Friday, October 6, 2017

Diari Papi Ubii #23: A Vacation, And Questions That Follow

Akhir September kemarin saya publish satu tulisan yang buat saya sangat emosional. Tentang cerita liburan saya, Adit, dan Aiden ke Bali tanpa mengajak Ubii. Turned out pada ingin tahu juga bagaimana Adit melihat momen itu. Yaudah itu buat bahan Diari Papi Ubii kali ini aja yah.



Tulisan Adit ini mostly afirmasi dari tulisan saya dan dari apa yang saya rasain sih. Jadi intinya mah sama aja sebenernya. Cuman beda cara penyampaian. Hahaha. Yaudah langsung aja yah.

Adit:
Live so that when your children think of fairness, caring, and integrity, they think of you — H. Jackson Brown, Jr.

Kapan gitu Grace nulis di blog tentang liburan kami sekeluarga (minus Ubii), terus ada yang request saya untuk menulis hal yang sama based on my point of view. Well, sebenernya Grace sudah nulis pretty much everything - termasuk standpoint saya dalam keputusan untuk tidak mengajak Ubii dalam liburan kali ini. Tapi ya ngga papa. Mumpung saya juga mampet ide untuk picking new topic. So here we go.

“Wah salut ya sama kalian, super parents.”

Sering sekali kalimat ini mampir di telinga saya dan Grace. Regardless ucapannya ini keluar secara tulus atau tidak, kami sangat mengapresiasinya. Tapi sedari dulu saya selalu menegaskan bahwa kami tidak se-super kelihatannya. Kebetulan, putri kamilah yang membuat kami terlihat kuat. Terapi hampir tiap hari, konsultasi sana-sini, dan lain sebagainya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Waktu yang tidak sedikit perlu sesuatu yang dikorbankan. Untuk kasus saya dan Grace, ada satu masa kami mengorbankan karir.


Orang melihat, wah keren banget, sayang banget sama anak sampe mau keluar dari kerjaan. People didn’t see that at certain time we have no options left. That I cursed constantly to everything in regards of such situation was little-known. Kami pernah ada di posisi dimana dokternya Ubii negur kami karena wajah kami sangat kuyu saat kontrol. Tidak ada semangat. Beliau lalu meresepi kami: jangan lupa liburan. Then we did it. Kami secara reguler pergi staycation. Kami pergi kemanapun karena saat itu Ubii masih mungil, belum pakai kursi roda - jadi enak-enak aja buat dibawa kemana-mana.


Ubii kemudian semakin besar dan harus dibawa pake wheelchair. Ngga masalah sebenernya. Kami masih bisa menikmati kebersamaan.


Saat Aiden lahir pun, awalnya kami ngga ambil pusing juga. Tapi makin kesini saya mikir - Aiden ini anak sehat, tapi semua aktivitasnya harus menyelaraskan dengan kakaknya. Mau main sepuasnya di playground, harus nyesuaikan kakaknya. Mau makan di certain restaurant, harus make sure tempatnya ramah difabel, dan sebagainya. Saya mikir, ini bakal sampai kapan ya porsi fun Aiden harus adjustable gini? Mungkin pemikiran parno aja, tapi ketakutan terbesar saya adalah jika Aiden tumbuh dewasa dengan perasaan left-out kemudian membenci kakaknya secara diam-diam.

“Kenapa harus aku yang adjust?”
“Papi lebih sayang kakak ya?”
“Kenapa sih aku harus punya kakak cacat kayak dia?”
“Kok pada ngga adil sih?”


Adil itu susah. Mungkin ini karma yah. Dulu banget pas masih sekolah menengah, kakak saya dibelikan sepeda motor gres baru. That I could comprehend. Lalu tiba saatnya saya masuk SMA dengan harapan Papa membelikan motor baru juga. Tapi saya tidak dibelikan. Saya hanya diberi dua pilihan: naik bus, atau dianter jemput sama pembantu pakai motor dinas plat merah. Serta merta saya menarik kesimpulan bahwa Papa Mama nggak adil, tanpa mempedulikan fakta bahwa keluarga saya sedang mengalami kesulitan ekonomi.


Nah, saya nggak mau Aiden ngerasa kayak gini. Saya dan Grace sudah merencanakan “pergi ke pantai” bareng anak-anak selama berbulan-bulan namun ada aja halangannya. Hujan lah, anak-anak sakit lah, apa lah. Nggak pernah terwujud- rencananya cuma mangkrak hanya sebagai angan-angan. Entah kesambit apa, kisaran dua bulan lalu Grace came up with a plan: liburan ke Bali, bertiga saja.

I cringed at first. Seriusan cuma bertiga? Ternyata itu juga Grace masih nggak yakin dengan puluhan alasan yang sebenernya sangat make sense - mostly ke pemikiran “apakah ini fair buat Ubii?”

Sambil lalu, saya malah berpikir ini momen yang tepat buat kami mengajak Aiden pergi bertiga saja. Kenapa? Karena dia berulang tahun.


Anggap saja ini hadiah dari saya dan Grace atas “pemaksaan” kami ke Aiden untuk adjusting his rythm with his sister. And I thought he deserves it. Lalu, within a blink of an eye, kami sudah sibuk merencanakan perjalanan. Booking hotel, merancang itinerary, ngontak sopir, beli tiket terusan, dan lain sebagainya. All went well. Until Grace texted me one night:

“Kita jahat ngga sih?”

Welp. What the hell, Grace?! LOL. Selidik punya selidik, ternyata dia masih ada “beban moral” untuk ninggal Ubii dalam waktu yang cukup lama. Wajar sih, saya sebenernya juga. You have no idea how the smell of Ubii’s hair means so much to me. Saya juga kepengen ngelihat Ubii ketawa lepas kontrol diantara deburan ombak Teluk Bali. She loves the ocean too, in fact.



But then again, as bad as I want to take Ubii along, we decided that this is Aiden’s event. Saya kembali yakinkan Grace kalau rencana ini, just right.

“Kalo ditanyain orang-orang gimana? ‘Ih kok Ubii nggak diajak?””

Memang sih pasti bakalan banyak yang nanya. So? Zen rule: what other people think about you is none of your business, and we are the gatekeeper of our own happiness. Grace and I knew that this is exactly what we need. We carried on. Ditambah lagi, keluarga besar saya juga suportif atas keputusan ini. Gimana enggak? They have seen our everyday battlefields struggling with special-need kid. We knew that they knew we needed this.

Dan benar sekali, Bali - despite its overratedness, selalu bisa membuat kita bahagia. Entah itu orang-orangnya, pantainya, akses yang mudah untuk membeli bir, dan sebagainya. We lived our vacation to the fullest. And three of us embraced every moments there. Kepikiran Ubii? Pasti. Yang tanya, “kok nggak ngajak Ubii?” via sosmed? Banyak. But it didn’t stop us to seize the day. At some points we felt the purest happiness.



Sepulangnya dari Bali, we tried to make it up with Ubii by taking her strolling around, kissed her endlessly, let her slept in my arms, and whatnot. Sebagai pasangan, kami juga merasa jauh lebih baik. Pusing konstan yang saya rasakan selama kerja di Jakarta mendadak hilang. Rupanya saya memang butuh liburan.



Memang yah kok kelihatannya saya dan Grace ini terlihat sangat egois. “Namanya liburan keluarga ya semuanya kudu diajak. No one left behind.”

Well, setelah liburan ini berlalu, saya malah mikir apa yang kami lakukan ini kok ngga egois sama sekali yah. Saya lebih menganggap ini investasi mental. Investasi yang akan kembali secara konkrit dengan bentuk rasa sayang yang lebih tanpa didasari dengan guilt, yang ujung-ujungnya Ubii dan Aiden juga yang menikmati. Win-win situation.

Sepulang dari Bali, saya dan Grace malah sudah sibuk mempersiapkan liburan bertiga lagi. Tapi kali ini, Ubii yang diajak. Tujuannya pun ngga yang muluk dan realistis - staycation di dalam kota dan deket sama public space yang accessible.

Siap-siap deh dengan pertanyaan, “Kok Aiden nggak diajak?”


LOL.

Tabik!


***

Grace:

I think I wouldn't add anything more about this. Instead, saya mau bilang ini aja:

Belakangan ini Adit suka males nulis. Tolong yakinkan dia untuk menepati Diari Papi Ubii dua minggu sekali. PLIS!

Hahaha.



Love,







15 comments:

  1. Aku setuju sama Adit. Huaaaa aku bisa merasakan yg kalian rasakan adil itu susah, tapi kalau nggak begitu takut aiden lama2 benci kakaknya yg harus ikuti ritme ubii. Tetap semangat ya kalian.. super parents idola. Semoga kalian berempat kompak terus.

    ReplyDelete
  2. aku suka bagian "akses yang mudah untuk membeli bir" hahahahaa

    ReplyDelete
  3. mas Adit jangan males nulis donk,,,mas bojoku baru mulai rajin baca ttg parenting & marriage nih..tadinya dia males bgt baca hal2 berbau beginian..semenjak aku kenalin blog ini dan aku bilang gak bakal bosen apalagi ngantuk (ini ajaib. dia sering ngantuk tanpa alasan kalo baca, LOL) krn byk gambar2 lucu (stiker), cara penulisannya di blog gak bikin mata pedes, pemilihan katanya juga gak lebay2 gimana gitu..jd bisa gampang dicernan dan gak berasa tau2 udah sampai akhir kata aja. nah dr situ aku sering kirim link postingannya, terus dia baca deh..

    so, tetep nulis yaa, jangan males2..tularkan pemikiranmu ke bapak2 muda diluar sana lewat diari papi ubii..((biar banyak fans juga jangan mau kalah sama mb gess)) hehehehe

    ReplyDelete
  4. Mas adit..aku adalah pembaca diaripapiubi..tolong rajinlah menulis. Biar nyemangatin fiance ku juga buat nulis.

    Bantu aku buktikan bahwa lelaki yg menulis di blog bukanlah anggota saracen.. admin gosip..ataupun jonru

    ReplyDelete
  5. Terbaik, untukku belajar esok jika punya anak lebih dari satu dengan segala perbedaan karakter dan pribadinya. :)

    ReplyDelete
  6. Zen rule: what other people think about you is none of your business, and we are the gatekeeper of our own happiness.

    Bagian yang ini aku suka banget. Kadang dalam ambil keputusan masih suka mikir apa kata orang nanti. Padahal mah siapa mereka.

    ReplyDelete
  7. tulisan ini yang kutunggu. haha...well,as I mentioned in mamii Gesi's post several days ago, you guys deserved this. Aiden juga pantas mendapatkan waktu "me time" bersama orang tuanya. So, why bother?

    Enjoy!

    ReplyDelete
  8. Sebelumnya aku udah nulis di postingan grace, klo liburan bertiga dengan ninggalin anak yg lain itu wajar kok, dan sah2 aja dilakuin. Karena aku sering ngelakuin itu.

    Kita sering traveling bertiga, dan ninggalin si bungsu di rumah dgn babysitter. Kenapa, krn si bungsu memang lbh lemah kondisi tubuhnya. Capek sedikit, dia skit. Dan kliatan kok dia ga terlalu suka jalan2 kayak kita bertiga. Jd ga mungkin kan hanya demi si bungsu, hobi kita bertiga jalan2 jd terkungkung.. Makanya bbrp bulan sekali aku, suami dan si kaka pasti jalan2. Pulang dr traveling, sebagai hadiah buat si bungsu kita beliin oleh2 yg banyak, ato besoknya kita ajak ke tempat2 yg ga terlalu jauh, dan dia suka. Jadi sama2 senenglah buat semuanya

    ReplyDelete
  9. Oh ya, pantesan waktu ke bali itu ubii gak keliatan. Hihi. Yaudah gpp, santai aja. Saya juga pingin sih liburan berdua aja. Berdua sama anak maksudnya. Bapaknya biarin nyari duit hahahahaaa...

    ReplyDelete
  10. Sedari anak-anakku kecil, kami beberapa kali liburan dengan salah seorang anak. Meski ada perasaan gimana nih, yang satu kok ditinggal. Nggak apa sih karena itu beneran me time dengan salah seorang dari mereka . Dan keduanya jadi merasa istimewa bagi orang tuanya, good job Adit dan Gessiii :D

    ReplyDelete
  11. MasyaAlloh mbak gesi.. Kalian berdua orang tua hebat.. Itu bener keputusan luar biasa loh.. Jadinya kalo balik lagi habis liburan serasa di format ulang. Malah makin fokus buat ngasih kasih sayang k ubii dan aiden...

    ReplyDelete
  12. Cuma bisa bilang satu kata: SUKA!

    Kee writing Papi Ubii, supaya memotivasi bapak2 lain buat nulis. :D

    ReplyDelete
  13. in my humble opinion, even liburan sendiri tanpa anak dan istri atau suami itu sah-sah aja. kondisi setiap keluarga itu beda-beda. liburan dengan anggota keluarga lengkap seperti yang terdaftar di Kartu Keluarga nggak menjamin semuanya enjoy dan bahagia lho :D

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^