Friday, August 19, 2016

Diari Papi Ubii #4: The Motherf*cker Called Distance


Hola! It's time for Diari Papi Ubii #4 - kali ke-empat Adit menyumbangkan tulisannya untuk blog saya. Rupanya, dia ketagihan, sodara-sodari! 


Kali ini, Adit memilih tema LDR alias long distance relationship. Ya meskipun sebenernya kami nggak jauh-jauh amat sih. Jogja-Jakarta aja kok. Hehehe. Pengen menulis yang berbau marriage, katanya. Jadi, ya monggo deh.

NOTE: Ternyata isinya curhat abis. Bapak-bapak juga manusia yang butuh curhat.

Adit:

“The scary thing about distance is you don't know whether they'll miss you or forget you.” 
The Notebook

Topik ini sebenernya udah pernah dibahas sama Grace. 

Baca: LDR dengan Suami

Tapi, it’s kind of vantage points that matters— I will deprive the audience from one-sided judgment. Bagaimana saya, sebagai suami dan sebagai ayah dari anak-anak menyikapi keputusan kami untuk menjalani hubungan jarak jauh? Did you guys know, this decision was the toughest test in our almost-five-year married life? Well, kebanyakan orang bakal lihat aktifitas saya di medsos lalu berkata: enak banget sih Dit kamu bisa konsentrasi kerja by weekdays terus pulang by weekends? I tell you what— you’re so dead wrong. Long distance itu nggak enak sama sekali. Capek pikiran, capek tenaga, capek dompet. Pokoknya, this kind of relationship is the last thing you want in marriage.

Mungkin biar bisa kasih gambaran yang enak, saya akan cerita versi saya dari awal kenapa kami bisa ended up dengan menjalani long distance relationship.

Jadi, waktu saya dan keluarga pergi ke Salatiga untuk merayakan Sincia tahun 2015, Grace tau-tau nyamperin saya yang beru minum kopi di teras— malem jam 10-an. Dia melemparkan wacana buat memberikan Ubii sebuah kado yang mahal mampus: implan koklea. Tentu saja itu hanya wacana. Kami berandai-andai progres seperti apa yang bisa ditembus Ubii jika dia dipasangi telinga bionik di kedua kepalanya sebagai alat bantu dengar— mengingat sudah lama Ubii pakai ABD biasa, namun nggak ada progress yang berarti, padahal Grace sudah berusaha maksimal buat terapi AVT dan segala macemnya. Tentunya wacana memberikan Ubii implan koklea membuat saya mengernyitkan dahi. Kenapa? Mahal. Harga alatnya senilai Ducati Scrambler. Mungkin jika pakai financial resource sendiri, saya perlu jadi piaraan tante girang selama bertahun-tahun untuk mampu membelinya. Namun karena saya menghindari zina, menjadi gigolo saya coret dari opsi rencana. Astaghfirullah.

Pulang ke Jogja, saya masih galau soal rencana implan ini. Saya list semua kemungkinan, ujung-ujungnya senewen sendiri. Rencana ini layaknya impian utopis sosialisme modern yang digagas oleh Henri de Saint-Simon— IMPOSSIBRU in every way. Lalu saya menyampaikan kegundahan saya ke Papa. Papa mendengarkan dengan seksama, diam sejenak, lalu bilang, “Dit, itu mobil Papa jual aja buat beli implan.” I was like, WTF Dad. Soalnya saya tahu, mobil yang dimaksud adalah mobil kesayangan Papa yang jarang banget dipake. I asked why, he answered, “Why not?” This is so his typical: answering “why” with “why not.” All in all, ditambah bantuan dari Mama dan keluarga besar Grace, kami akhirnya memiliki uang cukup untuk membeli sepasang implan koklea. I was so happy I could die. But this is just the beginning.

Perjalanan untuk menjadikan Ubii sebagai kandidat implantee koklea ternyata tidak sesimpel yang dibayangkan, ditambah kami memakai BPJS untuk surpress biaya operasi— tambah ribetlah prosesnya. Dipikir kami sudah punya duit terus udah? No. Mungkin bisa mampir di previous blog Grace yang membahas soal keribetan ini. 

Baca: Operasi Implan Koklea untuk Anakku

Intinya, kami harus bolak-balik rumah sakit. Bolak-balik Jogja-Jakarta, nyocokin jadwal operasi dengan dokter, nego dengan distributor alat implan, segala tetek bengek lah. Not to mention later on kami mengetahui bahwa Aiden sudah tumbuh sedikit demi sedikit di perut Grace. Bisa kebayang kan repotnya macem mana? Saya harus bolos kerja berkali-kali di fase ini.

Baca: Hamil dengan Riwayat TORCH

Lalu, saat semuanya sudah fixed, saya dihadapkan dengan diskursus: habis operasi, Ubii mau gimana? Kalau stay di Jakarta, dia bakalan dapat fasilitas habilitasi yang mumpuni yang which means, saya sekeluarga harus meninggalkan kehidupan kami di Jogja— termasuk pekerjaan saya. Kalau habis operasi terus pulang ke Jogja, bisa saja. Namun Ubii harus rela tawaran habilitasi gratisnya hangus sia-sia. Padahal lumayan banget tuh nilai rupiahnya. Setelah melalui teriakan caci maki, beberapa kali bantingan pintu kamar dan mobil, kebut-kebutan di jalan bersama Grace, saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan saya, dan konsen ngurus this-and-that implannya Ubii dengan pindah ke Jakarta. Reaksi orang? Banyak yang bilang saya pandir dan nggak bisa berpikir panjang. Saat itu saya sudah membangun karir sampe posisi managerial di kantor saya. And I have to let it go? No, ese. Saya nggak rela. But we have no other option. Ya sudah saya rela-relain, walaupun jujur berat banget ngelepasinnya. Saya mencoba bernegosiasi dengan Grace— bahwa Ubii masih butuh fisioterapi untuk bisa mandiri, dan kita sama-sama tahu bahwa di Jogja adalah tempat terbaik untuk fisioterapi bagi kami. Dokter-dokter dan fisioterapisnya Ubii sudah seperti keluarga sendiri, sementara di Jakarta kita benar-benar harus mulai dari nol menjelaskan tetek-bengek keadaannya Ubii ke dokter dan fisioterapis yang baru nanti. Namun, sepertinya Grace sudah mantap untuk boyongan. Ya sudah. Jargon seksis kampungan macam “wanita selalu benar” harus saya amini saat itu.

So then I was jobless. Sebenernya saya ngga keberatan sih jadi bapak rumah tangga. Faktanya saya pernah jadi bapak rumah tangga selama 5 bulan dan somehow saya enjoy-enjoy aja. Tapi situasinya sekarang lain. Ini Jakarta bung! Grace ngga kerja, dan sedang mengandung pula. Tiap hari saya buka situs Jobstreet dan menghubungi teman-teman yang ada di Jakarta, cari kerjaan. Cover letter dan resume saya blast ke berbagai perusahaan ibukota. Nggak peduli perusahaannya bergerak di bidang apa, yang penting job description untuk posisi yang saya lamar memang sesuai dengan kapabilitas dan minat saya. Dan yang penting: halal. Alhamdulillah, sesuatu. Ada beberapa panggilan wawancara, tapi belum ada kepastian. Terombang-ambing di tengah ketidakpastian dan pengeluaran yang sangat banyak itu, anjrit sekali rasanya.

Nggak sampai sebulan sebelum jadwal operasi penanaman implan koklea Ubii, ada email— saya buka dengan perasaan carut marut, berharap itu adalah salah satu perusahaan yang mewawancarai saya. Ternyata, benar. Sebut saja Company A, menawari saya bekerja dengan segera sebagai quality engineer untuk produk mereka dengan benefit gaji 2x lipat dari tempat saya bekerja sebelumnya. Well hello, future! Dengan adanya jaminan saya sudah dapet kerjaan di Jakarta, within the blink of an eye, kita tau-tau sudah boyongan ke ibukota.

Baca: Hijrah ke Jakarta

Operasi Ubii berjalan dengan lancar, dan beberapa minggu setelahnya saya mulai bekerja di Company A— tipikal start-up company yang progresif: result oriented. Saya banyak belajar disini. Yang awalnya nggak tahu sama sekali how to build a good UI/UX design, saya nyoba-nyoba sampai akhirnya beberapa desain saya dipakai di final product. Yang paling asik sih, berhubung ini start-up company, opini saya didengarkan dan diakomodasi. Ini yang nggak bisa ditemukan di perusahaan mapan: saya merasa buah pikir dan kerja keras saya dihargai. The bottom line is saya sangat menikmati kerja disini. Namun, apa yang terjadi di rumah tidak begitu mulus. Ubii memang mendapat fasilitas habilitasi terbaik di Jakarta, namun kita tidak (atau belum) menemukan tempat fisioterapi yang sebagus Jogja. Walhasil, sehabis operasi postur badan Ubii jadi jelek. Sendi-sendinya kaku semua. Saya mulai galau lagi.

Adalah satu perjalanan ke sebuah pesta ulang tahun anak teman di bilangan Bintaro, saat Grace malu-malu kucing menyatakan bahwa dia selalu merasa capek berada di Jakarta. Kemana-mana jauh dan nggak efisien (baca: macet). Di Jogja ada peraturan tidak tertulis bahwa mencet klakson saat matahari sudah terbenam adalah perbuatan yang tabu. Nggak sopan, kata orang tua. Di Jakarta? Tengah malam pun orang tidak segan klakson sana-sini. Orang-orang berhenti di depan garis batas saat menunggu lampu merah, menutupi zebra cross. Carut marut! Memang benar apa kata orang-orang daerah tentang Jakarta: in order to adjust with city rhymes, you have to be savage just like the rest of the people there. Well, maklum sih ya kalau Grace jadi selalu capek— this city drained her energy. Lalu doi nyeletuk, “Pulang ke Jogja, yuk?” Saat saya tanya alasannya apa, Grace jawab, “Soalnya disini nggak ada fisioterapi yang bagus. Kasihan Ubii.”

HA! Bayangkan betapa kesal dan marahnya saya saat itu. Grace menggunakan alasan yang sama persis dengan alasan saya keberatan pindah ke Jakarta dulu. We miscalculated things. Grace juga sekarang harus membagi perhatian ngga cuma ke Ubii— perutnya makin hari makin besar. Saya berpikir keras bagaimana bisa menjembatani kebutuhan Ubii dan karir saya. Saya belum genap 3 bulan kerja di Company A. Eventually esoknya saya menghadap bos saya, menceritakan segala apa yang terjadi dalam keluarga saya saat itu, dengan worst case scenario saya didepak dari kerjaan lalu balik ke Jogja sebagai pengangguran. Namun, Bu Bos memberikan solusi jalan tengah: saya tetap kerja di Company A secara remote (jarak jauh) dan ke Jakarta sebulan 1-2x saja kalau ada rilis produk. Nggak mikir panjang, saya terima tawarannya. Within another blink of an eye, kami kembali ke Jogja.

Memang, Jogja memberikan saya ketenangan batin yang nggak bisa saya temukan di Jakarta. Jogja adalah Hakuna Matata saya. Tiap pagi saya naik motor cari sarapan melewati sawah-sawah hijau dan udara yang bebas polusi. Jogja juga macet, tapi dibandingin Jakarta, macetnya Jogja masih seujung upil aja. Untuk urusan kesehatan Ubii, nggak perlu waktu lama untuk mengembalikan postur tubuh Ubii kembali, karena fisioterapisnya Ubii sudah hafal semua sudut tubuh Ubii dari ujung rambut sampai kuku. Melihat itu semua, saya lega ngga ketulungan. Urusan kelahiran Aiden pun dimuluskan: dengan BPJS kita bisa dapat ruang VIP. Di Jakarta, biaya melahirkan SC sampe bilangan 20-30 juta. I felt, in a split-second, I had full control of my life. Saya jadi pede saat melakukan pekerjaan saya. Saya bekerja penuh dedikasi. Imbasnya, Company A mengangkat saya menjadi project manager. Senang? Tentu saja. Namun, yang terjadi berikutnya membuat saya jungkir balik.

Belum genap 2 minggu menjadi project manager, ada email dari sebuah kantor pemerintah asing (sebut saja Company B). Mereka memanggil saya untuk sebuah tes wawancara. Saya kaget, karena dulu waktu job hunting, saya memang sempat dipanggil Company B untuk tes bahasa Inggris. Tapi, berbulan-bulan setelahnya tak ada kabar lagi. Saya pikir saya sudah dicoret dari daftar kandidat, mengingat betapa ketatnya persaingan rekrutmen disitu. Ya sudah, tanpa berharap apa-apa, saya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan wawancara. Because I expected nothing, saya melalui proses interview dengan santai. Esoknya saya dapet email lagi, kali ini Company B ingin mengetes practical skill saya. Setengah jam saya kerjakan, saya kirim balik hasilnya, lagi-lagi tanpa mengharap apa-apa. Lalu, beberapa hari kemudian saya menerima email yang membuat saya melongo.

Saya diterima.

Saya pikir ini hanya lelucon, but it was real. Saya diterima di Company B— kantor dimana teman saya yang punya double master degree melamar disini berkali-kali namun nggak pernah sekalipun dipanggil. Emailnya berisi offering letter beserta jembrengan benefit yang akan saya dapatkan jika saya setuju bekerja untuk Company B. Gajinya jauh lebih baik daripada kerjaan-kerjaan saya sebelumnya. Dapat uang pensiun, cuti 24 hari dalam setahun plus libur ganda (libur Indonesia + libur federal). Dan ini yang paling penting: saya sekeluarga akan dijamin melalui program asuransi perusahaan yang nominal plafonnya bikin rahang jatuh. Pengobatan Ubii bakalan sangat dimudahkan dengan benefit ini, pikir saya. Namun, diatas itu semua, ini adalah pekerjaan yang saya tahu persis saya akan sangat fit dengan job descriptionnya: dealing with multimedia and words. That's my passion! Ditelan oleh euforia, saya lupa bahwa ada syarat yang sangat berat jika saya menerima pekerjaan ini: saya akan ditempatkan di Jakarta.

And that’s where the nightmare began.

Kira-kira 2 minggu setelah menerima email itu, tiap malam saya selalu bersitegang sama Grace. Dia nggak mau saya balik lagi ke Jakarta ninggalin keluarga “cuma” demi kerjaan. Tapi saya berpikir lain. Sebagai breadwinner saya juga kepingin banget kami sekeluarga bisa mandiri secara finansial, terlebih-lebih ada jaminan asuransi di Company B. Di sisi lain, saya juga mengamini Grace— Aiden baru saja lahir, dan Ubii juga butuh Papanya buat nganterin terapi dan sebagainya. Belum lagi Grace nggak bisa nyetir sendiri. Tapi, saya tahu kalau nggak ngambil kerjaan ini, saya akan melewatkan kesempatan besar mengembangkan diri “nyemplung” ke field yang bener-bener cocok dengan passion saya. Dan “tapi-tapi” yang lain yang bikin dilema akut berkecamuk di kepala saya.

Akhirnya, setelah perdebatan yang sangat panjang dan melelahkan, Grace (lagi-lagi) mengalah. Saya terima kerjaan itu. I know it’s been very hard for her. Saya sudah sangat familiar dengan LDR family: sejak SD saya nggak pernah tinggal sekota dengan Papa saya. Lain halnya sama Grace— dia nggak pernah jauh dari Papa Mamanya. Bahkan, toko Papanya cuma beberapa langkah dari rumah utama. Grace melepaskan saya dengan berat: dia bingung ditinggal, tapi dia tahu dengan saya kerja di Company B, pengobatan Ubii akan jauh dipermudah. Bermodal keyakinan itulah, kita mencoba trial phase untuk long distance relationship.

Sampai sekarang, saya tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat untuk keluarga kami. Di sisi lain, kami sangat terbantu dengan benefit yang diberikan oleh Company B. Namun, beneran deh LDR itu nyiksa banget. Kadang kalau baru kangen terus pengen nelpon/Facetime, saya nelpon Grace di saat yang ngga tepat kayak pas Grace baru mencoba nidurin anak-anak. Grace jadi dongkol, saya juga. Ada pula kita udah janjian Facetime malam-malam, tapi salah satu dari kita ketiduran gara-gara kecapekan. Imaji-imaji Grace ngurus anak-anak sendirian, makan sendirian, tidur sendirian, bener-bener bikin saya patah hati dan ngerasa bersalah. Sementara saya? Jam 5 sore sudah ada di apartemen, dan bingung mau ngapain. Pulang seminggu sekali tiap weekend. Dan yang paling berat adalah: tiap Minggu malam saat saya siap-siap berangkat lagi ke Jakarta. To see Grace’s face and the kiddos say goodbye to me every week— it’s just devastating.


We’re being tested by a motherfucker called distance.

Bener kata orang ya, hal yang paling kita takutkan itu adalah ketidaktahuan. Karena ketidaktahuan akan menimbulkan asumsi. Asumsi yang berdasar dari ketidaktahuan ya bakalan jadi prasangka. Menurut saya, inilah hal yang paling bahaya buat orang-orang yang menjalin LDR. Karena asumsi kalau nggak dikelola dengan baik, bakalan jadi dasar krisis kepercayaan. Kalau orang menikah sudah nggak ada basis kepercayaannya, ya sudah. Sulit. Saya nggak bilang saya atau Grace adalah pasangan yang bisa menghalau itu semua. Nggak. Frekuensi cekcok kami makin sering malahan setelah saya menetap di Jakarta. Namun, kami sekarang pelan-pelan udah bisa memilah-milah masalah mana yang perlu dapat spotlight lebih, instead of meributkan semua hal. Kecolongan? Sering. Contoh: Grace berharap saya selalu fit saat weekend biar bisa menghabiskan waktu secara maksimal dengan anak-anak. Tapi, tiap minggu pulang itu beneran nguras tenaga. Alhasil, saya bangun kesiangan dikit aja di hari Sabtu bisa bikin Grace marah besar. Ribut deh. Minggu depannya, saya siapkan stamina saya dan berharap bisa menghabiskan weekend yang asik. Kenyataannya, giliran Grace yang kecapekan ngurus anak-anak sendiri dari Senin-Jumat. Gantian dia yang ketiduran. Ribut lagi.

Di satu sisi saya pengen menyudahi LDR ini— saya pengen balik ke Jogja, cari kerjaan di Jogja. Nggak usah muluk-muluk asal decent dan sesuai dengan skill dan passion saya. Grace would be happy with that, and I would, too. Family should stick together, right? Tapi sisi lain saya menganggap ini this LDR thing will bring my marriage with Grace to different level. Saya juga tidak tahu pasti. Terlalu banyak wacana. Membawa Grace dan anak-anak ke Jakarta? Sudah pernah terlintas di pikiran kami, tapi itu jadi opsi terakhir. Because both of us know, Jogja is where we belong and we want to raise our kids there.

“Terus mau gimana, Dit? Apa bakal terus-terusan LDR?”

Jelas nggak mau. Capek.

Sampai tulisan ini published, saya beneran ngga tahu what kind of future our life will be. Saya dan Grace sepakat, jalani dulu apa yang ada. Tantangan di depan jangan dipikirin, tapi dihadapi. Dan, jangan sampai asumsi-asumsi negatif mendistorsi fakta bahwa kami saling mencintai. Because sometimes, by distance, we forget that there’s someone out there loves you. And I think long distance relationship is all about that: to preserve the fact that we are loved, not forgotten.

Oh well, sorry if this writing is such of crap. I’m just missing my wife and kids and that’s all.

credit: exboyfriendrecovery[dot]com

Cheers!


***

Grace:

See? Curhat banget kan isinya? Told you!

Tapi dari tulisan Adit ini, saya jadi bisa ngerti what's really on his mind thoroughly. Saya sadar, mungkin curhatan Adit dan curhatan saya di link di atas kesannya cengeng dan cemen banget. Banyak pasutri LDR di luar sana yang lebih jauhan dan lebih lama LDRan, nyatanya baik-baik saja. Banyak pasutri LDR yang nggak pernah mengeluh dan menjalani hari-hari mereka seperti biasa. Untuk para senior LDR, sungguh, saya dan Adit angkat topi tinggi-tinggi untuk kalian! From the bottom of our hearts.

Saya memang sempat kacau banget karena nggak pernah punya role model yang bisa mencontohkan atau memberi wejangan terkait berumahtangga secara LDR. Beneran, Mama dan Papa saya selalu berdekatan. Papa buka toko di depan rumah. Keluarga ideal di mata saya selama ini adalah keluarga yang tinggal seatap.

But the universe always has a unique plan for us, I guess.

Jadi ya gitu deh. Sorry sorry, beneran kali ini curhatnya kentara banget kami berdua. LOL. Semoga nggak kapok baca Diari Papi Ubii, yah. Edisi yang lain:

Diari Papi Ubii #1: Through Those Darkest Hours, I Found Home

Diari Papi Ubii #2: Is Video Game Really That Dangerous?

Diari Papi Ubii #3: Punya Anak Berkebutuhan Khusus? Lemesin Aja Shay!

Mungkin ada yang mau berbagi pengalaman atau berbagi tips supaya tetap mesra walau LDR? Please share yaaaa....



^___^



Love,






54 comments:

  1. Akuuu kok meweek yaa mami..... semoga dimudahkan... dilancarkan ... dikuatkan... Barakallohu mami gessi... papi adit... kak ubii.. dek aiden...

    ReplyDelete
  2. Cuma mau bilang, aq baca dr awal sampe akhir 89,99% mirip bgt sm aq... Cm bedanya kita bedanya saat ini kita blm ada anak, tp mungkin bulan depan sudah hampir sama ya tiap akhir weekend hrus say goodbye sm anak... Ya tp gmn lagi, karena lagi2 memang kebutuhan, kl ga gitu ya gmn... Namanya jg nyari jalan yg terbaik ya, tp smpe kapan mau LDR? Ah entahlah jalanin aja dulu, ntar jg ada petunjuknya hohoho.... Sesama LDR yg ktemunya cm weekend, semangaaaaaaat! Hahaha...

    ReplyDelete
  3. Kayaknya Adit bener2 meluapkan perasaan nih mi.... panjang banget curhatnya... yakin deh habis nulis ini pasti adit ngrasa agak enteng pikirannya :D

    ReplyDelete
  4. Dulu aku pernah sekali-kalinya LDR-an sama si Abah waktu Fathir masih usia setahun-an gitu, deket amat sih cuma Bandung-Sukabumi doang tapi cuma kuat 7 bulan aja...
    *AKU MEMANG LEMAH!*

    Semoga papi Ubii selalu dikuatkan dan semangat terus yaaaaa :)

    ReplyDelete
  5. Haduhn knp ini tayangnya sekaranng? Seakan ditujukan buat saya. Somehow mirip bgt dg keadaan rmh tangga saya, cuma backkground why nya aja yg beda

    ReplyDelete
  6. Semangat ya buat kalian, aku juga pernah LDRan bahkan sejak nikah, hamil sendirian, perut gede ke kantor sendiri, sampai anak kedua Mak Ges, aku sih enjoy aja LdRan dah biasa mandiri tapi misua yg mutusin sendiri utk balik Jogja. Jalani dan nimati yaaa

    ReplyDelete
  7. Curhatnya asik kok.. Akupun pernah LDR yg cuma Jogja-Sby, bertahan 3 bulan aja terus kumpul lagi, bener yang dibilang adit, beraaaaat :D

    ReplyDelete
  8. Tiap baca tulisan adit pasti aku brebes mili hihihi
    Yg kuat ya kalian moga segera diberi jalan tengah.
    LDR cekcok itu wajar karena dl aku jg pernah ngrasainnya.
    Huh grace dan adit, baik2 ya

    ReplyDelete
  9. Aku nikah sudah 16 tahun, LDR an Purworejo-Semarang selama 6 tahun karena di Semarang belum ada rumah. Walopun jaraknya paling cuma 3-4 jam perjalanan, tetep aja rasanya perih kalo pas tiba-tiba anak sakit, semua harus dihadapi sendiri. Tapi bersyukur, sekarang sudah tinggal seatap lagi. Semoga nggak lama-lama ya LDR-annya Mami Ubii

    ReplyDelete
  10. ahhh ges, mewek gitu gw di tulisan adit yang ini..

    menjalani pernikahan jarak jauh. well.. aku harus nulis juga kayak gini. *trs mewek di pojokan*

    ReplyDelete
  11. Saya sejak awal nikah ga mau LDR, sebab Ivon pernah punya wacana pengin lahiran anak pertama di Blitar. Saya anak 'korban' LDR, ayah saya bekerja di Surabaya sejak saya balita hingga beliau tiada saat saya udah SMA kelas 2. Surabaya-Malang deket sih, hanya 2-3 jam perjalanan tapi dulu bapak hanya pulang sebulan sekali. Sebagai anak saya jadi kehilangan figur seorang ayah :-(
    Nah ini kalian Jakarta-Yogyakarta, pasti jauh lebih berat. Salut sama Mas Adit mau nyempet-nyempetin pulang seminggu sekali. Semoga lekas ada solusinya yang terbaik ya, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Waduuh aku mah gak kuat dah. Hebat kalian!

    ReplyDelete
  13. Kalian hebat! Gambar terakhirnya itu yg pernah kurasain, cuma LDR 1,5 bulan aja, oh noooooo. Semoga diberi yg terbaik dan lekas bisa sekota lagi ya kalian. Aamiinn

    ReplyDelete
  14. Hi Grace..terus smangat yaa LDR..aku 6 tahun LDR dg suami. Suami kerja dipapua. 2 atau 3 minggu baru plg. Bersyukurnya klo pulang keJakarta Off 2 minggu full dirumah. Tapi aku jg ngerasain gmn beratnya berjuang sendirian drumah dengan 2 anak. Sekarang suami sudah resign dan stay dJakarta. Kami membangun bisnis Spa saya disini. Sekarang kerjaan suami cuma ternak teri(antar anak antar istri) dan jd bapak rumah tangga juga. Krn kalo aku k spa dia drumah dg anak2. Suami jg slalu masak buat kami juga mencuci pakaian waktu malam. PRT cm bantu bersih2 dan nyetrika. Dan saya sangat menikmati skrg kami bisa sama2 stiap hari. Dan bersyukur Tempat usaha saya jg cm 5 menit dr rumah jd bisa bolak balik.

    Dukung aja adit berjuang untuk financial kalian say..krn mmg itu penting. Demi Ubii terutama. nanti ada masanya kalian akan sama2 lagi..tar jg lama2 kalian terbiasa dg ritme LDR ini. Bahkan rasa rindu akan lebih bermakna jika LDR bukan..ada banyak pelajaran yang mendewasakan kdua pasangan pasti dengan situasi LDR ini..
    Tetap smangat yaa Grace n adit..Tuhan memberkati kalian.

    Love : Poppy

    ReplyDelete
  15. Bless you, family.. Adit and Grace for being so inspiring with all your stories. You are heroes! Stay strong like always and may God plans His best for you all.

    ReplyDelete
  16. Halo Grace ,salam kenal yaa, aku Edelyne, aku LDR an sama suami udah 10 taunan, suami kerja di Kalimantan, kerja 2 minggu ,cuti 2 minggu. Berat sih emang ngurus anak-anak sendiri,,yang paling teepenting kalo bagi aku dan suami adalah komunikasi, setiap hari pasti kita WhatsApp an , kalo telponan paling 2 hari sekali, dN jangan lupa kirim pesan2 romantis hehehe.
    Kalo pas waktu ketemu, usahakan ada waktu bareng2 sama anak2 dan waktu untuk ber2 an aja.
    Kalo cuma seminggu sekali ketemunya, dan sm sehari atau 2 hari liburnya, sebelum suami pulang kita siapin semuanya dulu aja.
    O iya, 1 lg art jg sangat diperlukan ya, biar kita ngga kecapean.
    Semangat Yaaa

    ReplyDelete
  17. Saluut buat mami Ubi dan Papa Adit yang LDR an.Awal nikah saya LDR an.Tapi cuma kuat lima bulan.Abis itu saya keluar dari pekerjaan saya dan jadi ibu rumah tangga sampai sekarang.Tahun ini tahun ke 12 pernikahan kami.Dan saya jadi IRT sejak memutuskan keluar kerja

    ReplyDelete
  18. Waaa....
    Aku pun pernah LDR an Mami, cuma pas 2 bulan nikah aja, karena kami masih galau mau melanjutkan hidup dimana.
    Berdoa diberi kemudahan buat Adit dan Mami Ubii yaaa...semoga diberikan yang terbaik untuk semua :)

    ReplyDelete
  19. aku ggtahu rasanya LDR... wkwkw
    belum bisaaa

    ReplyDelete
  20. Aaakk.... Gesiiii... Adit, tauk nggak sik, baca ini aku mbrebes mili. Selama belasan tahun pernikahan, kami tidak pernah berani memutuskan LDR. Banyak sekali kesempatan kami lewatkan atas nama keyakinan " keluarga harus terus bersama". Tapi kemudian, tampaknya ini harus berubah, mungkin bentar lagi kami juga jadi pelaku LDR. Dan opsi itu juga akhirnya toh harus di ambil karena demi anak-anak juga. Mewek kalau ngebayangin... jadi yasudlah... dijalani aja dulu.

    ReplyDelete
  21. Salut sama Papi ubii yg berani melakukan dobrakan *tsaahhelaahh*
    Berani keluar Dr zona nyaman
    Aku meweeek baca curhatan ini, huhuhuu ����
    Aku masih terlalu Cemen buat 'lepasin' Poppy ocel buat kerja diluar sana, di luar zona nyamannya
    Walaupun memang banyak kesempatan
    Dia mau ambil beasiswa di LN aja, aku mewek sendiri
    Aahh susaahh ceritainnya, mami ubii terlalu strong aahhh, aahh iri akuu.. huhuhuu ����

    ReplyDelete
  22. pejuang LDR :(
    mama sama bapakku juga LDRan sih mbak, mulai aku SD kelas 6, dulu seminggu sekali bisa balik si bapak, tapi karena sekarang dipindah keluar jawa, bapak cuma bisa kumpul 3 bulan sekali sama keluarga atau 6 bulan sekali nggak tentu nunggu harga tiket murah juga ada libur panjang. hiks

    semangat mas dan mbaK!

    ReplyDelete
  23. Saya juga pelaku LDR, Mbak. Walaupun kadang-kadang kalau suami lagi dinas di offshore. Tapi saya jadi tau betapa beratnya LDR itu. Nyesak tiap harus pisah. Rasanya kurang oksigen buat bernapas. Tapi memang kadang kita dihadapkan pada pilihan harus memilih LDR itu.

    ReplyDelete
  24. Semoga grace dan adit selalu diberikan kekuatan dan mendapat skenario terbaik dariNya

    ReplyDelete
  25. Semangat mami papi Ubii. MUdah2an Papi Ubii bisa segera balik ke Jogja mendapat pekerjaan yang ga kalah mapan dari yang sekarang, aamiin.

    ReplyDelete
  26. Mami & Papi Ubii Aiden hebat. Semangat ya! Doa terbaik untuk kalian.

    Kalau saya mah ditinggal ke Medan 2 minggu aja kangennya gak ketulungan. hihi

    ReplyDelete
  27. Sebagai penganut paham LDR selama hampir 6 tahun ini, aku ngerti banget gimana rasanya. Yang masih pacaran aja berat banget. Gimana yang udah merit coba hiks. Keep strong ya you both! I know you can pass it kak! :)

    ReplyDelete
  28. Q jg LDRan setahun ini mb gesi, q yang ninggalin suami and anak. g tanggung2 LDRnya jog-china, suamiq jd rempong bgt ngurus rumah, ngurus anak, masak, beres2, anterin ke skolah dy smw. Sepakat sama papi ubii bahwa yg ddepan mata dhadapi aja, blm tw kedepanx gmn..smg kalian dberi kekuatan trs ya utk menjalaninya. Smoga lekas dberikan titik terang, emangg LDR berattttt sangattt

    ReplyDelete
  29. Mba Grace, aku kuat LDR-an ...
    Pengennya selalu nempel ama suami. Semangat yaa LDR :)

    ReplyDelete
  30. Been there ... done that ....
    2 minggu setelah nikah kami udah lgs LDR n bertahan sampe tahun ke6 pernikahan? U damn right it was really hard. Ngerasain smua deh yg kalian rasakan..ributnya klo rencana yg audah kita susun terpaksa kandas cuma krn capek n yg paling berat itu emang minggu malem..pas waktunya suami balik n dgn wajah cemberut blm lagi anak yg nangis jejeritan krn papanya mo peegi lg.. wes kaya adegan film iNdia aja.
    Be tough ya mama ubii... jd papa ubii ... semoga kalian kuat menghadapi semuanya :)

    ReplyDelete
  31. wah, curhatnya emang panjang Mas Adit. Well, emang kayak maju salah, mundur salah ya mbak..Kl aku masih mau LDR dlm rangka mau nyiapin kepindahan antar kota aja, dari Bekasi ke Jember, mungkin 1-2 bulan.. Tapi mungkin, sometimes kita memang harus memilih merasakan kebahagiaan berkumpul bersama dgn finansial cukup (tdk kurang), atau sedikit berat dgn LDR tapi finansial mapan. Semoga semuanya akan menemukan muaranya ya mbak, pasti rencana Allah yg terbaik :) Salam kenal

    ReplyDelete
  32. Akupun jalan tahun ke 7 LDR Makassar Jogja dan ketemunya sebulan sekali. Semangat mak ges, semoga segera berkumpul dan bahagia selalu. Aamiin.

    Btw, 'curhatannya' runut enak dibaca )

    ReplyDelete
  33. "enak banget sih Dit kamu bisa konsentrasi kerja by weekdays terus pulang by weekends?" DAMN IT, itu persis kata2 yang saya ucapkan ke suami.saya pikir " lu enak banget kerja di hari kerja, pulang ke kosan bisa leha-leha, istirahat. pun kalo bosen bisa ngopi2 nongkrong di cafe bareng temen2 lu, dan guweh di sini pulang kerja bergelut dengan anak yang sakit dan pekerjaan rumah yg gak abis2. trus weekend lu pulang. happy2 sama guwe dan anak. enak bangeeet, gak punya beban, fokus kerja doang" sampai suatu saat, saya ngobrol panjang dengan suami, heart to heart dan diakhir pecakapan kami nangis berdua. iya... BERDUA. dia bikin pengakuan kalo' selama ini di rantau (tempat kerjanya) ada beberapa waktu dia harus membatalkan membeli sesuatu hanya demi inget kalo saya ngeluh duit belanja nipis gegara harus bawa anak ke dokter. dia ngaku kalo dia sebenernya harus nyervice sepeda motornya tapi gak jadi demi buat belikan keperluan saya. ah...dihari itu kami nangis sambil pelukan, lamaa banget. terkadang jarak itu perlu untuk membuat kita tau betapa penting arti pasangan untuk kita, terkadang kita perlu positive thinking saat jarak menjadikan bisikan2 negative jauh lebih santer dari biasanya. Semangat untuk pasangan-pasangan LDR diluar sana. Buktikan bahwa jarak hanyalah masalah hitungan meter dan kilo, hati kita jauh lebih dekat dari itu #eaaaa

    ReplyDelete
  34. Pernah juga ngerasain LDRan, pas tahun pertama nikah. Akhirnya sekarang bersatu dan gak kepengin LDRan lagi.
    Semangat ya Mami Ubii dan Adit! Pasti nanti ketemu jalan tengahnya :)

    ReplyDelete
  35. aihmaak... tulisan papi ubii kali ini bikin hati tersayat2..
    tetap semangat yak..
    walaupun curhatan ini panjaang banget,tapi cukup enak untuk dibaca..

    ReplyDelete
  36. Ehem. Yang LDR harus angkat suara nih? Baiklah...
    Aku mau mewek..
    Huhu..jangan2 kalo suami suruh nulis bakalan gini juga isinya. Ihiks

    ReplyDelete
  37. mba gesi, mas adit, kalian pasti bisa :D! namanya LDR, udh pasti takut, curiga pasti ada.. tapi jgn biarin itu ngancurin hubungan kalian.. apalagi udh ada aiden dan ubii sebagai pengikat.. Aku memang ga beruntung dalam soal LDR.. kita cerai, tp itu beda ceritanya...

    mungkin utk ngurangin stress krn jauh dr suami, dan jg capek mengurus anak2 di rumah, coba aja liburan bareng dgn mereka, plus mba pengasuhnya dibawa :D.. itu caraku bgt soalnya.. ga usah jauh2, seputaran jogja mungkin.. kalo liburan gt kan, biasanya semua keperluan udh diurus oleh pihak hotel. jd kita bisa lebih relax.. apapun lah kegiatan yg mungkin bisa bikin kamu happy, relax, just do it. kuliner, belanja sedikit sekedar bikin kita senang, ga ada salahnya. biasanya dgn gitu, bawaan kita jg lbh enak pas ngobrol ama suami di telp :).. ga marah2, ga sebel..

    pokoknya ttp semangat yaaa... tetep usaha utk percaya dgn pasangan.. :) demi ubii dan aiden..

    ReplyDelete
  38. Awal nikah pernah LDR-an ma suami Sby-Jkt.
    Pengen LDR-an lg krn merasa di Sby hakuna matata saya (minjem istilah hehe), apalagi mumet ke Jkt bingung apa2 jauh, naik angkutan umum ma anak2 mumet, tapiii suami gak setuju huhuhu, yoweslah akhirnya makan ora makan kumpul #ujungelhakokcurcol :))

    ReplyDelete
  39. baca ini aku jadi gimana gitu ges...
    perjalanan hidup kalian bikiin aku bayak belajar..
    papi adit semangat ya...ges,,semangat juga!!!
    pokoknya disyukuri, dijalani, dinikmati ^_^

    ReplyDelete
  40. aku juga LDR mak, LDM lah ya.. lumayan jauh abndung - belanda. tapi nya ga mau ngomong dulua ah entar aja :-D

    ReplyDelete
  41. Aq ngebayangin dongkolnya papi ubi pas mami bilang "balik jogja yuk" hehehe
    Saya juga ldr mi..tapi berusaha enjoy aja..nabung buat modal usaha biar ga ldr lagi..

    ReplyDelete
  42. enggak pernah LDR. Sepertinya enggak akan bisa LDR, jadi salut buat mami ubii dan papi ubii sejauh ini bisa menjalaninya. Jaga komunikasi dan saling percaya, salah satu kiat untuk hubungan lenggeng, semangat buat mami dan papi ubii ya dalam menjalani proses hidup sekarang ini

    ReplyDelete
  43. Aku kini menjalani LDR Lampung-Padang, belu tentu sebulan sekali pulang, mahal biayannya hehee...semoga segera menemukan solusi ya.

    ReplyDelete
  44. Kalau di daerahku mbak, pasangan suami istri menjalani LDR itu sudah biasa banget bahkan mereka hanya bisa bertemu 3-5 tahun sekali. Suaminya kerja ke luar negeri dan istrinya di rumah. Berat, cuma pas aku tanya ke mereka ini semua demi hidup yang lebih baik.

    Jadi mereka berpikir kalau ya nggak apa-apa jauh yang penting kiriman lancar. Nah, kalau aku sendiri kayaknya nggak betah kalau harus LDR sama suami tapi nggak memungkinkan juga keadaan besok-besok yang membuat kami berdua harus LDR juga.

    Tapi setelah membaca tulisan (curhatan) mas Adit ini aku jadi tahu kalau harus ada alasan kuat yang dicari supaya bisa terus bertahan menjalani hubungan jarak jauh ini. Makasi lho mbak Ges dan mas Adit buat tulisannya ini :)

    ReplyDelete
  45. salut sama papi mami ubii. jujur kalo aku udah mewek terkewer2 misal harus LDRan T.T

    kalian memang papa mama hebat

    ReplyDelete
  46. semangaaaat...this is not a test, this is a blessing from the Almighty which surely makes you two grow stronger every day :). Aku pun sempat merasakan dan semuanya kembali ke kita masing-masing. I know you two can nail it :). Cheeeers..

    ReplyDelete
  47. Jadi Throwback ke beberapa tahun lalu pas suami kerja di Brunei dan kita LDR-an selama sebulan. Setelah sebulan suami memutuskan untuk nggak balik lagi ke Brunei karena nggak bisa LDR-an walaupun gaji Brunei 2 kali gajinya saat itu :') Aku nggak sanggup LDR jauh-jauh, Tapi semua hal itu emang pasti ada hikmahnya ya mak Ges, dan aku percaya banget kalo segala sesuatu yang terjadi juga atas seizin yang di Atas. Aku setuju banget juga sama pendapatnya papi ubii kalo LDR ini bakal ngebawa pernikahan mami papi Ubi ke tingkatan yang lebih baik lagi :) Aaaaaaamiinn. Beteweh aku suka banget tulisannya papi Ubiiiiiiiiii. Suami aku, aku suruh baca ini ah, biar terinspirasi nulis di blog aku jugaaa. Huahahahahahahahaaaaa. Dan Aku sebagai pembaca selalu ngedoain yang terbaik untuk mami papi ubii dan cimol. Semangat terus ya mami papi Ubiiiiii.

    ReplyDelete
  48. Salim dulu mami-papi.. samaan.
    Bandung-madiun. Ga ada pesawat. Adanya kereta dan itu 10-12jam. Kasian kalo si papa disuruh pulang tiap weekend. Jadi si papa pulangnya nunggu bisa cuti dulu. Syedihh..

    Well baca ini jadi sedikit banyak paham mungkin sama apa yg papi rasakan dan yg suamiku rasakan. Jadi ga heran berkali2 papa bilang mau cari kerja lagi di surabaya aja biar bisa deket kalo pulang..tapi lagi2 pertimbangan masalah financial. Hehe

    ReplyDelete
  49. huhu...baca postingan tentang LDR emang bikin galau. Saya juga ngalamin LDR di awal pernikahan selama 2 tahunan. Bandung-jogja. Dan suami pulang tiap 3 minggu sekali. Berat di fisik dan ongkos kalau tiap minggu pulang. jadi salut sama papi adit yang tetap pulang tiap weekend.

    Komunikasi emang jadi sesuatu yang paling penting dalam hubungan LDR. jangan sampai ada asumsi negatif atas informasi yang kita terima dari pasangan kita. Tapi jujur saya perempuan yang ga kuat menjalani LDR dan ga kuat juga kalau tinggal di luar kota jogja.
    Well., akhirnya suami balik ke jogja.
    Walaupun akhirnya balik ke jogaja, tapi kerjaan dia menuntut traveling keliling Indonesia, dalam sebulan kadang dia hanya punya waktu 5 hari di rumah.

    Alhasil saya pun sering sendiri di rumah. Ngurusin rumah dan anak-anak sendiri. Sedih dan galau tuh kalau pas sendiri kala anak-anak sakit dan opname di RS. Bener-bener diuji jadi perempuan yang kuat. Dan ternyata saya bisa.
    Ini dah berjalan selama 11 tahun usia pernikahan kami. Yang tetep membuat hati ini tenang adalah, suami selalu merindukan pulang ke rumah, merindukan suasana kumpul sama istri dan anak-anak. Itu yang mahal harganya. Jadi walau suami jauh, dia tetap akan kembali ke rumah karena hatinya sudah terikat dengan kita.

    So..mami grace siapkan dirimu jadi perempuan yang kuat untuk anak-anak ya...

    ReplyDelete
  50. Cerita ini ...hmmm aku banget. bertahun-tahun menikah lebih banyak LDR daripada berkumpul bareng keluarga. Kadang mikir gini, sampai kapan ya? Apakah nunggu sampai pensiun. Who knows?
    Disyukuri, dinikmati dan dijalani saja.

    ReplyDelete
  51. Ah air mata jadi tumpah pas baca yang Opa Ubii nyuruh jual mobil kesayangannya. That's father :) What a good sharing, both of you...

    ReplyDelete
  52. Saya juga pelaku LDM. Walopun nggak terlalu jauh hanya 3-4 jam perjalanan dari kota saya ke kota suami tapi tetep sedih soalnya cuma bisa ketemu 2 minggu sekali. Tiap suami mau balik (biasanya senin subuh) pas anter ke pintu selalu mewek. Paling sedih kalo anak sakit. Nggak tenang nggak ada suami. Entah sampai kapan LDM kayak gini. Sekarang cuma bisa menjalani dan mensyukuri aja

    ReplyDelete
  53. Been there,Mami Ubii and Papi Ubii

    I was born in LDR family. Mom and Dad live apart for whole 15 years(im 23 anyway. And now is my turn to be LDR family.
    Sedih sih harus berpisah dengan suami yang hanya pulang weekend and going back on the weekday.
    But there are things mom told me : di jalani, disyukuri and let God do the rest.

    ReplyDelete
  54. saya juga pelaku LDR mami ubi. sya gtw sampai kapan yg jelas sampai suami saya pensiun masih lama 30an lg. tp klo boleh jujur ldr menyenangkan weekend bsa bersama yang jelas ego masing" bisa dtahan karna rindu. drumah sesekali berantem, saya punya waktu me time ketika anak tidur. pasti ada rsa sedih suami jauh paling berasa anak sakit mami ubi karna saya g punya art ank 2 masih batita semua.
    semangat mami ubi sesama pejuang ldr. hahahaha

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^