Thursday, August 30, 2018

30 Pertanyaan Tentang Bercerai Atau Bertahan


Saat ini pernikahan saya sedang adem ayem. Semoga seterusnya kaya begini sih. Tapi saya selalu mikir bahwa penting juga untuk siap sama kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau seandainya kelak harus berpisah?


Bukan nyiapin satu tas besar berisi baju dan surat-surat berharga biar siap kapan pun harus angkat kaki dari rumah. Itu mah dramatis banget ya, lol. Lebih ke menyiapkan diri dari segi mindset, pergaulan, dan finansial. 

Btw, ini lanjutan dari post sebelumnya ya. Kalau mau lebih runut sih, saya rasa mending baca yang itu dulu.

Mindset

Terlalu banyak saya terima curhatan istri-istri yang cerita suaminya berubah. Dulunya semua berjalan dengan baik. Someday somehow suaminya kepincut sama perempuan lagi. Ada juga yang berubah dulunya kalem, sekarang jadi gampang marah lalu lanjut pakai kata-kata kebun binatang, sampai naik level ke menampar dan memukul. Di depan anak-anak. 

Terlepas dari mungkin suaminya emang aslinya berwatak kurang setia atau kasar, yang jelas saya jadi mikir manusia itu memang bisa berubah. Thoughts are progressive, things don't always stay the same. Itu yang berusaha saya inget terus.

Dan menanamkan mindset bahwa saya berharga saat ini dan akan tetap berharga kalau seandainya kelak jadi janda karena divorce.


Pergaulan

Ada banyak istri yang setelah menikah jadi tidak punya kehidupan lain di luar mengurus suami, anak, dan rumah. 24/7 waktunya dihabiskan hanya untuk keluarga. Udah bener-bener nggak punya temen lagi in real life.

Saya nggak mau kaya begitu. Walau temen dekat memang tidak banyak, tapi tetap punya. Harus punya. Dari jaman SMA, masih ada 2 teman yang bertahan sedekat itu. Dari jaman kuliah, ada 1 yang long-lasting sampai saat ini. Dan ada Icha, Windi, Nahla yang walau ketemu jarang-jarang tapi saya bebas mau cerita apa aja ke mereka dan kami saling bantu.

Baca: Everybody Needs A Best Friend

Rutinitas saya juga nggak selalu berporos hanya di anak. Saya punya kegiatan lain, whether it's blogging or doing campaign about Rubella. Kadang, saya pergi ngopi sama temen blogger atau playdate sama ibu lain sambil bawa anak masing-masing. Yang diomongin emang hanya seputaran blogging atau perkembangan anak, nggak sampai curhat krusial. Tapi intinya, saya nggak mau menutup pintu pergaulan saya.


Saya takut kalau seandainya kelak saya berpisah sama Adit dengan saya nggak punya kehidupan lain, saya jadi ngerasa paling sendirian. Mau curhat, nggak ada yang bisa dengerin tanpa judge. Pengin ghibahin artis sambil ngopi, bingung mau ngajak siapa. Butuh cari info kerjaan lepasan, nggak ada yang bisa ditanya karena nggak punya link ke mana pun.


Finansial

Ini sih obvi banget yah. Saya harus punya uang sendiri. Nggak mau kalau cuman nunggu Adit ngasih. Saya nggak punya kerjaan tetap. Tapi blog dan media sosial sudah cukup. Tiap bulan pasti ada income dari situ walau nominal memang nggak pernah pasti. Kadang bisa sedikit sekali karena cuman ambil satu sponsored post di Instagram. Kadang bisa lumayan. Apalagi yang Sentuhan Cinta Trip ke Siborong-Borong - Sumba - Ambon kemarin. Sujud syukur bener-bener.

Uang yang saya hasilkan, saya yang simpan. Adit nggak utak-atik. Nggak minta saya ikut bayar kebutuhan juga. Kalau untuk itu, saya yang nawarin diri biar ada saya punya kontribusi sedikit.

Kami tahu, akan sengsara sekali hidup saya kelak kalau saya nggak punya sepeserpun plus nggak punya pekerjaan, seandainya berpisah. Sebelum bilang, "Ya iya Gesi bisa kerja wong anak ada yang jagain, ada nanny, dan masih pakai daycare juga" ― coba, emang nggak ada sarana cari income yang bisa disambi walau tanpa nanny dan tanpa daycare?

MLM macam Oriflame itu bisa sih. Saya udah lihat sendiri soalnya Mbak Nur, nanny anak-anak saya, bisa dapet tambahan lumayan setelah join Oriflame. Padahal dia juga banyak kerjaannya. Dia bantu saya urus dua anak, masak, nyetrika, beberes rumah, semuanya. Nyatanya bisa pelan-pelan meningkatkan karir di Oriflame.

Baca: Istri Punya Penghasilan Sendiri, Yay Or Nay

Dia join baru bulan Mei kemarin, sekarang udah mau level 12. Lumayan banget dong. And I'M SO PROUD!

Abis maghrib gitu kan udah kelar semuanya, tinggal santai-santai doang. Boleh lah ngawasin anak-anak sambil pegang hape. Atau pas Ubii bobok siang. Tinggal gimana nya aja cari celah untuk ngurusin kerjaan Oriflame nya. 

Kalau excuse, "Yaaahhh, aku tu ga pinter dagang, nggak pinter ngerangkai kata-kata untuk promosi" ya belajar pelan-pelan yuk kalau memang kesempatan dapet income yang possible sekarang baru dari jualan online. Mbak Nur emang bakat dagang dari awal? Nggak kok. Ingat, profesi dia sebelumnya selalu jadi nanny atau ART dan dia 'hanya' tamatan SMP loh. Ini saya nggak ngerendahin ya, justru bangga banget.

Baca: Nanny 101

Saya pernah mau ambil apa gitu di kamarnya, nggak sengaja lihat ada note lagi kebuka yang mau nggak mau ya jadi kebaca. Ternyata isinya coret-coretan dia ngerangkai kata buat caption dagangan dia. SUNGGUH KUBANGGA.


Mempersiapkan diri secara finansial bukan hanya untuk kalau nanti pisah karena cerai sih, tapi juga untuk kalau Adit meninggal duluan. Biar at least tetep bisa bertahan hidup sebelum dapet penghasilan yang lebih steady ketimbang freelance begini.

Baca: Jika Maut Memisahkan Kita



Dari kemarin sharing tentang marriage, especially bercerai atau bertahan, selain karena banyak banget yang curhat, juga karena saya dan Adit emang pernah dilema banget mau pisah atau mau coba mengupayakan lagi. Fase setelah dilema kan pasti semedi untuk menimbang-nimbang opsi mana yang less troublesome.

These are 30 questions you need to think about.

Finansial

1) Apakah yakin akan bisa bertahan hidup sebelum punya pekerjaan tetap? Seyakin apa suami akan menunaikan kewajibannya tetap memberi uang bulanan untuk kebutuhan anak-anaknya?

2) Seberapa mungkin bisa dapat pekerjaan tetap dengan gaji yang decent? Apalagi, misalnya jika tidak punya koneksi, tidak punya skill, dan sudah lewat dari masa fresh graduate?

3) Apakah orangtua/saudara bisa membantu menopang kebutuhan biaya kalau, worst case scenario nya, nggak kunjung dapat pekerjaan dan suami tidak menepati kewajiban untuk tetap menghidupi anak?

4) Apakah ada saudara yang bisa membantu (entah memberi, atau menghutangi)?

5) Bagaimana pandangan suami tentang harta gono-gini? Karena konsep harta milik bersama itu ternyata tidak selalu sepaham.


Tempat tinggal

6) Di mana akan tinggal kalau berpisah kalau rumah yang ditinggali saat ini adalah milik dan atas nama mertua?

Baca: Menikah Beda Kasta Dan Urusan Mertua

7) Jika harus mencari kontrakan untuk tinggal, apakah mampu membayarnya? Apakah bisa dapat yang lingkungannya aman untuk anak?

8) Jika kembali tinggal dengan orangtua/saudara di kota lain, apa saja yang perlu dipersiapkan? Sekolah/daycare anak? Lowongan pekerjaan di kota lain?


Anak

9) Siapa yang akan dapat hak asuh anak? Biasanya jatuh ke tangan ibu kalau tidak ada special case, apakah akan bisa menghidupi anak?

10) Kalau suami juga menginginkan hak asuh anak, siapkah untuk saling 'berebut'? Atau tidak masalah sama sekali?

11) Apakah anak akan kehilangan figur ayah? Adakah cara agar anak tetap bisa merasakan figur kebapakan, dari Eyang Kakung nya mungkin? Apakah role model kebapakan hanya bisa didapat dari ayah kandung anak?

Baca: Orangtua Vs Kakek Nenek

12) Atau justru lebih mending tidak cerai, anak tetap punya orangtua yang utuh, namun sering menyaksikan orangtuanya bertengkar, dan tidak bahagia?

(Ada kasus suami sering pukul istri, pulang dalam keadaan mabuk, mudah melontarkan makian kasar, tidak pernah menafkahi)

13) Apakah lebih pilih anak punya orangtua lengkap, namun menyaksikan ayahnya menyakiti ibunya? Apakah ini sehat untuk anak?



Diri sendiri dan pasangan

14) Bagaimana kita mendefinisikan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup?

Baca: Dear Ibu-Ibu Yang Kadang Lupa Bahagia

15) Apakah kita orang yang selalu mau mengorbankan semua hal demi anak? Demi anak punya orangtua lengkap, bertahan. Demi anak bisa hidup layak, bertahan. Walau kita tidak bahagia.

16) Secinta apa kita pada suami? Secinta apa kita pada diri sendiri?

17) Sampai berapa lama rasa cinta pada suami bisa jadi alasan yang cukup kuat untuk bertahan walaupun, misalnya, kondisi rumah tangga tidak kunjung membaik, suami terus mengulang perangai yang buruk?

18) Sudah sesering apa suami kasar/selingkuh/kejam, minta ampun, tapi tetap mengulangi? Seberapa yakin suami bisa benar-benar berubah?

19) Sepenting apa status pernikahan?

Baca: Memangnya Kenapa Kalau Nggak Menikah?

20) Seberpengaruh apa judgment dan pandangan society terhadap janda cerai menurut kita?


Jika bercerai

21) Bagaimana menetapkan hubungan dengan suami? Teman? Tidak saling kontak sama sekali kecuali membicarakan anak?

22) Bagaimana kelak menjelaskan perceraian pada anak? Alasan apa yang disepakati bersama?

23) Bagaimana kalau kita atau suami punya pasangan baru? Bagaimana akan menjelaskan konsep ayah/ibu tiri pada anak?



Jika anak diasuh bersama
(misal 2 minggu di ibu, 2 minggu di ayah karena masih tinggal di kota yang sama)

23) Siapa yang akan memutuskan di mana anak akan bersekolah? Ayah? Ibu? Didiskusikan bersama?

24) Bagaimana pembagian siapa akan membiayai apa? Urusan sekolah, les, berobat, uang jajan anak, etc.

25) Bagaimana kesepakatan anak akan menghabiskan waktu dengan siapa saat hari raya?

26) Bagaimana menjembatani perbedaan dalam menanamkan values pada anak?

True story, temen saya ada yang di kondisi ini. Gantian tiap dua minggu karena masih sekota banget. Pas jatahnya anak nginep di temen saya, dia kaget denger anaknya bilang, "Ibu, nggak boleh panjat pohon, ibu kan perempuan" saat temen saya mau metik mangga. Jadi ternyata mantan suaminya ngajarin anak perempuan mereka bahwa perempuan tidak boleh panjat pohon, main bola, main mobil-mobilan, dan lain sebagainya yang dianggap kegiatan strictly for men. And my friend doesn't approve that kind of gender role.



Moving on.

Kemarin ini ada 2 orang yang curhat sama saya. Yang satu galau mau bercerai atau bertahan. Satunya lagi pernah galau dan akhirnya memutuskan bertahan. Bukan karena suaminya kasar, tukang selingkuh, tidak menafkahi, atau perilaku minus lainnya. Melainkan karena suaminya ... hijrah.


Sebut saja dengan Ibu A dan Ibu B.

Ibu A.

Sebelum suami hijrah, Ibu A dan Pak A menyukai hal yang sama, punya keinginan/mimpi yang sama, dan bisa membicarakan apa saja seperti layaknya sahabat. Pak A suka main ukulele, mengiringi Ibu A nyanyi. Mereka sering nyanyi berdua di rumah malem sebelum tidur. It used to be their thing, it used to be their quality time.

Dulu, semua hal bisa jadi bahan obrolan seru. Mulai dari musik, teman lain, berita, isu-isu terkini, artis infotainment, film, buku, semuanya. Mereka suka ngobrol tentang Australia karena Pak A ada rencana mau menempuh study Magister di sana. Mereka sudah menyusun rencana tinggal di Australia akan begini begitu.

Setelah suami hijrah, banyak hal yang jadi berubah dan sama sekali berbeda. Sudah nggak pernah nyanyi-ukulele'an bareng sebelum tidur. Nggak bisa lagi ngobrolin aneka topik karena Pak A selalu memotong dengan, "Udah, jangan ngomongin orang." Nggak bisa juga bahas film dan buku karena Pak A sudah nggak mau lagi diajak nonton film dan hanya mau baca buku Islami.

Sekarang, Pak A membatalkan rencananya S2 di Australia. Justru dengan tegas bilang ke istrinya, "Kita kalau mau belajar atau liburan, ke negara Islam saja. Jangan pernah ke negara kafir." Itu yang bikin Bu A speechless.

Untuk Ibu A, kondisi ini dilematis sekali. Dia bilang ke saya, "This is not the man I married into. Aku kaya menikahi orang yang berbeda. Aku menikah sama dia bukan untuk punya suami yang begini."

(Ibu A dan Pak A belum punya anak)


Ibu B.

Dulu sempat pacaran dengan suaminya selama satu tahun. Selama pacaran, Ibu B sudah tahu bahwa Pak B sangat kuat agamanya. Tapi dia mengira Pak B akan membimbing dia perlahan-lahan. Justru itu yang sebenarnya bikin dia mau saat dilamar, karena berharap Pak B bisa mengarahkan dia jadi pribadi yang lebih baik.

Ibu B ini, btw, dulu nya Executive Secretary dengan karir dan gaji yang memuaskan. Dia bukan tipikal yang ingin jadi ibu rumah tangga di rumah. Dia ingin tetap berkarir. Ibu B sangat bangga sama pencapaiannya karena dia bener-bener mulai dari enol di kantornya. Sampai saat menikah, Ibu B belum berhijab.

Baru di awal masa pernikahan, Pak B meminta Bu B untuk langsung hijrah: langsung pakai hijab lebar dan panjang, ikut pengajian dan kegiatan ceramah, juga resign dari pekerjaan. Sama sekali tidak dikasih waktu untuk berproses, tidak dibimbing pelan-pelan. Seinstan itu.


Ibu B menurut, tapi dampaknya dia jadi depresi berat. Ke psikiater, minum anti-depressant. Dia ngerasa dituntut jadi orang lain yang sama sekali bukan dirinya. Diminta langsung pakai hijab panjang padahal sebelumnya outfit kerjanya rok di atas lutut itu tidak mudah. Meninggalkan karir yang dibangun dari bawah juga nggak seentang itu. Ibu B jadi merasa perjuangannya sia-sia, semuanya sia-sia.

Later on, Ibu B memohon ke suaminya untuk diceraikan. Dia nggak sanggup. Awalnya Pak B sudah menyetujui. But turned out that she was pregnant. Pak B berubah pikiran, nggak mau menceraikan. Depresi lagi dan kali ini lebih berat. Sampai harus diikat ke kasur rumah sakit jiwa karena Ibu B terus memukuli perutnya. Buat Ibu B, kehamilannya adalah petaka. Gara-gara hamil jadi batal cerai.

Akhirnya, sampai saat ini Ibu B masih bertahan. Untungnya, setelah anaknya lahir, dia jadi bisa bahagia lagi. Sejatuh cinta itu sama anaknya. I quoted her DM, "Sudah 4 tahun pernikahan, terkadang suami masih memintaku untuk berubah tanpa proses ... Sekarang aku berusaha lebih sabar aja karena sudah ada malaikat kecil sebagai penawar rasa sakitku."



Mari lanjut ke list pertanyaan nya.

27) Mau apa kalau suami hijrah dan jadi pribadi yang berbeda, sementara pendalaman iman kita belum sampai ke sana?

28) Mau nggak berjuang ikut hijrah sekalian biar 'sama' lagi?

29) Mau apa kalau suami tidak hanya hijrah, tapi juga memaksa kita hijrah sekalian tanpa proses seperti cerita Ibu B?

30) Seandainya memilih berpisah, sanggup kah menghadapi judgment orang-orang karena pasti dijudge banget sih. Bercerai karena suami suka selingkuh atau KDRT yang udah jelas-jelas salah aja bisa dijudge. Nggak pinter nyenengin suami lah, makanya jangan buluk di rumah biar suami nggak berpaling lah, endebre-endebre. Apa kabar kalau alasan satu-satunya 'hanya' suami hijrah, sementara segala aspek lain suami oke (menafkahi lahir batin, setia, tidak kasar)? I honestly think the judgment will be so harsh. Siapin mental banget.

Temen saya, Isti, nulis tentang ini juga. Baca punya dia ya. Kalau Isti pas banget ngulas tentang suami hijrah karena dia Muslim dan orangnya adem banget deh.

Baca: Saat Pasangan Berubah



I guess that's pretty much all. Drained banget nulis ini ternyata hahaha. Saya pakai POV realistis, jadi kalau dilihat dari POV agama akan banyak yang mentah. Apalagi untuk agama yang tidak memperbolehkan adanya perceraian.


Semoga dikasih kekuatan ya apa pun keputusan kalian. Jangan lupa bikin list pros dan cons dari tiap opsi; bercerai atau bertahan.

Dan buat kalian yang DM minta wacana tulisan ini direalisasikan karena sedang di fase galau, sending you all hugs!!!!!




Love,






2 comments:

  1. Mom, bgmn kalau suami tiba2 sudah daftar cerai talak ke PA, pdhl belum diskusi apapun dgn saya, sdh tdk menghubungi saya ataupun mencari anak2 slama 2 bulan. padahal dia yg selingkuh dengan atasannya (istri orang beranak 3) dan memakai alasan selingkuh karna saya yg tidak akur dengan ibunya? si perempuan jg ga merasa bersalah pdhl kenal baik dgn saya. pdhl saya sudah resign dr perusahaan bergengsi utk dia, tapi blm 2 tahun menikah malah selingkuh dgn atasannya, bahkan saat saya sdg hamil anak kedua. dia yg hamilin saya tap idia yg cari sex ke tmpat lain sampai main hati. saya harus gimana? saya sudah berusaha ikhlas tapi sakit skali rasanya. skrg dia berlindung di ibunya.

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah hampir tiga tahun saya juga baik-baik aja sama suami, kami juga hijrahnya pelan-pelan, sama-sama. Saya dan suami aja bisa jadiin poligami bahan becandaan disaat istri lain dengar poligami udah emosi. Komunikasi adalah koentji. Walau begitu saya sempat kepikiran juga gimana kalau suatu hari suami berubah? atau saya yang berubah? gimana suatu hari nanti kalau suami berkhianat? atau justru saya yang menghianati dia? daripada pusing sendiri sekarang berbuat yang sebaik-baiknya aja. Thanks for always sharing, mom. Saya juga sering dicurhatin ibu-ibu yang di ujung tanduk rumah tangganya, saya jadi bingung gimana ngasih masukan. Tapi tulisan mami ubii bisa jadi refrensi.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^