Friday, January 6, 2017

Gamang (#GesiWindiTalk ft. #SassyThursday)


Ini adalah edisi nostalgia, ceritanya. Jadi, jauh sebelum saya menyebut diri sendiri dengan mommy blogger slash parenting/family blogger dengan gaya bahasa yang santai dan daily gini, saya udah suka nulis. Dengan gaya tulisan yang beda banget dan mostly tentang ... cinta.


Atau patah hati. Atau cowok. Atau galau. Gesi alumni galauer angkatan 2007-2011. Kenapa suka? Karena dulu saya anak sastra, I mean bener-bener anak sastra karena ambil jurusan sastra. Eh, ada hubungannya nggak sih? Lalu saya kangen sama tulisan-tulisan saya zaman baheula itu.

Windi Teguh, Annisast, dan Nahla juga kangen!

Yes, you read it right! Mereka bertiga itu sami mawon. Pernah jadi alumni galauer. Beda angkatan doang. Pernah suka nulis dengan gaya bahasa menye-sastrawi. (((SASTRAWI))).

So yea, we four are doing blog collab again! Dan kami bakal jembreng draft tulisan lama kami zaman abege. Although until now Nahla masih abege sih sebenernya.

Windi Teguh | Pernah Galau
Nahla | Rantai


(Maaf ya, Papi. Ini tulisan tentang mantanku. Tapi aku udah nggak punya rasa tertinggal kok buat dia. LOL!)

Baca: Berteman dengan Mantan Pacar

Kalau baca tulisan zaman dulu ini, saya jadi kasihan sama diri sendiri. Kok segitunya apa-apa demi mantan, padahal mantan nyebelin. Kok segitunya ngalahan padahal saya dikekang macam-macam. Truth be told, dulu saya itu dependant banget sama mantan-mantan. Rasanya kayak butuh dan ketergantungan banget sama mereka dengan dalih biar nggak kesepian. Makanya saya paling nggak bisa jomblo lama-lama karena pasti ngerasa kok nggak ada yang merhatiin.

Pokoknya beda banget nget nget sama Gesi yang sekarang. And the credit goes to one and only Aditya Suryaputra slash my husband. Bersama Adit, saya merasa didengar dan dihargai. Dikasih kapasitas dan porsi untuk bicara, memutuskan, dan bertindak.

Sebelum jadi Gesi hari ini, pernah ada Gesi yang galauan abis!


So this is it!


***

GAMANG

Senin, pukul tujuh pagi.

Pagi-pagi, aku sudah merasa sepi. Sepi yang amat. Sepi yang sangat. Tubuhmu yang masih tergolek di bawah selimut kesayanganmu itu pun tak mampu memberi efek nyata bahwa aku sama sekali tidak sendiri.

Kulirik tubuhmu di bawah selimut Iron Man kesayanganmu. Kamu ingin selimut itu tapi aku tidak. Dan seperti yang lalu-lalu, kamu tak mau tahu. Padahal minggu lalu kamu telah bilang setuju saat aku meminta selimut berbodir bunga matahari favoritku. Karena itu, pujianku pada selimut barumu semua palsu, hanya untuk menyenangkanmu. Hanya supaya kamu tidak ngambek padaku. Sekedar untuk menghindari malam-malam panjang berisi keluhanmu tentang aku yang kamu rasa tidak menghargai kegemaranmu. 


Selasa, pukul tiga sore.

Sore-sore, sudah capai badanku. Sekarang aku hanya ingin mandi, buat coklat panas mengepul, lalu baca majalah favorit sambil selonjoran di sofaku. Aku lupa kapan terakhir aku punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang menjadi hobiku. Setahun belakangan hari-hariku penuh dengan kamu, hidupmu, dan urusanmu. Tapi, kau datang bawa senyum mengembang, bawa dua tiket New Moon yang sudah sangat amat ingin kamu tonton. Kamu bilang mari kita nonton pukul lima nanti, tanpa bertanya apa aku mau, tanpa butuh tahu apa aku setuju, tanpa memastikan apa aku masih cukup bersemangat untuk itu.

Aku mau menolak ajakanmu itu, Sayang. Aku ingin bersantai dengan daster kumal dan tidak berdandan sambil membaca di sebelah kipas angin yang baru aku beli. Tapi dan tapi, aku tahu kamu akan punya segudang alasan untuk membujukku. Namun dan namun, aku tahu kamu akan memberengutkan bibir lucumu itu bila aku tak setuju. Lagi dan lagi, aku paham kamu akan diam semalaman bila aku menolak kencan, yang kamu persiapkan. Kamu tahu Sayang? Aku benci New Moon. Aku tidak pernah suka film yang diangkat dari buku. Aku takut kecewa jika hasil di layar raksasa tidak seindah imajinasi yang sudah kubangun dari ribuan kata-kata. Aku sudah kenyang makan perasaan kecewa. Tapi dan tapi, kamu selalu beranggapan bahwa aku akan suka hal-hal yang kamu cinta. Salah. Namun dan namun, kamu tidak tahu bahwa kamu salah. Lagi-lagi, itu karena kamu terlalu enggan untuk bertanya. Atau mungkin juga, kamu terlalu tinggi hati untuk menerima penolakan dariku untuk segala hal yang kamu ajukan. Benar-benar cerita lama.


Rabu, pukul sebelas malam.

Hari ini aku kesal, lelah, dan emosian. Paper ku ditolak mentah-mentah oleh dosen sialan. Aku ingin bercerita padamu, Sayang. Aku ingin kamu menghiburku, entah dengan apa yang kamu bisa buat untuk memunculkan senyum di wajahku. Belaian lembut di rambut akan aku terima. Sepotong tebak-tebakan konyol pun aku akan bersuka. Aku tidak ingin emosi, jengkel, dan grundelan sendiri. Aku ingin kamu menemaniku seperti yang aku lakukan selalu. Sialnya, kamu habis beli majalah motor baru.

Jadi aku tahu, kamu tidak akan menemaniku, kamu tidak akan menghiburku, dan kamu pasti tak akan berusaha untuk menghadirkan senyum di wajahku yang lesu. Jadi aku paham, aku akan sendirian. Kamu akan tenggelam dalam majalah jelek itu. Kamu akan minta dibuatkan teh hangat dan dipanggangkan roti bakar cokelat sebagai teman menikmati majalah baru itu. Jadilah aku bertambah emosi dengan wajah makin lesu, tanpa kamu mau tahu.


Kamis, pukul delapan malam.

Kamu terlampau asyik baca majalah kesayangan tadi malam. Makanya kamu sakit sekarang. Masuk angin biasa, pikirku. Tapi, kamu yang tidak biasa sakit itu langsung ingin manja-manjaan. Minta dipijit kakinya, minta diurut perutnya, minta dikerik punggungnya.

Lagi-lagi, tanpa menanyakan kesediaanku, kamu datang bawa balsem dan uang logam lima ratusan itu. Tanpa peduli pada mukaku yang kutekuk tak berbentuk, kamu langsung buka baju dan rebahan beralaskan selimut Iron Man mu. Kamu bahkan tak mengucap kata apa pun untuk meminta. Kamu beranggapan bahwa aku harus peka kamu sedang butuh apa. Kamu terlalu percaya diri kalau aku tidak akan berkata tidak padamu. Benar juga, pikirku. Kapan aku pernah berkata tidak padamu? Oh, setahun lalu! jawabku dalam hati.

Tiba-tiba aku ingat kalau aku kapok memberimu kata tidak. Setahun lalu aku bilang tidak pada ajakanmu makan di restoran cepat saji favoritmu. Setahun lalu perutku sudah kenyang sehingga tidak sanggup lagi menampung ayam dan kentang goreng serta segelas kola yang aku tahu akan kamu pesankan. Setahun lalu kamu merasa tersinggung karena aku bilang tidak pada ayam dan kentang goreng dan segelas kola yang rencananya akan kamu pesankan. Akhirnya kamu marah. Aku, yang saat itu masih tergila-gila padamu, spontan menyalahkan perutku yang tidak mampu mengganyam ayam dan kentang goreng serta segelas kola yang sejatinya akan kamu pesankan. Aku jadi takut untuk kemudian memberimu kata tidak. Itu aku setahun lalu.

Sayangnya untukku, aku yang kini bukan aku setahun yang lalu. Sayangnya untukku, sekarang aku belum tahu apa yang aku mau untuk berkompromi dengan tabungan kata tidak dalam hatiku supaya tidak aku muntahkan ke wajahmu.


Jumat, pukul sembilan pagi.

Hari ini aku bolos kuliah. Buatku itu hal yang bukan biasa. Aku selalu suka kelas-kelas di kuliahku. Aku selalu menanti-nanti diberitahu hal-hal baru dalam mata-mata kuliahku. Aku selalu ingin cepat sampai di kampus tercintaku karena saat di kampus aku bisa sejenak bebas dari kamu. Ketika aku di kampus, aku bisa sebentar melupakan tanggungjawab ku menjaga suasana hatimu. Saat aku kuliah, aku bisa barang dua sampai empat jam jadi wanita merdeka yang tidak boleh berkata tidak pada kekasihnya. Aku bisa tertawa tergelak-gelak dengan bebasnya tanpa hardikan darimu yang merasa bahwa wanita tak sepantasnya tertawa membahana. Aku bisa bercanda dengan teman-teman pria tanpa omelan darimu yang berpikir bahwa aku hanya boleh bercanda denganmu sebagai satu-satunya lelaki di hidupku. Aku bisa bebas membicarakan hal yang aku suka dengan kawan-kawan wanitaku tanpa pincingan mata darimu yang beranggapan bahwa apa yang aku bicarakan tidak penting dan hanya buang waktu. Aku bisa merasa merdeka dengan waktuku karena selama aku duduk menerima ilmu. Aku jadi punya alasan untuk mengabaikan pesan singkat atau panggilan darimu.

Aku yang secinta itu pada kampus dan perkuliahanku, hari ini membolos. Itu semata-mata karena aku takut dimarahi dosen lantaran paper ku masih jauh dari kata beres. Padahal kalau kamu berkenan sadar, paper ku yang tak beres ini adalah akibat kamu yang mengharuskan aku mengurusi kamu semalam lalu. Tapi aku selalu tahu bahwa kamu selalu tak mau tahu.

Pikiranku melayang. Melayang ke perkenalan kita dulu. Mengawang ke hari-hari kita dulu. Absurd, pikirku. Kamu begitu saja masuk ke kehidupanku tanpa aku pernah mengatakan ‘I do’ untuk kehadiranmu. Sayang, apa kamu tau kalau sebenarnya aku ingin mengucap ‘I do’ itu? Tetapi, kamu dulu bilang bahwa yang penting adalah perasaan kita bagaimana dan kemana arahnya, bukan pernyataannya. Apa kamu tahu kalau aku dan puluhan teman wanitaku beranggapan pernyataan adalah juga penting? Apa kamu mau tahu? Aku tahu kenapa kamu tak pernah menawarkan kesempatan bagiku untuk bilang ‘I do’. Kamu cuma malas bermanis-manisan. Kamu malas buang-buang waktu. Kamu malas mencari tahu apa yang aku mau dan apa yang aku suka untuk melengkapi momen-momen wanita berkata ‘I do’. Apa yang aku suka itu aneh buatmu dan untuk mencari tahu tentang itu sama saja dengan buang waktu. Jangan pikir aku tak tahu.

Bicara tentang perasaan. Aku bertanya apa yang perasaanku bilang tentang kamu. Kamu bilang sayang aku. Tapi, kamu sering memaksakan kehendak tanpa tanya apa aku mau, tanpa penasaran apa aku setuju, tanpa merasa penting buatmu untuk tahu apa aku suka dengan itu.

Kalau aku dipaksa mencari satu kata untuk menggambarkan kamu, aku akan jawab kata itu adalah dominasi. Ya, dominasi. Dominasi yang melekat kuat dan saling melengkapi dengan eksistensi. Di mana kamu ada, di situ ada dominasi. Sebaliknya, di mana aku didominasi, di situ ada eksistensimu. Anehnya, kamu bisa membuatku tergila-gila padamu. Paling tidak, dulu. Apa yang membuatku jatuh terlalu dalam untukmu, itu masih misteri besar buatku.


Sabtu, pukul tujuh malam.

Aku gamang hari ini. Tidak, bukan hanya hari ini dimulainya gamangku ini. Ini gamang yang sudah lalu-lalu, gamang yang tak pernah kamu tahu. Ini gamang yang mengakar, mengakar sejak aku bertemu kamu. Ini gamang yang mengerak, mengerak karena terlalu lama aku diamkan dan aku anggap bukan apa-apa. Ini gamang yang berhembus, berhembus tiap hari dimulai sejak aku tak punya waktu untuk memanjakan diriku. Ini gamang yang menyiksa, menyiksa karena aku tak tahu harus bagaimana untuk berkompromi dengannya. Ini gamang yang membius, membiusku menjadi orang yang linglung, tak bertenaga, dan tak tahu lagi mauku apa ketika berhadapan dengannya. Ini gamang yang mengutuh, mengutuh tiap harinya karena kamu selalu memberi pengaruh. Ini gamang yang tercipta, tercipta oleh eksistensi dan dominasimu. Ini gamang yang ... nyata. Ini gamang yang benar adanya.


Minggu, pukul lima pagi.

Mungkin ada baiknya jika aku pergi. Mungkin akan lebih baik jika aku sendiri, tanpa ada kamu yang mendominasi. Ternyata aku benar-benar letih menghadapi dominasi, apalagi itu bukan dominasi diriku sendiri. Ternyata aku sungguh-sungguh gamang. Dan ternyata gamang ini sangat nyata. Bahkan, ini lebih nyata dari eksistensi dan dominasimu belaka. Ternyata gamang ini lebih nyata dari apa yang aku duga tentang keberadaannya. Tak perlu lagi aku berdiskusi tentang gamangku ini padamu, Sayang. Tak perlu aku mencari obat mujarab untuk menyembuhkan gamangku ini. Ya, aku tak perlu membicarakan ini padamu karena aku yakin kamu tak akan dapat membantu.

Bahkan, aku tak yakin apa kamu tau apa arti kata gamang itu.


***

Tulisan ini saya tulis di tahun 2010.

Kayaknya, momen itu adalah huge enlightenment buat saya. Kayaknya, itu lah saya pertama kali nyadar banget saya punya karakter alpha-female yang nggak mau kalau harus nurut blablabla tanpa alasan masuk akal. Hahaha apa sih!

Baca: Diari Papi Ubii #6: When You Marry A Monster (And How To Deal With It)

Tapi setelah saya baca ulang barusan. Yuck banget yak. Hahaha. Nggak karuan dan bertele-tele minta ampun.

Ada yang baca sampai abis, nggak? Hahahaha.

Lebih suka tulisan saya zaman sekarang apa zaman labil? HAHAHAHA!

Tulisan collab #GesiWindiTalk ft. #SassyThursday yang lain:

Baca: #TeamMelankolis

Baca: Nama Beken, Penting Nggak?

***

JANGAN LUPA IKUTAN NEW YEAR GIVEAWAY DIARI MAMI UBII YAH! di SINI.





Love,





22 comments:

  1. Suka cara mami gesi menyampaikan kesehariannya, selalu terasa melibatkan pembaca, sukses terus menginspirasi ya mi..

    ReplyDelete
  2. ga kuat baca ampe abis. maap ya mami ubii... aq ngantuk bacanya! 😂😂😂😂

    ReplyDelete
  3. Kamu menye menye ternyata kurang asik hahahahha

    ReplyDelete
  4. Kak.....panjang bener curhat galaunya -___-"

    Eh itu curhat bukan sih? Mon map, engga baca soalnya :p

    ReplyDelete
  5. Akupun dulu anak sastra mba gesiiii,,, pas SMA masuk jurusan bahasa. Dan dulu pernah nulis menye2 juga. Sekarang juga masih sih, hahaha

    ReplyDelete
  6. Ga baca yg tulisan dulu, puyeng,,, skip aja sampai bawah..hihihi, lebih suka yang sekarang :)

    ReplyDelete
  7. ga! ak geliii dan enegh sendiri.. ampooon kaya balikin memori kegalauan ku di masa lalu dan masa" dgn mantan.. yeiks.. ak tak sanggup baca sampe habis..

    ReplyDelete
  8. aku baca karena kepo hahaha....
    Ternyataaahhhh.

    Suka sama tulisan Gesi sekaranglah kemana mana :D

    ReplyDelete
  9. HAHAAAAAA *beneran ngakak nih Ka Gesi

    Keknya semua orang pernah berada di masa-masa ini ya. SMA sampe ke pertengahan kuliah, terus tobat (ada juga barangkali yg ga tobat-tobat galaunya nyahaha)

    Suka tulisan Ka Gesi yang sekarang. Lebih renyah dan gak bertele-tele. :D

    ReplyDelete
  10. wkwkwkwkwwk.... lucu. Mengingatkan pada tulisan2 jadul di masa silam

    ReplyDelete
  11. Alamaaak, mbak Gesiii...
    Aki baca sampe abis looh.
    Bahasanya ala majalah horizon. Wkwkwkwk...

    Tapi keren kok. Nyastraa beuddd

    ReplyDelete
  12. Hari yang panjang ya, Mbak Ges? :v Gamang itu apa semacam rasa antara iya dan tidak? Aduh, aku aja bingung. :v

    ReplyDelete
  13. Terkadang aku juga .... gamang. Nha? Baper. :v

    ReplyDelete
  14. Semua orang kayanya alumni galauser juga. Aku juga lho? :v

    ReplyDelete
  15. Hihiii lucu juga tulisanmu dulu Ges. Pada masanya dulu pasti itu udh yg paling top lah ya buatmu. Yg jelas pasti melegakan toh bisa nulis seperti itu.

    Saranku sih...ojo mbokbaleni neh ya nulis ngono hahhaaaa...

    ReplyDelete
  16. tulisan yg dulu terlalu galau dan ngeluh aja Gesi, kayak bukan dirimu

    ReplyDelete
  17. wkwkwkwkkw, ini bukan gesi yg aku biasa baca :D.. sumpah ini bener2 bikin galau yg baca juga ges ;p.. hihihihihi... itu mantanmu ingetin aku ama ex suami ;p.. aku jg g prnh bilang TIDAK dulu.. tp akibatnya ga bgs utk kejiwaan ;p.. untung skr udh bye bye... dulu aku juga slalu nulis ttg masa2 jaman dulu.. di blog nya friendster dan multiply ;p.. untung ya allah itu 2-2 nya udh mnghilang dr muka bumi, jd hilang jg tulisan2ku yg alay ;p

    ReplyDelete
  18. Hahahaha kok aku bingung baca curhatan gamangnya gesi
    Wis... syukak yg sekarang

    ReplyDelete
  19. Akuuu. Aku baca sampe habis loh kak Gesi. Hahaha. Aku suka tulisan kak Gesi, semuanya! Tapi emang beda feel-nya. Kalau yg dulu puitis banget, kalau sekarang menghibur abis ♥ Anyway kak, tiap beberapa hari sekali aku selalu cek blog kk dan seneng banget begitu ada post baru. Yeayy!!! Haha. Segitu fansnya sama kakak. Hope will meet you someday, tapiii aku di real-nya pendiem sih, pasti ga asik. Hahaha. Jadi OOT. XD

    ReplyDelete
  20. Baca ampe habis Ges 😥 Lebih ngerti dari tulisannya Windi 😀 Kayak diari kalo punyamu.Kalo Windi bahasanya puitis.Untung ada dijelasin latarnya kalo ng saya bingung jadinya ng ngerti 😁.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^