Friday, March 10, 2017

Diari Papi Ubii #15: Stereotip Orang Indonesia Menurut Orang Asing

Hola! It's time for Diari Papi Ubii #15! Kali ini Adit bahas tema suka-suka, which means dia pilih sendiri tanpa memikirkan niche blog saya yang family matters. But it's okay lah karena sejujurnya saya juga lagi nggak ada ide pun. Ehek!


This time, Adit bahas tentang stereotip orang Indonesia menurut orang asing yang dia dapat dari ngobrol-ngobrol sama bule-bule. Semoga nggak terlalu menggeneralisasikan karena nggak ada maksud gitu sih. Cuman cerita pengalaman aja intinya. So here we go!

Adit:
Stereotypes lose their power when the world is found to be more complex than the stereotype would suggest. When we learn that individuals do not fit the group stereotype, then it begins to fall apart. — Ed Koch

Dalam perjalanan kembali ke kantor, suatu siang setelah ada liputan yang melelahkan, saya dan satu kolega kerja, di sebuah taksi. Dia seorang diplomat senior. Pretty much sudah keliling hampir seluruh dunia.

A is Adit. D is Diplomat.

A: Mind to share your thought about Indonesia?

D: Well, it’s a vast, beautiful country.

A: (Dalam hati: “Meh. Jawaban yang sangat diplomatis. As expected from a diplomat.”) Elaborate that.

D: Well, I don’t like stereotyping.

A: But like it or not it’s kind of inevitable question when you get back to your country or depart to a new post. Pepole will ask. “How was Indonesia? How was the people?” — should you be asked such questions, what are you gonna answer?

*Long pause*

D: Here’s the thing. Indonesia is resourceful. In any aspect. But it’s too centralized. It’s a heaven for sunshine hunters. A big heaven. Some places are just too overrated. Some are deadly beautiful and full of potential yet undervalued. Developing-country typical.

A: And how about the people?

**

Belum sempat doi jawab, kami sudah sampai di tujuan. Sampai sekarang saya belum berkesempatan untuk bertanya lagi. Ya sudah.

Another story.

Untuk mengasah kemampuan berbahasa Inggris, saya menjadi verified member Couchsurfing selama 10 tahun (walaupun belakangan ini sudah jarang ngehost tamu lagi karena sibuk berkeluarga). Couchsurfing ini semacam virtual hub buat traveler tapi lebih emphasize kepada people-to-people interaction. Saya menyediakan tempat untuk “tamu mancanegara” tidur dan juga sepeda motor untuk jalan-jalan selama mereka stay di Indonesia. Sebagai gantinya, saya meminta mereka untuk memasak masakan khas negara mereka. Atau bertukar kata-kata umpatan. Saat ini, saya lancar mengumpat dalam 7 bahasa. Ini #pencapaian. Cultural diplomacy at its best. 😂



Di sela ngobrol dengan kawan-kawan Couchsurfing, saya selalu menanyakan pertanyaan ini: gimana Indonesia menurut kamu? Reaksinya macam-macam sih — ada yang menjawab seperti mencontek buku panduan Lonely Planet: orangnya ramah-ramah, suka senyum, pemalu, dan sebagainya. Kebanyakan tidak mau menjawab karena alasan yang sama dengan Ibu Diplomat: nggak mau stereotyping. 

Lalu ada yang njawab sad-but-true facts: orang Indonesia tidak punya sopan santun. Walaupun cara penyampaian doi dibuat sehalus mungkin agar tidak menyinggung saya, namun statement dia sempat membuat saya kaget. Apa pasal? Indonesia yang terkenal dengan adat sopan ketimurannya yang adiluhung, dibilang tidak punya sopan santun?

Ternyata ada serangkaian kejadian yang membuat bule satu ini dongkol. She is American, anyway. Berawal saat doi pergi ke Borobudur. Ekspektasinya adalah dia bakal menikmati setiap detail arsitektur mahakarya Syailendra tersebut disana. Begitu datang, alih-alih mendapatkan tranquility dan pengalaman spiritual, banyak wisatawan domestik mengajaknya berfoto setengah maksa. Doi sempat menolak dengan halus, namun gelombang rombongan wisatawan domestik lain tiba dan jadilah dia di”gangbang” lensa selama beberapa puluh menit. Ada pula yang memotret wajahnya tanpa izin, ada juga yang motret cuma ngezoom di bagian dada dan paha doi. Akhirnya doi memutuskan untuk lari dari kerumunan. Bagi dia, hal semacam ini ngga sopan.

Malamnya, doi nongkrong di Sosrowijayan. Ngebir sambil dengerin live music dari emperan convenience store. Tiba-tiba ada beberapa pemuda datang, dan mereka mulai membentuk circle of conversation. Pada satu titik dia mulai jengah karena sudah ditanyai hal-hal personal, mulai dari umur, status, berat badan, dan sebagainya. Menurut dia, orang Indonesia kepo-nya kelewatan. Cowo-cowonya juga sering mengeluarkan sexual slurs di sela-sela percakapan, which she found it very rude.

Wajar aja sih dia bete terus bilang kalo orang Indonesia ngga sopan. Cuma, si embak bule ini juga sepertinya gagal paham walau sudah hampir 72 tahun Indonesia merdeka, kebanyakan warganya masih bermental poskolonial — menganggap kaumnya lebih inferior daripada ras Kaukasia atau yang lain. Si embak juga ngga melihat dari point-of-view fakta menyedihkan bahwa Indonesia masih sangat patriarkis that’s why sexual slurs hampir selalu ada di setiap obrolan antar lelaki.


Well anyway, saya tidak membela si embak bule dan afirmatif bahwa orang Indonesia ngga sopan. Namun saya juga ngga membenarkan serangkaian perlakuan orang Indonesia ke embak bule ini. The highlight is, stereotyping ini kadang bisa misleading yah. Kita ngambil sampel dari segelintir orang, lalu menganggap mereka itu adalah perwakilan dari badan yang lebih besar — dalam hal ini, bangsa dan negara. Prior assumption macam inilah yang kadang bikin keki.

Lalu dimana batasan sopan atau enggak? Ehem — ngga ada. Kesopanan ini kan udah masuk dalam ranah norma, dan certain culture punya standar kesopanan yang berbeda dari yang lain. Teman saya dari Jerman pernah menjawab tentang stereotipe orang Indonesia: pemalas. Karena dia melihat betapa orang-orang Indonesia tidak mau melakukan hal simpel seperti mengembalikan tray makanan di restoran cepat saji. Hal ini ngga masuk akal buat doi. 

Dari sisi orang Indonesia, mungkin kita sudah menganggap apa yang kita bayar sudah termasuk service fee, thus we think “ngapain repot-repot balikin tray makanan, toh kita udah bayar kan?” Teman Jepang saya menjawab: orang Indonesia jorok. Soalnya sering buang sampah sembarangan. As a comparison, saya punya pengalaman waktu kudu nunggu pesawat beberapa jam di Narita. Negara yang separuhnya atheist itu, as expected, sangat bersih — even di smoking area-nya, wangi banget.


Ada kejadian dimana satu perokok menjatuhkan abu di lantai ngga sengaja. Apa yang terjadi selanjutnya? Dia minta maaf ke orang yang ada di situ dengan berulang kali bilang “sumimasen” lalu ngelap kotoran abu rokok pake tisu. Itu cuma buang abu yah. Ngga sengaja pula. No wonder teman Jepang saya menganggap orang Indonesia jorok LOL.


Untuk kasus teman Amerika saya, It’s a big no buat mereka kalau ditanyain umur, agama, status, atau berat badan. Even di dunia kerja mereka, menyertakan tanggal lahir, foto, umur, etnis, agama, atau berat/tinggi badan pada resume, dianggap tidak etis. Ini menyalahi merit-based society yang mereka anut. Apa itu merit-based society? Google dong ah.

Sedangkan Indonesia? Yes, kita gemar sekali kepo. “Agamamu apa?” adalah pertanyaan yang sangat umum. “Ih kamu gemukan yah?” adalah sapaan basa-basi yang sudah dianggap normal. “Maaf, saudara tidak kami terima di kantor kami karena faktor usia” adalah rejection letter yang sudah biasa banget.



The bottom line is, stereotyping mungkin bisa kita pergunakan sebagai rough guide saja dalam berinteraksi dengan teman-teman yang beda budaya dengan kita. Gegar budaya sedikit banyak bakal terjadi. Tapi perlu diinget yah: it’s gonna be very very unfair kalo menilai suatu kelompok atau individu dari satu sisi saja dan mengabaikan sisi lainnya yah. Kita kudu ngeh kalo masing-masing orang terlahir dengan keunikan tersendiri. Ngga perlu menggeneralisir dengan individu yang lain, apalagi dianggap mewakili bangsa atau negara. 

Kalaupun ada stereotipe kurang mengenakkan kepada suatu kelompok, just consider that as a distinctive point of view towards something — bakal jadi ambivalen, tapi setidaknya bisa bikin kita mikir, “Oh ada juga yah yang menganggap Indonesia itu begini-begitu.” Jangan diambil hati kalau kita tidak merasa demikian. Kata temen-temen: setel kendor aja. We are human, after all. All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience.


Tabik!

***

Grace:

Nggak pengin komentar banyak-banyak. Setuju sama Adit di part stereotipe ini nggak bisa mewakili orang Indonesia secara keseluruhan. Namun, poin bahwa orang Indonesia suka banget nanya tentang agama orang lain itu bener banget sih. LOL.

Dan sedihnya bahasan agama ini bener-bener potensial bikin orang kayak less respect dan jadi gampang suudzon sama orang lain yang agamanya beda. WHY?

Ada tulisan seorang kawan saya yang bagus banget tentang agama. Oke ini jadi melenceng yah padahal Adit bahasnya tentang stereotip. But this post is really worth reading!

"Kapan terakhir kali kamu ditanya apa agamamu di dunia ini? - Saya seminggu yang lalu, saat anak saya ke rumah sakit karena demam. Mengisi kolom pasien, ada kolom agama tertera. Suami saya nyeletuk pada petugas rumah sakit, "mas, anak saya belum tahu agama dia apa, saya harus isi apa?" Petugas itu terdiam setengah terkejut. Suami saya tertawa dan petugas menarik napas lega, menganggap suami saya bercanda. Tapi bagaimana bisa bayi ditanya agamanya apa? Bagaimana dengan orang yang tidak beragama? Apa yang harus dia tulis di sana? ... Hidup bersosialisasi pasti lebih indah kalau saling bahu membahu, saling membantu, saling melihat kebaikan masing-masing. Ayo berpegangan tangan kaya di buku PPKN zaman dulu, baju daerah boleh beda-beda tapi tangan saling bertaut dan tersenyum mengelilingi bola dunia. :)))" - Annisast
Tulisan Annisast yang berjudul Agama dan Manusia ini sila dibaca di sini yah.





Love,






Picture credits:
http://images.malesbanget.com/mbdcposts/2014/10/sampah-indenpendence-day-run-130825b.jpg
https://indogag.id/uploads/posts/t/l-367.jpg

Last photo credit: 
Maged Helal

18 comments:

  1. Setuju banget..
    Sakit juga rasanya di kotak-kotakkan berdasarkan agama dan ras..
    bahkan utk Indonesia yang punya semboyan beda-beda tapi tetep satu..
    Ada kalanya gua juga benr-bnr sedih dan frustasi dengan semua diskriminasi..
    :D

    ReplyDelete
  2. Jadi inget dl pas ke candi prambanan ada bule dikerumuni orang lokal minta foto. Kasihan bulenya

    ReplyDelete
  3. Orang Indonesia malas ? Iya, pernah lihat habis makan di restoran cepat saji buang sampahnya sembarangan dan gak mau balikin tray

    ReplyDelete
  4. 6 bulan belakangan baru belajar ngerapihin piring dan ditumpuk jadi 1 di traynya,jadi waitressnya tinggal angkut.

    Oh bolehlah diterapkan traynya juga diantar kembali

    ReplyDelete
  5. Terus terang aku nggak tahu kalau abis makan di warung cepat saji/rumah makan kita sebaiknya mengembalikan peralatan makan kita.
    Bener lah itu bule, nggak mau stereotyping, karena ya beda norma, value, kebiasaan.
    Coba kalau aku diluar negeri diajak foto2 orang sana, aku malah girang paling, berasa artis, dianggap spesial sama orang sana hehe

    ReplyDelete
  6. Kamu agamanya apa sih? Kemarin dia ngerayain lebaran...kok abis itu ngerayain natal???


    Ini pernah ditanyain langsung ke saya karena keluarga besar saya ini termasuk gado2, dari Islam, kristen sampai konghuchu ada. Pertanyaan yang bikin saya terbelalak sampai akhirnya ngakak.


    Ah, Indonesia...untuk saya gak cinta buta. Tapi emang kok, orang Indonesia itu banyak yang malas. Bukan semuanya..tapi banyak.


    ������

    ReplyDelete
  7. Jorok,huhuhu..
    Kasihan juga kalo lihat bule dimintain foto, apalagi rombongan dan nantinya satu2 :(

    ReplyDelete
  8. Sebagai orang yang sering dicurhatin mahasiswa asing di kampus, saya sangat sangat sangat sangat sangat paham kondisi ini. Walaupun mereka udah dapet bekal yang bisa mengurangi cultural shock, tetep aja banyak kejadian tak terduga lainnya setelah itu. Hihihi :'

    ReplyDelete
  9. soal keponya kelewatan ...aku sepakat. wajar kalau tukang ojek itu nanya 'mba mau kemana?' bukan..'mba..rumahnya dimana?'. sebangsa gitu lah. terkait tray makanan ini juga lucu. pas di awal pemberlakukan tray makanan kudu dibalikin sendiri di kantin kantor aku...karyawan pada protes. semacam dmeo gitu...ngebiarin tray berisi sisa makanan di meja. aku mah udah biasa gt dari di kampus, ya mau mau aja.

    ReplyDelete
  10. Buang sampah sembarangan itu sih yg sampe sekarang masih bikin geleng-geleng kepala

    ReplyDelete
  11. temenku juga ada loh Mi yang enggak punya agama, mau beragam gegera nikah... kasusnya karena ortunya beda agama dan pada sibuk sendiri-sendiri. doi bingung, usia 30 lebih baru punya agama karena pasangannya

    ReplyDelete
  12. Setuju dengan yang ini!
    "stereotyping mungkin bisa kita pergunakan sebagai rough guide saja dalam berinteraksi dengan teman-teman yang beda budaya dengan kita"

    ReplyDelete
  13. Jangankan buLe, pas aku msh kuliah di Penang, udh kenyang ges ngadepin anggapan stereotip orang indo dari saudara kita serumpun di sana :p. Aku pernah di cegat ama polisinya, lalu ditanya pasport, dan krn ketinggalan di kos, aku sampe dikawal kayak penjahat hanya utk ambil pasport. Dan pas dia liat visa studentku di salah satu college swasta mereka, sikapnya lgs berubah. Jd ramah dan memuji.. "ohhh kamu pasti kaya yaa, bisa masuk private college di sini. Orang malaysia saja banyak tak mampu krn so expensive" . Dalam hati aku pgn bilang, pretttt lah. Krn kita orang2 'Indon'di sana banyak dianggab sebagai illegal immigrant :( .

    Bahkan kalo di imigrasi, aku blass ga mau ngomong bhs indonesia, hanya supaya petugasnya ga ngeremehin kita. Kalo tau student baru deh perlakuannya beda. Sebel yaaa.. Tp skr sih aku ngerasa Malaysia ga separah itu.. Trakhir kesana mereka udh lbh ramah dgn turis2 indo :p

    ReplyDelete
  14. Jangankan orang asing, aku aja yg orang Indonesia juga sepakat klo orang Indonesia ini kebanyakan jorok, doyan buang sampang sembarangan apalagi di kali, makanya kali kotor banjir mulu, errr.

    ReplyDelete
  15. Saya kalo makan di restoran cepat saji sering angkut tray sendiri ke tempat sampah dan meja tray yang biasanya ada di pojokan. Semua pada heran ngeliatin.

    Di deket mesin ATM nih yah ada struk berserakan saya pungut, orang lain bilang "biarin aja ga usah repot, nanti ada tukang bersih-bersihnya."

    #disinisayamerasasedih

    ReplyDelete
  16. secara aku sepakat sama pendapat teman amerika kamu, orang indonesia kebanyakan memang tidak sopan, tidak tahu unggah ungguh dan keponya kelewatan.

    aku saja sering merasa tidak nyaman kok dengan kebanyakan jenis orang orang spt itu

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^