Tuesday, August 28, 2018

Bercerai Atau Bertahan


Belakangan ini saya makin sering sharing di IG stories. Idk why people are so into IG stories these days. Awalnya saya males, soalnya capek banget loh ngetik di hp gitu. Jauh lebih enak blogging via laptop. Tapi ternyata kok keterusan. Sekalinya sharing malah jadi rentetan titik, lol.


Biasanya saya sharing seputar marriage atau parenting. Yang terakhir, Jumat kemarin, tentang LDM. Long Distance Marriage yah, gengs, kepanjangannya. Sebenernya mau LDM kek, mau seatap kek, yang selalu saya garisbawahi satu: KOMUNIKASI.

Baca: Benteng LDM Harus Lebih Kuat, Like It Or Not

Namanya hidup orang itu macam-macam, tipikal orang juga aneka ragam. Ternyata kunci komunikasi yang selalu saya agung-agungkan ini nggak selalu work di pasangan lain.

Sering banget saya terima DM semacam ini:

"Beruntung banget ya Ci Ges, Kak Adit orangnya mau dengerin"
"Aku boro-boro banget. Aku coba mengkomunikasikan aku lagi capek, suamiku langsung nuduh aku ngeluh lah, dll"
"Gimana ya caranya biar suami mau dengerin? Soalnya suamiku malah marah-marah kalo aku lagi mengungkapkan unek-unek, padahal maksudku biar plong aja"
"Aku coba bilang biar suamiku lebih involved ngurus anak, dia jadi marah-marah katanya dia kan kalo weekend pengen istirahat karena weekdays udah capek kerja"

Baca: Ibu Boleh Mengeluh Kok


Itu masih level 'enteng' loh. Banyak juga yang curhatnya lebih sedih, kayak:

"Aku bilang sama suamiku untuk stop chatting sama lawan jenis, dia malah marah-marah"
"Aku minta suamiku untuk nggak nonton bokep lagi, aku dibilang ngatur"
"Aku pengin nengok anakku yang lagi sakit, anakku aku titip sama ibuku di desa, suamiku ngata-ngatain aku pakai diksi yang kasar banget"

dan lain sebagainya.

Jadi kebuka banget mata saya bahwa komunikasi bisa jadi tidak semudah itu buat beberapa pasangan. Untuk hal-hal yang wajar kalau istri minta suaminya berubah macam stop chatting sama lawan jenis aja, nyatanya suami malah marah balik. Huhuhu.

Curhatan-curhatan kaya gitu akhirnya mengerucut ke pertanyaan ini:

"Mba Gesi, suamiku nggak pernah mau dengerin aku. Tiap aku berusaha ajak dia ngobrol baik-baik, dia nggak mau atau malah marah. Kayaknya suamiku akan terus begini. Jadi aku harus gimana?"

Saya rasa untuk semua pernikahan yah, including mine, kalau ada hal-hal yang mengganggu kita atau ada watak suami yang annoying banget, pilihannya dua: bertahan atau bercerai.


Bertahan, dengan diupayakan bersama-sama terlebih dahulu. Coba komunikasikan dengan suami, coba bicara dari hati ke hati, atau coba minta bantuan expert seperti psikolog atau hipnoterapis. Bisa nggak kira-kira?

Bertahan, dengan menutup mata alias pasrah. Yaudah deh suami mau gimana juga bebas, toh udah diajak ngobrol enak berkali-kali juga nggak pernah berhasil. Malah jadi ribut gede tiap kali suami diajak cari jalan keluar. Dan alasan untuk bertahan yang pasrah ini bisa banyak banget loh. Demi anak-anak, demi status sosial, demi sokongan finansial karena si istri nggak ada income sama sekali, atau demi cinta. Karena ada kan istri-istri yang sejatuh cinta dan sesayang itu sama suaminya. Atau karena nggak berani aja cerai.

Bercerai, kalau memang kelakuan suami udah level sangat kejam. Bukan sekedar nggak mau dengerin istri doang. Karena toh nyatanya ada suami-suami yang begitu. Baru kemarin saya dicurhatin masalah rumah tangga yang bikin saya ikut sedih ampun-ampunan.

Sebut saja suaminya dengan Pak, dan istri dengan Bu.

Bu pernah memergoki Pak lagi video chat mesum, si Pak cuman pakai celana dalem doang. Besokannya, Bu hack akun video chat si Pak dan menemukan bahwa Pak pernah tidur sama salah satu perempuan kenal dari video chat. Itu posisinya si Bu lagi hamil anak kedua padahal. Berkali-kali Pak terlihat malas cari kerja jadi nganggur. Bu yang sedang hamil sampai harus ambil 3 pekerjaan yang berbeda demi nutup kebutuhan. Akhirnya Bu dapet kerjaan yang oks banget, dapet bonus banyak. Terus tahu ternyata Pak banyak hutang sampai belasan juta. Bu yang lunasin hutang-hutang Pak. Saat Bu hamil anak ketiga, Bu tahu dari teman Pak kalau Pak masih suka nakal-nakal di luaran. Bu ini udah ngorbanin banyak banget. She was very bright. Sebelum nikah, dia udah hampir berangkat ke luar negeri dapet beasiswa.

Baca: Diari Papi Ubii #13 ― Telepon Selular Dan Privasi

Kalo yang kaya gitu, mau komunikasi macam apa lagi coba? Mereka udah nikah 5 tahun, anak udah 3, dan Pak masih aja begitu. Gila sedih dan mau marah banget.


Semua curhat di DM emang nggak semua saya balas. Tapi hampir semua saya baca apalagi kalau tentang marriage. Sadly, yang ngeluh kalau suaminya susah diajak komunikasi tuh lebih banyak daripada yang bilang suaminya mau all ears. Dan ya, saya jadi mikir bahwa komunikasi itu 'hanya' modal nomor dua.

Modal nomor satu nya tetep dapet suami yang baik. 

Definisi baik ini sangat amat luas, jadi saya beberin ya definisi suami baik menurut saya:

💘 Nggak nyakitin istri terus-menerus dengan selingkuh (baik 'hanya' sexting maupun sampai have sex) dan main tangan. Kalau pun pernah khilaf, yowis, tapi kemudian berhenti. Tidak keterusan.

💘 Menempatkan istri sebagai partner menjalani marriage, bukan sebagai subordinate yang lebih inferior. Jadi mau mendengar istri, mau menghargai pendapat istri.

💘 Mau diajak cari solusi ngobrol baik-baik tiap ada masalah atau tantangan apa pun.

💘 Mau ikut involved ngurusin dan ngajarin anak-anak.

Kalau modal pertama, which is punya suami yang baik, ini udah nggak ada yahhh... komunikasi seperti apa pun kok rasanya sulit. Kecualiiiiii suami dapet hidayah atau mengalami life-changing experience.

Saya percaya manusia selalu bisa berubah jadi lebih baik, tapi saya juga meyakini bahwa itu nggak berlaku untuk semua orang. Bisa berubah to be a better person hanya untuk mereka yang memang mau dan ingin berubah. Kalau emang nggak mau, or worse, nggak ngerasa salah, kemungkinan besar nggak akan pernah berubah (menurut saya).


Baca: Memaafkan Perselingkuhan?

Baca: Sex Life After Marriage

Pak dan Bu sudah nikah 5 tahun lebih, sudah pernah liat Bu lahiran normal yang vagina dijahit, lalu terharu dan nangis-nangis mohon ampun. Janji akan berubah lebih baik. Sudah banyak lihat pengorbanan dan kerja keras Bu. Sudah lihat keteguhan Bu mempertahankan pernikahan di saat orangtua Bu semuanya suggest cerai aja dari tahun pertama mereka nikah. Nyatanya nggak berubah.

Untuk yang gini-gini nih, saya hopeless. Memang istri ada kewajiban untuk hormat dan menerima suami apa adanya. Tapi ya nggak gini juga. Bu sudah menunjukkan baktinya selama 5 tahun loh, sudah coba bertahan dengan terus mendoakan Pak selama itu. But at the end, Bu also deserves to be happy lah. Nggak disakitin terus-menerus kaya gini.

"Tapi Mba Ges nggak pernah bener-bener kenal dan pacaran sama Mas Adit kok nyatanya bisa lancar komunikasinya ya, bisa sama-sama ngusahain pernikahannya sama Mas Adit"

I was just lucky, I guess..

Ternyata, 'kebetulan' aja, saya dapetnya Adit yang basicnya memang punya kebaikan-kebaikan yang sesuai dengan definisi suami baik menurut saya. Ternyata, itu modal basic banget. Yang selanjutnya, tentang komunikasi dua arah dan mengupayakan pernikahan bersama-sama terus-menerus, 'hanya' perpanjangan dari modal utama itu tadi.


Kalau ndilalah Adit dari awal punya watak nggak bisa banget hidup monogamis dengan satu perempuan, dari kecil terbiasa menyelesaikan masalah dengan saling bentak atau ringan tangan, dari dulu sudah tertanam prinsip bahwa istri harus selalu jadi subordinate dan harus ngikutin semua-mua kata suami, saya rasa komunikasi macam apapun nggak akan bisa merubah watak yang tertanam nature dan nurtured.

Jadi ya kalau merasa hubungan sama suami blangsak dan susah dibenahi, kembali ke pilihan itu tadi. Bertahan dengan mencoba dulu, bertahan pasrah, atau berpisah ― yang saya tahu bahwa tiga-tiganya nggak ada yang semudah itu seperti saat diucapkan. Bertahan dengan menerima segala perilaku suami yang bikin kita sakit hati, susah. Bercerai, juga bukan keputusan yang seenteng itu. Apalagi kalau sudah punya anak, bikin keputusan apa pun mikirnya panjang sekali.

Kalau mau bicara apa adanya, ya, "Deal and live with it. Toh kamu sendiri yang pilih mau punya suami seperti apa. Kamu sendiri yang menerima lamaran suamimu."

Sounds bitter? Tapi bener kan. Sudah kebacut nikah ya tentu pilihannya nggak akan semudah saat masih pacaran yang tinggal putus lalu cari yang lain. 

That's why, kalau kamu belum menikah, please selektif mencari / menerima lamaran calon suami. Marriage isn't just for one day, but for a very long time. Ngobrol dulu sama calon pasangan, cari tahu stand point nya akan banyak hal: tentang posisi suami dan istri, tentang pengelolaan keuangan, tentang kewajiban ngurus anak, dan lain-lain. Cari tahu apakah kalian satu prinsip untuk hal-hal yang krusial atau nggak. Beda selera musik, selera makanan, dan hal-hal remeh lain sih nggak masalah. Tapi usahakan cari yang seprinsip untuk hal-hal fundamental.

Baca: Menikahlah Dengan Yang Selevel?

Tulisan Icha di blognya tentang hal-hal yang perlu ditanyakan ke calon suami juga coba dibaca ya. Kalau kamu belum menikah, pas banget interview calon suami pakai bahan ini. Ideal terideal memang nanyainnya saat belum menikah sih.

Kalau sekarang kamu ngerasa stuck di pernikahan yang less happy, saya nggak bisa bilang apa-apa lagi selain, "Coba syukuri hal lain."


Tiap manusia diuji dengan soal ujian yang beda-beda. Kebetulan saya tidak dikasih ujian di ranah pasangan dan pernikahan, tapi diuji di kondisi anak pertama saya yang berkebutuhan khusus dan (kayaknya) akan bergantung pada orang lain selama hidupnya. Mungkin kamu dikasih tes nya dalam biduk rumah tangga, dan dikasih Tuhan anak-anak yang sehat dan normal pada umumnya?

Baca: Everyone Has Their Own Battle

Salah kalau ngira hidup saya selalu mudah mentang-mentang saya punya suami yang baik (menurut definisi baik saya). Hidup dengan punya anak berkebutuhan khusus paket kombo seperti Ubii yang tuli, cerebral palsy, dan disabilitas intelektual nggak ada mudah-mudahnya sama sekali.

At the end, satu hal yang saya yakini adalah everyone has their own battle. Kita dikasih ujian di hal ini, tapi pasti Tuhan kasih berkat atau kelebihan di hal lain.

So, for whatever test God puts on you at the moment, hugs. We might be in different shoes, but let's just pukpuk each other.

Di next post, saya akan beberkan list pertanyaan yang perlu ditanyakan ke diri sendiri saat bimbang memilih bertahan atau bercerai.

Baca: 30 Pertanyaan Tentang Bercerai Atau Bertahan




Love,





10 comments:

  1. So sad bacanya. Emang ga mudah menikah itu. Harus harus banget ada kerjasama. Kalo hanya satu pihak yang berjalan, hiks rasanya sulit membayangkan :( Dan memang setiap orang punya ujiannya masing-masing. Kita mungkin ga diuji di satu hal, tapi Tuhan selalu Maha Adil :')

    ReplyDelete
  2. Penasaran sama the next post. Alhamdulillah sih saya bukan termasuk orang-orang yang komunikasinya dengan suami rada kacau, meskipun komunikasi kamu pun tidak sebagus orang-orang tapi alhamdulillah masih diberi iman.

    ReplyDelete
  3. Jadi bersyukur banget banget punya suami yg 'tepat' dan 'baik' versiku sendiri. Baca kisah pak dan bu ga kebayang banget kalo aku jadi bu..:(
    Walopun suami sering nyebelin, sering bikin kesalahan (contohnya bayar uang kuliah yg kelebihan bayar dan ga konfirm ke aku dulu dan jadi nombok :( ) tp ga pernah absen untuk nanyain "kenapa bun?" "Pusing?" "Maaf ya.." "Makasih ya" rasa2nya pengen hug bojo sekarang juga. *korban LDM ��

    ReplyDelete
  4. bener nih mami ubi, pernikahan bisa langgeng seumur hidup kuncinya yah komunikasi, cuma emang susah banget yah menjaga komunikasi yang baik terus-terusan dengan suami kita ada aja kadang salah paham yang bikin marah dan jadi susah atau males ngomongin dengan suami, entah itu karena gengsi ataupun karena emang sudah males

    ReplyDelete
  5. 7 tahun saya bertahan dan akhirnya menyerah karna kriteria "baik" itu ga ditemukan . sedih sihh apalagi ada anak. saya menikah dengan suami juga karna MBA, saya pikir bisa melewati 5thn pertama itu sudah cukup. tapi ternyata karakter tidak bisa diubah. dan suami memilih meninggalkan saya demi perempuan lain. Cuma pihak saya yg selalu mengajak diskusi , terapi , tapi pihak suami ga pernah mau. Akhirnya saya pun menyerah menjalani unhappy marriage..Tulisan Mami Ubii bener bgt. tergantung suaminya seperti apa. yg awal nikahnya sempurna kalau dapet suami yg ga cooperate tetep aja ga akan bertahan.

    ReplyDelete
  6. Saya juga pernah nulis tentang ini mba ges, sangking seringnya dapat cerita serupa. Memang komunikasi adalah kunci. Saya aja meyakinkan diri menikah dengan suami sekarang karena dia orang yang sangat open minded dan mau diajak komunikasi. Karena prinsip bisa berubah,masalah selalu ada, tapi kalau semua bisa dikomunikasikan insyaAllah selalu ada jalan.

    ReplyDelete
  7. Nah memang betul, dapat suami baik itu just a matter of luck. Dlm sejarah, semua laki2 dalam hidup saya ngga bisa diandalkan: kakek saya kawin lagi, papah saya pengangguran, mantan pacar saya cowok brengsek yg sering KDRT. Babak belur saya dihajarnya.

    Eh ndilalah saya putus sama dia dan dapat pacar yg baik (akhirnya jd suami). Sudah 9 tahun saya menikah. Dia suami yg baik: kerja ok, sabar, ga pernah mukul, ga hobi selingkuh, mau ikut pontang-panting ngurus anak. Saya berkarir didukung, setelah saya resign pun dia setuju sebagian tabungan kami saya pakai utk modal bisnis.
    And I think I did nothing to deserve him.

    Our mutual friends (teman-teman kuliah dia yg kebetulan juga teman-teman kos saya dulu wkt masih mahasiswa) said they totally understood why I fell in love with him, and that I'm so lucky to marry a man with character.

    ReplyDelete
  8. Kalo aku jd si Bu, ga nunggu berkali2, tp selingkuh pertama aja udh lgs bikin aku utk cerai :).udh aku terapin ke ex suami pertama -_-. Tapi aku maklum, dan ngertiii banget, kalo ada wanita yg ga setega itu, ato mungkin alasannya demi anak dll. Ya sudahlah yaaa... Kalo si Bu memang sudah memilih pasrah, semoga aja nanti suami kurang ajarnya itu dibukakan hati ama Tuhan. Marah sendiri aku ama suami2 tipe begini :(

    ReplyDelete
  9. Bener sih, kalau dasarnya memang gk mau diajak komunikasi ya susah. Meski suami termasuk yang mudah diajak komunikasi, kami tetep berantem kalau salah satu dari kami jujur ttg suatu hal, hehe. Meski hbs gitu baikan dan cari solusi bareng. Karena buatku jujur meskipun pahit lebih baik dari pada bohong dan pahitnya double.

    ReplyDelete
  10. Pernah baca kalo yg pertama adalah respek , yg kedua komunikasi.
    Saya anak broken home , suami pun begitu. Dulu sering banget menyalahkan orang tua kenapa berpisah , karena anak anak jadi korban.

    Tapi semakin besar saya tahu , orang tua saya berpisah karena ingin bahagia.
    Saya bertekad anak anak saya tidak merasakan apa yg saya rasakan.Alhamdulillah dapat suami baik yg mempunyai komitmen yg sama.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^