Friday, March 24, 2017

Diari Papi Ubii #16: Those Life-Changing Experience

Time for Diari Papi Ubii #16: Those Life-Changing Experience - Wow sudah 16 aja ternyata. 20 nanti adain mini giveaway ah! Hahaha. Kali ini Adit berinisiatif menyodorkan tema. Jadi saya blas nggak ikut mikir apa-apa. 


Punya nggak sih pengalaman atau peristiwa yang life-changing gitu? Yang bener-bener berkesan, nggak terlupakan, dan mengubah kita either sudut pandang kita melihat sesuatu atau malah attitude kita dalam menyikapi apa yang terjadi. Ada? Ini daftar life-changing experience milik Adit:


Adit:

“I'm a culture vulture, and I just want to experience it all.”— Debbie Harry

Saya orang yang meyakini bahwa ngga ada satupun pengalaman terbuang sia-sia. Bahkan pengalaman buruk sekalipun. Bisa jadi pembelajaran di lain hari, kata orang bijak. And hey, it’s proven. Menurut saya, pengalaman adalah the coolest way to harvest knowledge. Ngga bisa dipungkiri bahwa suatu hal yang kita alami sendiri akan membawa kita ke peradaban yang lebih makmur. Ini saya nulis apa ya?

Seperti halnya ajaran Islam yang mengklasifikasi kiamat menjadi sughra (kecil) dan kubra (besar), saya juga distinguish experiences menjadi pengalaman sughra dan kubra. Apa itu pengalaman kubra menurut saya? Ya, pengalaman yang mengubah saya. Mengubah dalam hal apa? Banyak. Bisa mengubah point-of-view saya terhadap sesuatu, bisa juga mengubah karakter saya. Requirement-nya pun subjektif dan arbitrary sekali.

The point is, saya ngga bisa merencanakan sesuatu untuk menjadi pengalaman yang berharga. Let’s say, saya sudah merencanakan liburan ke Islandia, misalnya. Sudah arrange itinerary sebegitu hebohnya, tapi begitu sampe sana ternyata, “Meh, cuma rumput glasier ama dingin ama aurora doang. Apa bagusnya?” Sebaliknya, hal trivial seperti makan bakso dipinggir jalan lalu ada waria ngamen terus ngobrol and all in all membahas tentang eksistensi kita sebagai manusia, tentu akan jadi satu hal yang sangat berkesan. 

See? Life-changing experiences sama sekali tidak bisa direncanakan.

Saya akan coba bercerita seputar pengalaman yang menurut saya masuk dalam kualifikasi life-changing experiences. Di urutan pertama, saya sungguh senang sekali bisa terpilih sebagai salah satu kru Atlantis Moon Explorer yang mengangkasa dari Launch Pad 39A di situs Kennedy Space Center Florida milik NASA. Lalu saya terbangun. LOL. 

Here’s the list:

First encounter with photography

Tepatnya saya lupa kapan. Jaman SMA gitu. Saya harusnya masuk bimbingan belajar (yes, my Mom sent me here because she didn’t trust my self-learning method) — tapi siang itu saya memutuskan bolos les lalu sowan ke rumah teman dekat saya semasa SMP. Ngga ada angin ngga ada hujan, ngga kabar-kabar juga tiba-tiba mampir aja. Untungnya orangnya ada di rumah. Awik namanya. Disitu dia memperkenalkan saya soal hobi barunya: fotografi. Jangan bayangin doi nunjukin kamera #kekinian mirrorless atau action cam. Kameranya full mekanis menggunakan film seluloid 35 mm. Nikon FM-10. Saya diajak motret ke hutan wisata Kaliurang. 

The one that amazed me bukan hasilnya yang #vintage dan #hipsta, but the concept of photography itself. Fotografi yang mengubah sepersekian detik momen kamu menjadi kenangan. Fotografi yang membuat kamu menikmati hidup setiap split-second. Sejak saat itu, saya jatuh cinta pada fotografi, dan menekuni fotografi, walaupun sebatas hobbyist. Entah berapa uang terbuang untuk beli film dan proses cetak — sampai akhirnya memutuskan untuk beli kamera digital dengan alasan efisiensi. Walaupun saya tidak pernah self-declare sebagai fotografer profesional, namun saya beberapa kali dibayar atas jasa saya mengabadikan momen — baik komersil maupun foto jurnalistik. Pernah mengenyam pendidikan formal fotografi juga cuma 1 semester. But the thing is, ini nambah skillset saya dan akhirnya terpakai juga buat kerjaan sekarang. Fotografi juga menuntun saya merasakan emosi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. 

Disclaimer: Probably you've heard this story of mine hence it's gonna bore you. But there's a little update-

Dulu pas masih kuliah S1, klub fotografi kampus saya bikin assignment untuk pameran kolektif untuk menyambut Hari Pahlawan. Kami ingin mengkritik kebijakan pemerintah mengenai pengangkatan pahlawan yang diatur dalam undang-undang; bahwasannya seseorang boleh dianggap pahlawan kalau mereka berjasa pada negara, dan sudah meninggal. Padahal kenyataan di lapangan banyak sekali orang-orang yang sangat berjasa untuk lingkungan sekitar dan pantas disebut pahlawan, namun belum meninggal. Maka dari itu kami "menggugat" negara melalui pameran kecil-kecilan dengan tema "Tak Perlu Mati."

Saya memutuskan untuk merekam kegiatan SLB Helen Keller yang terletak sangat dekat dengan rumah Ibu saya. Dibawah naungan Yayasan Dena Upakara, SLB ini menampung anak-anak difabel, khususnya para penderita tuna rungu dan low-vision. Namun pada prakteknya mereka juga menerima anak-anak difabel lain yang diterlantarkan oleh orangtua mereka. Dengan finansial pas-pasan dan kadang merogoh kocek sendiri, mereka bersusah payah agar kegiatan belajar mengajar tetap berjalan. Kurang apa lagi coba untuk dijadikan model pahlawan? 

Beberapa bulan setelah pameran usai, Serikat Jesuit (yes, my school was part of them) merayakan ulangtahunnya yang ke-150 dengan cara menggelar pameran foto di Bentara Budaya dan penerbitan buku visual. Foto esei saya tentang SLB Helen Keller saya ikutsertakan, dan tersaring. Tapi yang nggak saya sangka, salah satu foto saya memenangkan juara 2 dan saya dapat hadiah uang yang nggak sedikit jumlahnya. 


Sehabis serah terima, saya langsung pulang, ngga nyadar nangis di jalan kayak orang gila. Besoknya, saya nyamperin SLB dan menyerahkan semua uang hadiah yang saya terima ke suster kepala. Saat itu doi sedikit mengeluh, setelah saya ekspos dan masuk pameran, banyak pegiat fotografi yang datang dan menjadikan murid-murid disana sebagai objek latihan jepret mereka sehingga mengganggu aktivitas belajar mengajar. Namun banyak juga bantuan yang datang. Beberapa kali saya dan suster kepala berbalas email, hanya sekedar menyapa dan menanyakan kabar. 

9 tahun setelah itu, saya dapat telepon dari nomor tidak dikenal. Ternyata, suster kepala! Beliau dengan semangat bercerita, sekarang sekolah sudah punya website sendiri, dan anak-anak penderita cerebral palsy dan low vision yang dulu saya potret sudah besar, bisa mengurus keseharian secara mandiri dan sudah punya karep. It’s a really heart-warming phone call. Sebenarnya saya ingin cerita panjang lebar- ingin cerita bahwa saya sekarang sudah punya 2 anak, salah satunya difabel juga, dan ingin berbagi mengenai gerakan yang digadang oleh istri saya untuk membukakan jendela mengenai virus yang menyerang anak saya. Namun saya urungkan niat itu. Saat lawan bicara mengabarkan euforia dan saya membalasnya dengan kisah sedih, saya rasa itu bukan ide bagus. 

But well, I’m glad they’re doing well. Thanks, Sr. Magdalena! 

For those who are curious, please visit their website: http://www.slbhki-jogjakarta.com/ - sorry for the long post!

Yep! Photography taught me how to appreciate life and moments. In split second.


NDE - Stung by scorpion

NDE disini singkatan dari near death experience. Saya pernah merasakan meregang nyawa gara-gara disengat kalajengking hitam. Tahun 2008 di Bumi Perkemahan Waduk Sermo, acara inisiasi mahasiswa baru dan malam keakraban fakultas. Waktu itu saya menjadi panitia seksi keamanan. Berbekal handy-talkie, saya “blusukan” ke semak-semak untuk patroli. Tidak terjadi apa-apa. Lalu saya balik ke pos. Disini saya merasa ada sesuatu yang merambat di jaket. Saya pikir paling cuma jangkrik atau apalah itu hinggap di jaket pas blusukan tadi. Ngga ambil pusing, saya cuekin. Tau-tau ada rasa sakit banget kerasa tepat di pangkal ibu jari kiri. Kebas gitu tiba-tiba. Tau-tau dari jaket ada yang jatuh: a thumb-sized scorpion! Makin panik. Saya bergegas turun ke P3K. Teman-teman yang becandain saya tadi mukanya mendadak tegang, soalnya bibir dan telapak tangan saya sudah biru dan dingin. Dari ujung atas sampe bawah saya kemudian keringat dingin. Lalu kejang-kejang. Semuanya histeris. Saya nggak ingat apa-apa lagi. Bangun-bangun udah ada di UGD.


Sedikit mengumpulkan kekuatan, saya duduk — lalu denger cerita dari teman-teman. Yes, I was stung by a nasty scorpion dan hampir menyandang gelar almarhum. Sebenernya sengatannya ngga bahaya. Cuma waktu itu saya sedang mengkonsumsi obat, dan racun syaraf kalajengkingnya reaktif sama kandungan obatnya. So yeah it was quite life-threatening. Saya cuma diem aja sih, overwhelmed by amazement bagaimana kesigapan teman-teman membawa saya turun gunung. Even ada kakak tingkat saya yang ngga ada kewajiban apa-apa ke saya, membawa saya pulang ke rumah dan menenangkan Mama saya. 

This was my turning point cara saya melihat pertemanan. Dulunya saya sedikit banyak apatis dengan temen-temen saya: I took everything for granted. Dulu susah banget percaya sama orang. Mungkin gara-gara waktu kecil keseringan dibully — I don’t know. Dan saya ngerasa bego banget kudu dikasih the touch of death untuk mengapresiasi dan menyadari bentuk pertemanan yang positif. Ever since that day, saya lebih membuka diri ke orang lain, terutama orang-orang baru yang mampir di kehidupan saya. And hey, it doesn’t feel bad at all! Bener yah apa kata seorang tragedian asal Athena si Euripides: 

“Friends show their love in times of trouble, not in happiness.”

Menjadi minoritas di negeri orang

Saya beberapa kali berkesempatan mampir ke negeri orang, entah itu keperluannya liburan ataupun biz trip. Tapi dari semuanya, perjalanan 2-mingguan ke Filipina tahun 2010 bersama salah satu sahabat saya untuk meliput acara keagamaan terbesar di negara itu (Pekan Suci Paskah) menjadi salah satu momen berkesan dimana saya harus menanggalkan privilege sebagai kaum mayoritas, and got some amazing experiences in return.


Jadi, menghadiri Pekan Suci Paskah di Filipina ini emang salah satu dari bucket list saya. Kenapa? Karena saya memang kepo banget soal ritual keagamaan, apalagi yang unusual. Nah di Filipina ini, mereka menyalib orang hidup-hidup sebagai bukti devotion ke Yesus. Ada pula yang mencambuk punggung mereka hingga berdarah-darah “hanya” sekedar ingin merasakan apa yang Yesus rasakan sebelum meninggal.


Kalau biasanya saya ke luar negeri udah ada yang arrange: city tour, hotel, di bandara sudah ada yang jemput etc etc, namun tidak kali ini. Saya harus mengatur sendiri itinerary mulai dari tiket, point of contact, sampai akomodasi. Kami memutuskan untuk meliput ritual di distrik Bulacan yang memang belum banyak terekspos media. Setibanya disana, keadaan berasa dibalik dengan dengan Indonesia. Kalo disini masjid ada tiap 100 meter, disana gereja — dari semua aliran ada: Roman Catholic yang ortodoks, Mormon, sampai Iglesia Ni Cristo (Kristen yang bangunan gerejanya sangat futuristik, karena mereka percaya saat Hari Pembalasan tiba, gerejanya akan berubah menjadi pesawat luar angkasa yang akan membawa mereka ke planet lain untuk memulai peradaban baru).

Itinerary kami jauh dari mewah. Distrik ini sama sekali tidak ada penginapan. Saat riset pra-produksi, kami harus menggedor rumah warga setempat untuk bisa kami tinggali dengan bayaran seadanya. Akhirnya kami menemukan sebuah restoran babi panggang yang bersedia menampung kami. Kami ditempatkan di bunkbed mepet toilet dimana tiap malam suara erotis dan ranjang berderik terdengar jelas dari kamar pemilik yang terletak ngga jauh-jauh amat. Ditambah pula tiap hari Minggu restorannya berubah menjadi gereja Bornagain. Absurd banget. Waktu 3 hari perayaan Paskah, kami datang ke gereja tempat ritual dan dipersilahkan untuk tidur di gudang gereja, walaupun ala kadarnya cuma beralaskan kardus. Kami jadi lelaki kardus selama 3 hari.

Gereja slash resto babi
Gudang gereja tempat kami tidur

Yang menjadikan pengalaman ini sebagai life-changing experience buat saya bukanlah main event perayaan Paskah-nya, tapi the whole journey. Selama ini saya diuntungkan hidup di Indonesia sebagai orang Jawa, Muslim pula.

Di perjalanan ini saya menempatkan diri sebagai minoritas. Dan nggak enak banget rasanya saat ada warga lokal mengetahui kami dari Indonesia, dia ngomong ke warga lokal yang lain: “Hey look, I’m now tourist guide. But they are from Indonesia, which makes me terrorist guide.” Dengan memelesetkan “tour guide” menjadi “terrorist guide” hanya karena kami dari Indonesia (memang saat itu Filipina baru rame-ramenya penyanderaan yang dilakukan oleh Abu Sayyaf) beneran deh bikin dada sesak. Ada pula kami dapat pandangan kurang enak dari pemilik hotel di Metro Manila saat perjalanan pulang, gara-gara we held Indonesian passport. Cuma bisa ngelus dada. 

But then again disamping perlakuan kurang mengenakkan, saya juga bersyukur ada gereja yang masih mau menampung kita di hari paling suci mereka, mengesampingkan perbedaan agama dan bangsa (bahkan foto group kami dipajang di profile picture akun Facebook mereka, sampai sekarang).



Ever since the journey has come to an end, saya bisa lebih menghargai kaum minoritas. Because I’ve put my feet on their shoes.


Saat anak saya didiagnosa congenital rubella syndrome

Sebenarnya ini sudah pernah dibahas di Diari Papi Ubii edisi pertama.


Dan sebenernya pula ngga cuma event anak saya didiagnosa CRS yang saya anggap sebagai life-changing experience. Ini sepaket dengan saya menikahi Grace, dengan Ubii lahir, sampai serentetan perjuangan ikhtiar kami untuk kesembuhan Ubii.

Menikahi Grace bagi saya adalah a huge leap of faith — bagaimana saya harus tinggal bersama selamanya dengan orang yang sama sekali beda karakternya dengan saya, bagaimana saya harus berbagi peran membesarkan Ubii yang komplikasinya segudang. Saya sendiri heran kenapa saya dan Grace bisa come this far.


It’s a very tiring journey. Tapi saya mencoba menarik linimasa, and found out that my turning point was when the doctor said that Ubii has several conditions. Rasanya, magical — in a bad way. Badan dan pikiran nggak singkron. Saya cuma iya-iya aja waktu dokter njelasin panjang lebar. Benteng pertahanan kewarasan baru runtuh waktu udah sampe mobil. Nangis sejadi-jadinya. Hasil rontgen Ubii rasanya mau saya sobek-sobek dan menganggap ini semua bukan kenyataan. Ubii cuma saya peluk kencang. Saking kencangnya sampai dia ikutan nangis. Jangan tanya gimana Grace nerima ini. Dia nangis sampai ingusnya keluar membahana. Saya nyoba telepon Mama, cuma bingung mau ngomong apa. Begitu saya berhasil merangkai kata, “Ma, Ubii ngga bisa denger. Ubii tuna rungu.” — lagi-lagi saya rasanya marah banget sama keadaan. In a complete denial, hape saya banting sekeras-kerasnya ke dashboard.

Seumur hidup saya ngga pernah semarah itu. Ngga pernah sekecewa itu. Tapi kontrasnya, Ubii bisa anteng tidur malam itu. Biasanya dia bangun dini hari dan saya harus gendong dia biar balik tidur. Malem itu engga. As if she would like to send me a message in comical way: “Hey Dad, stop whining. Yang sakit kan aku, bukan kamu. Just wipe those tears, lap ingusnya Mami, then help me with my therapies and medications. Kalo bukan Papi Mami yang bantu, siapa lagi?” I was laughing. Didn’t know why.

It’s kinda funny to think that pain and sorrow is a blessing in disguise. Malam itu Ubii mengajarkan saya to fill your thought with positivity. No matter how shitty your life is, selalu ada yang bisa disyukuri. Kalau yang disyukuri beneran ngga ada, cari sesuatu yang bisa ditertawakan. Because at the end kamu eventually bakal bersyukur masih bisa ketawa.






Moving to Jakarta

Sebenernya ke Jakarta itu bukan hal baru buat saya. Papa tinggal di Jakarta, so sedari kuliah saya udah sering main ke Jakarta. Waktu dulu saya selalu amazed dengan hecticnya ibukota ini. Selalu mikir, apa enaknya sih ya hidup di kota yang sumpek, macet dimana-mana pula. Dulu setiap selesai urusan di Jakarta, saya selalu pengen buru-buru pulang ke Jogja. Tapi lagi-lagi namanya hidup yah, full of surprises. Saya harus tinggal di kota yang saya benci karena penempatan kerja. Mending yah kalau ada anak istri. Nah ini? Sepulang kantor yang menyambut hanyalah belasan kotak Gundam yang belum sempet saya rakit.

However, menjalani LDR ini saya anggap juga sebagai life-changing experience soalnya ya ini literally life changing dari segala aspek. Yang dulunya tiap hari ketemu (dan berantem), sekarang cuma ketemu seminggu sekali — tapi masih berantem tiap hari. LOL. Saya harus mengatur ritme bangun pagi dan hidup lebih teratur biar kalau pas pulang ke Jogja saya bisa embrace waktu dengan lebih efisien tanpa ada kata “kecapekan” atau “sakit” di kamus homecoming saya (walaupun susahnya minta ampun). Saya juga kudu mengubah pola komunikasi, mengubah channel emosi, dan sebagainya.



Indeed, every cloud has a silver lining. Dengan mengesampingkan semua perubahan kehidupan yang saya alami gegara LDR ini, satu hal yang pasti: I feel so content setiap kali pulang ke Jogja karena saya tahu— ada 3 manusia yang menunggu saya pulang. Saya jadi lebih berusaha menghargai setiap detik yang saya habiskan bersama mereka. Pula, dengan LDR ini saya juga lebih mudah grateful akan hal-hal kecil dan trivial. Being away with the loved ones makes you unassailable by small things. Saya lebih bisa melihat bigger picture about how a family is supposed to be: they should live together.


Itulah sekelumit pengalaman berharga saya. Ngga terencana, tapi berharga. Ngga semuanya saya dapatkan secara baik-baik. Some of them were the ugliest moment in my life. Tapi ya sejelek-jeleknya pengalaman, believe me — embrace it. Be proud of what you’ve been through. As everyone fights their own battles and demons, winning or losing they will achieve something at the end: experience.

Sekian. Tabik.

***

Grace:

Berhubung tulisan Adit udah puanjang amat. Jadi saya juga nggak usah kasih closing deh ya. Hahaha. Closing nya singkat aja begini:

Kalau kalian life-changing experience nya apa kah? Yuk share atau bikin ceritanya di blog.



Love,






Pic credit:
https://en.wikipedia.org/wiki/Fattail_scorpion#/media/File:ANDROCTONUS_CRASSICAUDA.jpg

21 comments:

  1. Walaupun teknologi ada videocall tetap gak bisa hilangi perasaan ketemu dan buat pelukan ya.

    ReplyDelete
  2. uunchhh jadi pengen nikah. #loh. hahahaha

    ReplyDelete
  3. selalu suka kalau baca diari Papi ubii :D
    Pengalaman memang selalu jadi guru terbaik, semoga Papi Ubii semakin kuat menjalani hidup ini ya

    ReplyDelete
  4. Tabik apaan sih mas adit?
    *pertanyaan remeh temeh ,tapi penasaran , hahahaha

    Selalu kalau baca blog papi dan mami ubii, pasti deh dapet kata baru bahasa inggris yang belum pernah didenger sebelumnya
    saya jadi belajar di sini
    terimakasih ya
    Sehat sehat mas adit dan sekeluarga

    ReplyDelete
  5. Selalu ada hikmah yaaa, jadi mikir life changing expererience ku apa yaa

    ReplyDelete
  6. Aq sedih bagian ldr. Life changing experience ku hampir2 mirip lah, pernah nyaris mati krn tidur di motor terus nabrak mobil, pernah hidup di jkrta yg bkin stres berat, dan td yg bkin mewek soal LDR ituh, huaa pas tulisan how a family is supposed to be :they should live together, hiks

    ReplyDelete
  7. yang sama itu ke gigit scoprion. sakitnya duh.... tapi buatku gak life-changing. tapi ceritanya hebat banget. menginspirasi TOP

    ReplyDelete
  8. Tulisan Papi Ubi ini selalu bagus ya, silent reader setianya tulisan Papi Ubi nih. Tapi Mami Ubi juga enggak kalah menginspirasi, love deh sama kalian, luar biasa, saya banyak belajar.

    ReplyDelete
  9. Baca ini jadi mengingat2 ulang perjalanan hidupku selama ini. Rasanya punya banyak life change experience..

    ReplyDelete
  10. aku salut baca yg pengalaman di filipina nyaaa :D.. aku sndiri yg suka bgt traveling, kayaknya ga segila itu jg sampe gedor2 rumah orang dan cari penginapan :D.. eh tp sumpah aku penasaran ama ritual yg nyalib orangnya hidup2... trs itu gimana? mati ga? :O

    tapi pengalaman adit yg mengenai ubii, bnr2 bikin terharu ges :) .. bener, sejelek apapun yg kita rasain, pasti ada sesuatu yg bisa kita jadiin bahan ketawaan, supaya ttp waras :D .. aku juga pakai cara itu kalo sdg mengahdapi sesuatu yg bikin stress... kalo ga gitu, hidup juga bakal ga happy seterusnya...rugi amat :)

    ReplyDelete
  11. Punya jugaaa...tapi masih belum berani berbagi. Huhu

    ReplyDelete
  12. Itu yg disalib bagaimana ya?
    Oh ya Adit mengingatkanku pada temenku yg tersengat kalajengking ya allah ngeri jg.
    Aku tadi hampir mewek yg baca kisah ubi, kalian adalah orang pilihan :)
    Alhamdulillah ya sekarang anak2 SLBnya udah mandiri dan selamat adit pernah dapat juara 2

    ReplyDelete
  13. papi ubii, nulis buku plis ...janji deh gue beli...kalopun pas gue lagi kere pasti gue nabung buat beli buku lo ...hahahaha... #sksdbangetpakeguelo

    ya abis gimana dong? baca ini aja gue bisa nangis sambil ngakak.
    your writing is magical...

    gue sih ga heran kalo lo berdua bisa bertahan sampai sejauh ini...lo kaya dengan pengalaman hidup, keknya nilai matkul Cross Cultural Understanding lo "A", yak? :D

    intinya sih ...you walk the talk and inspire others.

    thank you for writing this. :)

    ReplyDelete
  14. yup semua orang memiliki perjalanan hidup yang pasti menyimpan makna di baliknya. Papi Ubii menulisnya dengan baik.

    ReplyDelete
  15. Perjalanan harus di maknai dengan perasaan, karna perjalanan akan menjadi sebuah pengalaman, karena pengalaman akan bermakna, jika di hayati dan dingat dengan perasaan yang sungguh-sungguh.

    ReplyDelete
  16. Aku juga pernah hampir mati, dan sayangnya aku anaknya bebal. Nggak kunjung kapok atau mengubah gaya hidup jadi lebih baik. Fuh.Adit nampar2 aku banget dg pengalamannya ini. Mungkin aku juga harus flasback sehingga lebih menghargai hidup dan kehidupan. Thankyou, inspiring as always.

    ReplyDelete
  17. Campur aduk rasanya baca ini
    Adit bisa banget bikin tulisan yang bikin kita banyak2 melangitkan doa dan syukur atas hidup yang kita jalani
    Makasi yaaaa

    ReplyDelete
  18. pengalaman bisa lebih berharga dari apa yg didapatkan di bangku sekolah

    ReplyDelete
  19. Pas baca bagian Ubii itu ngena bangettt, gimana kecewa dan marahnya kalian saat harus mengetahui kondisi Ubii, Mas Adit bisa menuliskannya dengan easy tapi tetep Jleb di hati pembaca.

    ReplyDelete
  20. bagus banget artikelnya huhu terharu :'( Biasanya aku silent reader aja tapi kali ini pengen komen. Mas Adit bijak yaaa :)

    ReplyDelete
  21. Semangaat ya kalian.kalo baca tulisan mas adit, jd turut merasakan gmn sedihnya kalian pas peristiwa ubi tp jgn lupa tertawaaaa agar tetap waras, semangaat...

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^