Monday, August 20, 2018

Diari Papi Ubii #31: Depressed Partner and Kind of How-To

Bulan lalu, saya cerita di blog kalau saya sedang menghadapi depresi. Saya ceritain tentang pengalaman ke psikiater, advice psikiater, dan beberapa tanda-tanda depresi supaya kalian juga bisa aware. 



Now, I'm feeling very much better. In fact, saya sudah kembali aktif ke kancah kehidupan #halah ― tapi beneran ini udah sibuk lagi ngurusin video buat kampanye Rubella sih, dan udah mulai terima sponsored post lagi. Tentunya itu nggak lepas dari Adit yang suportif.

Di Diari Papi Ubii edisi #31 ini, Adit akan cerita gimana sih dia ngadepin istrinya yang depressed. Liburnya dia nulis kelamaan amat, btw. Semoga masih pada nungguin heheh.


Adit:
Depression is the inability to construct a future — Rollo May
Setiap pasangan, apalagi yang sudah menikah, pastilah punya segudang masalah. Apapun itu, akan jadi masalah yang berlanjut menahun kalau tidak ada resolusi. Saya punya beberapa masalah sama Grace. Untuk kasus saya dan Grace, kami mencoba untuk menyelesaikannya satu demi satu, waktu demi waktu, bersama-sama. Saya pikir semuanya sudah selesai. Yes, that’s what I thought.

Unfortunately Grace thought otherwise. Dari sekian banyak masalah yang saya rasa sudah terselesaikan secara baik-baik, ternyata ada beberapa masalah yang lumayan besar yang menurut Grace itu sama sekali belum terselesaikan. To make it worse, dia tidak berusaha mengkomunikasikannya dengan saya. Well, sebetulnya mungkin pernah. Tapi outputnya alih-alih komunikasi yang konstruktif, adanya malah marah-marah nggak jelas, seolah-olah mencari kesalahan yang menurut saya terkesan mengada-ada. Itu yang terlihat di mata saya. Nah, welcome to the base zone of bad, unhappy marriage.

Baca: Diari Papi Ubii #6 ― When You Marry A Monster (And How To Deal With It)

Lalu lambat laun saya menemui kejanggalan yang ada pada behavior Grace day by day. Awalnya saya cuma ngerasa Grace hanya cranky saja, nggak lebih. But then one thing leads to another — yang pada akhirnya saya menarik kesimpulan bahwa Grace (dan saya) butuh bantuan yang bukan sekedar puk-puk atau me time. We need professional help. Why and how? Let me reveal it up through chronological order. 

1. Find out how and why

This unsettling feeling comes and goes to reach the “final bang." Beberapa kali Grace sleep talk, isinya marah-marah merepet dan tidak memberikan saya ruang untuk melakukan two-way communication dengan sehat. Jelas kan dibangunin malam-malam cuma buat dimarahin bakal ngefek ke mood di pagi hari. Eeh, paginya Grace nggak ada memori apa-apa tentang marah-marahnya. Gimana nggak tambah bete sih?


Sekali-dua kali okelah. I let those go. Tapi ini kok berulang-ulang? I sense there’s something wrong. Lalu saya melakukan research online kecil-kecilan tentang apa yang terjadi. Menarik kesimpulan dari apa yang saya baca, saya encourage Grace untuk mencari pertolongan profesional. Grace mengiyakan. Mungkin dia juga merasa apa yang terjadi pada dirinya sudah sampai ke taraf mengganggu — which is a good thing because that means she still wants to work on this.

Baca: Pernikahan Tidak Semudah Bilang "I Do"


2. Your partner is having depression and it’s a fucking real thing. And you’re the one who should cope with that firsthand

Ternyata benar: Grace divonis mengalami moderate depression oleh psikiater. Saya tidak kaget sih, karena emang udah menerka. Tapi yang bikin saya kaget adalah saat Grace bilang ke saya apa penyebabnya: beberapa masalah yang saya anggap sudah selesai dan sudah resolved sejak lama. Nggak cuma itu, Grace juga bilang, sebagian besar adalah saya dan keputusan sayalah yang menyebabkan doi depresi (maybe you can tell that one of the factors is this long-distance marriage).

Baca: LDR Dengan Suami

How was I supposed to react to that? Grace has moderate depression is one thing. Grace has moderate depression because of me is another thing. Bisa bayangin nggak sih — sumber ketidakbahagiaan pasanganmu adalah kamu sendiri? It sucks. Walaupun Grace ngomongnya baik-baik mengenai masalah ini, saya nggak bisa baik-baik menerimanya. Alih-alih memberikan mental support yang sangat dibutuhkan Grace, I walked away. Saya tidak membalas WhatsApp Grace selama beberapa saat. Lantas saya sadar: depresinya Grace adalah hal yang nyata dan sayalah orang pertama yang harusnya ada di sampingnya.


Pas pulang ke Jogja, setelah minta maaf ke Grace, I hugged her for a very long time. Lalu saya tanya dengan sangat antusias, apa saja kata dokter, obat apa yang diberikan, ada sugesti aktivitas, atau apalah yang kiranya bisa menjadi solusi.

Baca: Diari Papi Ubii #4 ― The Motherf*cker Called Distance


3. A thing called “assertive communication” and DO NOT BAPER

Karena akar permasalahan dari depresinya Grace adalah lack of communication, saya dan Grace kemudian sepakat untuk mencari jalan keluar. Combined with the psychiatrist’s advice, kami membuat sebuah sesi bernama assertive communication: di mana Grace akan ngomong apa saja, lalu saya hanya mendengarkan. Kelihatannya sepele yah? Prakteknya, not so much.

Jadi, peraturannya adalah: sebelum Grace nge-rant/komplain/bilang sesuatu, dia kasih notification ke saya dulu, “Pi, aku mau assertive communication” so that I can prepare my ears. Kenyataannya, walaupun sudah diperingatkan kalau ini hanyalah sebuah cara berkomunikasi biar semua masalah/uneg-uneg nggak hanya terpendam dan yang perlu saya lakukan hanyalah mendengarkan, tetap saja… terlalu sering tepapar keluhan dan rant ternyata berdampak buruk pada saya sendiri. Listening all of those negativity is overwhelming sometimes. Beberapa kali saya jadi jengkel sendiri  — then this led into another small fight.

Baca: Bertengkar Karena Capek



4. A reminder: you are not the center of the universe ― you are just a planet orbiting the depressed sun. All you need to do is to find satellite(s)

As much as I want to scream out loud, tapi saya terus mengingatkan diri sendiri bahwa at a time like this, this is not about me: it’s about Grace. She’s the one who needs my help to overcome the depression. Biarlah saya mendengar 'keluhannya' tiap hari, as long as it makes Grace feel better and it makes her able to function bringing out her best qualities again as a person.

Baca: Diari Papi Ubii #24 ― Qualities of Grace

Untuk mengakalinya, saya mencari katalis: orang-orang dekat yang saya anggap bisa paham dengan keadaan yang sedang kami alami. I don’t have to carry the burden by myself. Mengakui adanya depresi dalam hubungan adalah hal sulit dan saya nyadar kalau negativitas akan berdampak buruk ke mood maupun kesehatan mental saya sendiri. Maka dari itu, saya sangat bersyukur saya punya support system yang sangat baik yang berperan sangat besar dalam “toxic-cleaning” yang saya dapat dari assertive communication-nya Grace.

Baca: Everybody Needs A Best Friend

Saya tahu betul bahwa depresi bisa berdampak pada orang-orang di sekitarnya yang tidak depresi. Jadi, di sela-sela membantu Grace mengatasi depresi yang ia hadapi, nggak ada salahnya untuk rehat dan memanjakan diri sendiri.


5. Grace knows that she’s sad and she doesn’t need to hear it from me. Say “I love you” more often instead of “don’t be sad”

Kadang sesuatu hal yang kita anggap sudah ideal, belum tentu ideal bagi orang lain. Begitu pula dengan menghadapi depresi ini. Grace tidak perlu mendengar kata-kata seperti “don’t be sad”, “everything will be alright” atau “this too shall pass”. For your situational awareness, depresi bukanlah sebuah fase, dan tidak akan berlalu begitu saja. Alih-alih mengatakan comforting sentences, saya lebih memilih action. Saya manjain dia agar dia merasa berharga. Memberi hadiah-hadiah kecil yang unexpected, memijat pasangan, nonton serial atau film yang menghibur adalah kegiatan kami untuk maintain sanity.

Baca: Falling In Love With You A Thousand More Times



As the time goes by, saya melihat banyak perubahan dari Grace. Sekarang dia sudah tidak sedepresi dulu, thanks for those assertive communications and medications.

Baca: Gesi Ke Mana Aja

Saya tahu, apa yang saya lakukan untuk membantu Grace melalui depresi kadang membuat saya overwhelmed dan muak. Tapi, saya terus mengingatkan pada diri saya sendiri: sometimes it’s not about me — it’s about Grace. Dan yang paling penting, mohon digarisbawahi: depression is real. It is, indeed, a terrible disease, which cannot and should not be equated with low or bad mood, sadness, or any other  “aberration from the norm of happiness." Jangan dianggap remeh. But all in all, depresi sangat bisa disembuhkan.

Baca: Depression Is Not A F*cking Joke
I found that with depression, one of the most important things you could realise is that you're not alone — Dwayne Johnson.
Tabik!


Grace:

Sempat saya dapat DM di Instagram yang berisi curhatan dari beberapa istri. They said that they're having depression too, just like me. But, sadly, their husbands seemed to ignore them and seemed to walk away.

What I'm trying to say is ... give your husbands/couples time. Ketika kita mengaku pada pasangan bahwa kita sedang depresi, it's not an easy thing to grasp buat pasangan kita. Depresi nggak hanya berat buat kita yang mengalami, tapi juga untuk orang terdekat.


Keluhan "Hei, aku sedang depresi nih" itu kan bukan everyday complaint macam, "Duh laper banget" atau "Huh hari ini anak susah banget mangap pas disuapin" kan.

Jadi, tunggu aja ya. Beri mereka waktu juga. Seperti Adit yang juga nggak bisa langsung suportif. Adit kan awalnya juga walk away karena ngerasa disalahin dan lain sebagainya. Setelah 3 harian kali ya, baru dia bisa memproses itu dan jadi suportif pelan-pelan. Bener-bener nggak instan.

And, again, as for you who are having depression at the moment, hang on. Have hope. Always.



Anyway, saya lagi ngadain giveaway, udah tahu belum? Cus ke sini yah.



Love,





7 comments:

  1. Selalu nungguin post papi ubii Ges...:-) Ternyata tidak mudah menghandlenya. Thanx for sharing this.Love :-)

    ReplyDelete
  2. Baca ini jadi terharu.. Betapa sayangnya Papi ke Mami Ubii.. Sehat dan langgeng terus yaaaa..

    ReplyDelete
  3. Thank you for sharing! Dunia ga akan sama kalau ga ada seorang Grace Melia. Always know that you are loved yaa <3

    ReplyDelete
  4. Ntahlah, kdg2 aku seperti ngerasa stress, tertekan , ga puas ama hidup skr yg seperti hambar.. Itu depresi bukan yaa? Raka sih sbnrnya supportive banget. Tp dia juga bukan tipe yg mau dengerin. Mungkin krn akunya jg ga sabaran, dan kalo udh kesel suka ngegas, jd kita jrg ketemu solusi. Ujung2nya salah satu selalu ngalah. Nth aku duluan yg jd baik, ato raka. Bertahan bbrp bulan, trus stress lagi. Gitu aja trus. ..

    Blm kepikir sih ges mau cari tenaga profesional, krn deep inside, kok akunya jg maju mundur :D. Hufft galau kaaan... Masih ragu apa aku bakal mau seterbuka itu ke org lain.. Jd intinya. .. Aku jg blm tau hrs gimana hahahaha.. Mungkin hrs diperbaiki caraku dan raka komunikasi. Jgn dikit2 ngegas :D

    ReplyDelete
  5. Mungkin Adit juga perlu bantuan profesional (psikolog) biar tahu cara2 yg tepat dlm menghadapi dan membantu istri yg sedang depresi.

    Jangan sampai karena terlalu sering harus menahan diri saat dengerin "assertive communication", malah Aditnya jadi down/ikutan depresi.

    Atau mungkin sesekali perlu dibalik.. Adit yg bicara saat "assertive communication" dan Gesi yang dengerin?

    Just my two cents

    ReplyDelete
  6. Intinya komunikasi dan mengalah demi pasangan ya mba Grace. Alhamdulillah saya pun sudah menerapkan dengan suami. Penting juga untuk peka dengan suasana hati pasangan. Happy selalu mami papi ubii :)

    ReplyDelete
  7. Akhirnya ada diari papi ubii lagi. Salah satu keluarga kami juga ada yang mengalami depresi karena hubungan yang tidak baik dengan pasangannya.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^