas Adit. Bersama kita bisa kan kesimpulannya, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah...

    ReplyDelete
  21. Soal pembagian ibu ibubitu lucuuuk banget. Tapi emang beneran loh. Aku sih ngerasa seneng seneng aja ngerjain kerjaan rumah ataupun momong, Alhamdulillah suami ngebebasin sih mau kerja atau mau di rumah, asal kita ngomongnya enak dan gak pake nyolot, biasanya suami tuh suka luluh sama istri hahahah

    ReplyDelete
  22. Lah..baca ini jadi pengen mewek.apa ya mimpiku?apa ya passion ku?masih blm punya tujuan *sigh

    ReplyDelete
  23. Banyak yang setuju. Saya pun juga.

    Ah bagaimana harus menjabarkan. Saya punya tante yang keluarganya bisa dibilang agamis. Namanya hidup yang seperti roda, ketika itu mereka sedang di bawah. Dengan mempertahankan 'perempuan harus di rumah', akhirnya berhutang besar.

    Ah siapa juga saya judging them. Kalau memang yang perempuan tidak mampu, gak masalah sih. Tapi gak benar juga, kalau sudah ada kejadian seperti itu, masih menggunakan pola pikir perempuan harus di rumah.

    Daripada begitu, nanti malah anaknya gak bisa dicukupi kebutuhan materinya.

    Ah tak tahulah.............................masih perlu kontemplasi lebih dalam lagi. Hehehehe.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^