Tuesday, June 14, 2016

Cinta Yang Kuterima Dari Mereka Yang Berbeda Agama

Saya nggak tau kenapa. Ketika saya sudah berkeluarga, kok sering sekali ya saya mendengar atau membaca berita atau kejadian tentang ribut-ribut antar agama. Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan saya yang sudah berkeluarga memang. Maksud saya tadi adalah sekedar kasih gambaran timeline nya saja.

Apa pun alasannya, saya kangen momen-momen di mana kita semua hidup rukun. Walau kita berbeda agama, etnis, suku, ras, ekonomi, dan lain-lain.


Saya kepengin cerita tentang hal-hal membahagiakan yang saya alami. Saya kepengin cerita tentang cinta yang saya terima dari mereka-mereka yang berbeda agama dengan saya.

Setelah saya berkeluarga, berarti tahun 2012 sampai sekarang 2016, rasanya kok banyak banget ya kejadian kurang menyenangkan untuk diketahui yang berbau agama. Tanya kenapa? Bisa jadi karena sekarang berita-berita begitu gampangnya dishare di Facebook sehingga saya lebih gampang tahu. Saya kan memang nggak pernah baca koran atau situs berita. Hehehe.

Dulu saat saya SMA, media sosial yang paling populer adalah Friendster. Friendster memang nggak bisa ngeshare berita-berita seperti Facebook sekarang ya. Jadi, mungkin juga itu alasannya dulu saya merasa hidup lebih adem ayem.

Sekarang dengan berita-berita yang gampang banget dishare, banyak sekali hal yang tanpa sengaja saya baca. Dan banyak sekali yang berbau perbedaan. Entah perbedaan agama, etnis, dan lain-lain. Tapi, paling sering sih memang karena agama.

Mulai dari larangan mengucapkan Selamat Natal yang selalu santer di bulan Desember, blablabla saya lupa, dan yang terbaru sekarang, tentang Ibu Eni yang dagangannya dirazia karena dia keukeuh berjualan di bulan puasa sehingga dianggap nggak menghormati kaum Muslim.

Saya nggak akan bicara tentang isu-isu itu ya, karena saya takut salah ucap yang nantinya bikin kita nggak enak. Saya hanya akan cerita betapa bahagianya hidup saya dikelilingi oleh orang-orang yang berbeda agama, etnis, ras, dan lain-lain dengan kami yang tetap rukun dan saling mendukung satu sama lain.

Saya besar di Salatiga. Sebuah kota kecil berhawa sejuk yang terletak di lereng gunung Merbabu, 1 jam dari Semarang dan 2 jam dari Jogja. Sejak saya SMA, saya punya 5 teman dekat. Berarti geng kami berjumlah 6 orang termasuk saya. 3 di antaranya adalah Muslim dan 3 sisanya, termasuk saya, non-Muslim. Tapi, semenjak kuliah, salah satu sahabat saya yang non-Muslim itu memutuskan untuk menjadi mualaf sehingga kini di geng kami ada 4 Muslim dan 2 non-Muslim.

Geng saya yang Muslim

Persahabatan kami, layaknya anak SMA pada umumnya, isinya ya main bareng, bikin PR bareng, ngecengin kakak kelas bareng, gosip bareng, dan nangis karena patah hati bareng. Saat kami berkumpul, kami hanya merasa bahagia. Itu saja. Latar belakang agama kami yang berbeda sama sekali nggak pernah menimbulkan masalah atau apa pun.

Saat ada dari kami yang puasa, kami yang non-Muslim menyemangati agar kuat dan nggak batal. Saat mereka akhirnya ber-Lebaran, kami yang non-Muslim ikut merasakan kemenangan yang mereka rayakan. Kami ikut senang dan saling mengucap Selamat Idul Fitri. Biasanya tiap pulang sekolah, kalau pas besoknya nggak ada ulangan, kami main bareng dulu. Kadang main ke kosan teman lain atau simply nongkrong di angkringan jajan es teh dan nasi kucing seharga lima ratusan perak saat itu. Kami yang non-Muslim makan karena lapar usai pulang sekolah. Teman saya yang Muslim ya simply menemani saja, ikut nongkrong tapi enggak ikut makan. Masalah buat kami? Nggak pernah. Mereka juga nggak yang jadi ngiler kepengin lalu jadi membatalkan puasanya. Sebenarnya saya dan teman saya yang non-Muslim rikuh mau makan karena ingin menghormati geng kami yang puasa. Tapi, mereka yang puasa itu malah yang nyuruh-nyuruh kami untuk tetap makan siang. Daripada lapar terus pingsan, katanya. Jadi kami tetap makan dengan damai. Sebaliknya, kalau saat kami yang non-Muslim makan lalu geng kami yang puasa jadi kepengin batal, kami langsung menghentikan makan walaupun lauk belum habis dan kami menyemangati mereka untuk tetap lanjut puasa. Sayang kan sudah siang kok, masak mau batal. Jadi mereka tetap melanjutkan puasa dengan damai.

The same tolerance happened when we celebrated Christmas. Geng saya yang Muslim dari jauh-jauh hari sudah mengingatkan kami yang non-Muslim untuk ke gereja. Di Salatiga, setiap hari Natal tuh ada ibadah pagi bersama di lapangan alun-alun yang kami sebut dengan Lapangan Pancasila. Ibadahnya pagi banget, sist! Jam 5 pagi! Untuk kami yang nggak punya keharusan sholat subuh tuh jam segitu pagi banget dan kami nggak yakin bisa bangun. Justru geng saya yang Muslim lah yang ribut telpon-telpon berkali-kali supaya saya bangun. Nggak hanya itu. Sore nya saat saya ingin beribadah Natal di gereja saya, mereka pun mengantar saat waktu itu saya belum bisa mengendarai motor sendiri. Mereka mengantar sampai depan, ngedrop saya di depan gereja. Setelah ibadah usai, mereka jemput saya lagi dan kami main bareng. Nggak lupa mereka mengucapkan Selamat Natal dan mendoakan semoga Natal saya penuh berkat.

Geng saya itu sudah ngumpul dari 2005. Puji syukur, sampai 2016 ini kami masih rukun dan suka ngumpul bareng walaupun tentunya sudah nggak sesering dulu. Maklum, 2 di antara kami sudah punya anak. 1 sudah bekerja di Solo. 1 bekerja di Bali. 1 stay di Jakarta. Dan yang 1 lagi masih menempuh magister di Salatiga. Sampai sekarang, kami masih ikrib bingit.

Taken on my birthday last year, kurang 1 personel *__*

Saya berkuliah di Jogja tahun 2007 sampai 2011 di Jogja. Punya geng baru berjumlah 7 orang. 2 di antaranya Muslim dan sisanya non-Muslim. Again, kami baik-baik saja. Saling mendukung dan akrab layaknya sahabat.

Formasi nggak lengkap, kurang 1 *__*

Ketika 1 teman saya dalam geng kuliah ini memutuskan untuk berjilbab tapi masih lepas-pakai lepas-pakai, kami menyemangati dan mendukung agar ia lebih mantap berjilbab. Kami memupuk kepercayaan dirinya bahwa dengan ia berjilbab, ia terlihat lebih anggun. Alhamdulillah, dia pun akhirnya mantap berjilbab sampai saat ini. Tapi, dia tetap nggak nyinyir sama geng saya satu lagi yang Muslim namun belum berjilbab. Ia nggak lantas jadi menggurui dan merasa paling benar. Ya, memang, ia memberi anjuran bahwa dengan berjilbab akan lebih baik. Tapi, ya sudah sampai di situ saja. Nggak yang sampai kuliah panjang lebar lalu membuat teman saya yang belum berjilbab ini jadi merasa kecil.

Sama juga. Mereka yang Muslim mengingatkan kami untuk rajin ke gereja. Sebaliknya, kami juga mengingatkan untuk mereka sholat 5 waktu. Tiap pulang kuliah, kami suka ngumpul dulu untuk ngadem di kosan saya. Kami suka nonton tivi bersama sampai kadang ada yang ketiduran. Ketika teman-teman saya yang Muslim ketiduran padahal sudah waktunya sholat, ya kami membangunkan mereka supaya sholat dulu. Sebaliknya, ketika saya sedang males-malesnya ke gereja, mereka yang Muslim menyemangati saya supaya nggak malas lagi.

Saya rindu dikelilingi oleh hal-hal semacam itu.

Saya yang tumbuh besar di Salatiga benar-benar rindu kerukunan dan toleransi yang kuat. Salatiga tuh bener-bener adem. Nggak cuman hawa nya yang adem. Tapi suasana kota nya pun adem. Sama sekali nggak pernah ada kerusuhan atau gonjang-ganjing karena agama. Nggak pernah.

Di Salatiga, gereja saya persis berseberangan dengan masjid. Bener-bener hadap-hadapan pas banget. Ketika ada ibadah Natal di gereja saya, nggak cuman gereja saya yang sibuk. Masjid pun ikut sibuk. Selalu ada beberapa pria dewasa dari masjid yang dengan sukarela membantu mengarahkan dan mengawasi parkir pengunjung gereja. Mereka terlihat berbeda. Sangat jelas. Karena mereka memakai baju koko, sarung, dan peci saat membantu mengawasi kenyamanan ibadah Natal gereja saya. Saya selalu iseng memperhatikan apa yang mereka kenakan. Baju koko, sarung, dan peci mereka selalu terlihat bersih dan bagus. As if mereka sengaja memakai pakaian terbaik mereka di hari besar kami yang berbeda agama dengan mereka. As if mereka sengaja memakai outfit terbagus mereka untuk menghormati perayaan kami. Tapi, harap dicatat, mereka tetap memakai pakaian terbaik mereka sesuai identitas mereka, yaitu Muslim. Mereka terlihat bangga dilihat dan dikenal sebagai Muslim. Mereka seolah ingin menyampaikan bahwa Islam itu indah dan penuh dengan cinta terhadap siapa pun juga. Dan memang, kesan itulah yang akhirnya saya percayai sampai saat ini. Islam itu indah dan toleransi.

Percaya nggak percaya, mereka membantu menjaga kenyamanan ibadah Natal kami nggak hanya dengan itu saja. Yang paling mengena buat saya adalah raut wajah mereka. Begitu ramah dan helpful, dipenuhi dengan senyuman. Setelah membantu pengunjung gereja untuk parkir, mereka memberikan senyum untuk para pengunjung gereja yang turun dari kendaraan. Kadang diselipi ucapan, "Selamat beribadah ya, Pak/Bu."

Bukan kah itu sangat indah?

Sebaliknya di bulan Ramadhan, warga gereja saya juga nggak ingin ketinggalan berpartisipasi. Kadang gereja saya mengadakan pengumpulan donasi baju bekas yang masih layak pakai untuk disumbangkan pada warga masjd yang kurang mampu supaya mereka bisa ber-Lebaran dengan baju baru. Kadang, ibu-ibu gereja bergotong royong membuat es-es sederhana untuk diberikan pada warga sekitar masjid sebagai menu takjil.

Bukan kah itu sangat indah?

Sekarang saya sudah berkeluarga dan menetap di Jogja. Suami saya dan keluarganya adalah Muslim. Sementara saya dan keluarga saya non-Muslim. Saya makin belajar lagi tentang arti toleransi di tengah perbedaan. Seberapa pun kuatnya keinginan saya untuk pulang kampung saat libur Lebaran, saya selalu memutuskan menemani Adit merayakan Lebaran. Adit pun sama. Seberapa pun kuatnya keinginan Adit untuk leyeh-leyeh di libur Natal, dia mengantar saya pulang kampung demi saya bisa merayakan Natal bersama Mama, Papa, dan Adik saya. Bahkan tahun lalu, Adit ikut menemani saya ke gereja. Adit yang menjaga Aiden sementara saya sibuk menyanyikan pujian Natal. 


Sebetulnya arti toleransi mungkin nggak sesederhana ini. Mungkin, saya juga kurang tahu yah, toleransi memiliki makna lebih dalam dan lebih filosofis lagi. Tapi, buat saya, apa yang saya, teman-teman, dan keluarga saya jalani saat ini sudah sangat lebih dari cukup.

Nyatanya, dalam hidup saya, saya banyak sekali mendapat bantuan dan kebaikan dari mereka yang berbeda agama dengan saya. Ambil contoh yang baru-baru ini terjadi saja deh.

Sejak Adit kerja di Jakarta dan kami LDR-an, saya menyewa jasa supir harian untuk kepentingan membawa Kakak Ubii terapi karena saya belum bisa menyetir mobil.

Baca: LDR Dengan Suami

Bapak supir ini, sebut saja Pak I ditemukan oleh Adit lewat situs online. Awalnya saya kira hanya akan memakai jasa beliau beberapa kali aja. Ternyata dari Januari sampai saat ini, saya masih rutin meminta bantuannya. Pak I ini sudah sepuh, mungkin 60 tahun lebih, tapi masih kuat. Usut punya usut, ternyata beliau bekerja sebagai supir hanya untuk mengisi waktu luang saja. Dari segi ekonomi, beliau boleh dikatakan cukup, wong punya kolam ikan segala kok. Dari situs online, beliau memasang tarif sekian X per 8 jam. Berhubung rutinitas mengantar dan menunggui Kakak Ubii terapi nggak sampai 8 jam, mentok 4 jam, jadi saya hanya kasih separuhnya.

Karena saking seringnya beliau mengantar saya, Pak I sudah kayak Eyang nya Kakak Ubii.. Dan beliau tuh super duper baik banget. Pernah suatu saat saya lupa ambil uang di ATM padahal sudah kadung sampai rumah dan saya minta izin bayar jasanya keesokan harinya. Beliau sama sekali nggak keberatan. Justru, kadang-kadang, beliau menolak saya bayar dengan alasan beliau sudah sayang sama Kakak Ubii, beliau nganter saya niatnya tuh bantuin ikhtiar kesehatan Kakak Ubii, dan saya nggak perlu lah selalu membayar jasanya. As it's not enough to show his kindness, Pak I sering kali menawarkan diri untuk mengantar dan menjemput saya dari airport saat saya mau ke Jakarta atau habis pulang dari Jakarta untuk kerjaan. And he did not ask for money! Bener-bener tulus kepengin nganterin saya aja daripada saya kelamaan nungguin taxi.

Dan, beliau adalah seorang Muslim yang sangat taat. Saat kami masih di jalan atau masih di rumah sakit padahal sudah waktunya sholat, beliau tetap nggak absen untuk menunaikan sholatnya.

Kebaikan dan ketulusannya pada keluarga saya bener-bener bikin saya terharu. Kalau Kakak Ubii beberapa hari libur terapi sehingga saya nggak memanggil beliau, beliau SMS untuk nanya kabar Kakak Ubii. Kangen, katanya.

Pada akhirnya, beliau nggak cuman bantu saya untuk urusan mengantar-jemput saja. Saat air saya habis, beliau yang menggantikan galonnya. Saat listrik saya konslet, beliau yang manjat-manjat untuk benerin. Saat mainan favorit Kakak Ubii yang bisa nyala kedip-kedip rusak, padahal itu mainan penyemangat Kakak Ubii terapi yang paling ampuh for now, beliau yang utak-utek benerin sampai bener lagi. He did that not for money. Beberapa kali saya menawarkan uang untuk balas jasanya, beliau menolak. Sampai saya yang rikuh sendiri, dan akhirnya ucapan terima kasihnya saya ganti dalam bentuk lain.

Pernah saya tanya,

"Pak, kok njenengan baik banget. Saya kan nggak enak kalo njenengan kadang nggak mau dibayar..."

Beliau menjawab,

"Ya saya niatnya bantu, Bu. Supaya Ubii makin sehat. Sesama manusia itu harus saling membantu, Bu. Apa pun agamanya." 

(Beneran, saya nggak bohong, beliau ngomong gitu!).

Kebaikan lain yang saya terima dari orang yang berbeda agama dengan saya adalah dari ART saya, sebut saja A. A ini baru ikut saya per April 2016, masih 23-an umurnya, kalau nggak salah.

Dia seorang Muslim yang taat. Sholat 5 waktunya nggak pernah bolong.

Di bulan puasa ini, saya menyuruh dia untuk tarawih di masjid dekat rumah saya. Awalnya dia nggak yakin karena kasihan sama saya kalau megang 2 bocah sendirian. Tapi saya meyakinkan dia, nggak apa-apa banget kalau dia mau tarawih. Beberapa hari ini, Baby Aiden demam dan rewel banget. Rewelnya tuh yang bener-bener ampun-ampunan. Digendong pakai jarik, diajak main, diajak muter komplek, dan lain-lain, masih aja rewel. Selama beberapa hari ini Baby Aiden demam, si A bener-bener keukeuh ogah tarawih karena kasihan sama Baby Aiden. Sholat di rumah aja Mbak Grace, katanya. Dia baru mau tarawih lagi kalau Baby Aiden sudah sehat supaya saya nggak kerepotan sendirian.

Saya terenyuh banget. Di bulan Ramadhan ini, siapa sih yang nggak kepengin tarawih untuk melengkapi ibadahnya? Tapi A bener-bener mengesampingkan itu dengan niatan pengen bantu saya ngasuh anak-anak karena Baby Aiden sedang sakit.

Pak I dan A adalah sosok-sosok yang dekat dengan kehidupan saya yang benar-benar menunjukkan toleransi, cinta, dan belas kasih lewat tindakan nyata. And I will be eternally grateful for that lesson.

***

Saya belajar banyak dari teman-teman dan keluarga Muslim saya bahwa Islam itu sejatinya indah. Islam itu ikhlas. Allah itu Maha Baik dan Penyayang. Saya belajar bahwa toleransi itu sungguh membahagiakan dan rasa bahagia itu dalem banget. Saya belajar bahwa toleransi itu diperlukan untuk kehidupan bersama yang lebih baik (karena Indonesia bener-bener butuh perubahan dan Indonesia bukan hanya milik satu kaum saja). Saya belajar bahwa agama nggak seharusnya hanya diimani, namun juga diamalkan dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata lewat lingkup sederhana. Saya belajar bahwa iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Saya belajar bahwa perbuatan baik itu penting tanpa harus membidik surga.


Saya belajar bahwa apa pun agamamu, ketika kamu berbuat baik, that's all that really matters.

Sungguh, saya berharap kita semua semakin rukun. Please, kita ini sama-sama bangsa Indonesia. Sama-sama tinggal di Bumi Pertiwi bareng. Ayok lah kita sama-sama bikin negara ini lebih baik dan lebih maju. Jangan diisi sama keributan yang mengatasnamakan agama melulu...

Untuk teman-teman Muslim, sekali lagi, selamat menjalankan ibadah puasa yah! Semoga penuh dengan berkah! ;)))

Adakah cinta atau kebaikan yang teman-teman pernah rasakan atau alami dari mereka yang berbeda agama atau suku? Ceritain yuk supaya kita semua makin percaya bahwa humanity masih ada di tengah perbedaan.

^___^



Love,








Tambahan: Mungkin kalian berpikir wajar lah kalau Salatiga toleran banget, palingan kampung halaman saya itu mayoritasnya non-Muslim. Eits, salah. Berikut saya kutip dari http://www.kompasiana.com/bamset2014/begini-suasana-ramadan-di-kota-paling-toleran-se-jawa_575e98a6599373270a371ed4 yah:
  • Populasi penduduk Salatiga yang Muslim adalah 75%, sedangkan sisanya non-Muslim.
  • Umat Muslim yang menjadi mayoritas sama sekali NGGAK pernah arogan.
  • Lapangan Pancasila, yang saya sebut di cerita saya di atas, juga digunakan untuk tempat beribadah Sholat Idul Fitri atau Idul Adha oleh umat Muslim. Artinya, lapangan ini rutin dijadikan area beribadah 2 agama yang berbeda.

I'm so proud of you, Salatiga!

39 comments:

  1. Aaaaaaah kisahnya mami gesi emang menyentuh banget, alhamdulillah ya mak dikelilingi sama orang-orang baik. Dan setuju banget, apapun masalah atau isu-isu yang beredar, kalo aku sih pasti sebenernya gatel pengen ikut komen, tapi yaudah dalem hati aja. Daripada memicu perdebatan yang nggak enak. Hehehee. makasi sharingnya yaa mami Ubiiii

    ReplyDelete
  2. Waah ketika sy mengalami jd minoritas di belaham bumi yg lain sy merasakan banget bahwa toleransi n positive thingking terhadap yg berbeda itu penting banget.
    Berlaku sebaliknya juga.
    Beda itu indah kok.
    Semangat momi ubiii

    ReplyDelete
  3. Kalau saya dari kecil sudah terbiasa dengan lingkungan yang berbeda agama. Nenek dari pihak ayah saya, adik2 ayah saya, dan sepupu2 saya beragama Kristen. Sedangkan saya dan orang tua saya Muslim. Dulu waktu masih SD saya punya 2 sahabat yang 1 Kristen, yang 1 Muslim. Tapi kami nggak pernah mempersoalkan tentang perbedaan agama. Sampai sekarang saya masih berhubungan baik dengan sahabat2 saya walaupun tinggal berjauhan. Sahabat saya yang dulu Kristen malah sekarang jadi mualaf. Menurut saya sih nggak perlu ya ribut2 mengatasnamakan perbedaan agama, saling toleransi aja lah supaya hidup adem, ayem, tentrem :)

    ReplyDelete
  4. Bener bgt mak ges, toleransi itu sangat indah.

    ReplyDelete
  5. keren ges. memang seperti itulah Islam seharusnya. semoga teman2 yg lain menyudahi perdebatan tak berkesudahan soal perbedaan yah

    ReplyDelete
  6. Ceritanya bikin terharu, indahnya toleransi... salah satu sahabat baik saya sejak SMA jg non muslim, dan kebersamaan kami sama sprti yg gessi ceritain. Skg saya tinggal di kompleks yg mayoritas non muslim... tp kami hidup rukun dan saling menghormati :)

    ReplyDelete
  7. Mami Ges, aku pun merasakannya. Dari kecil aku sekolah di sekolah Katolik, isinya mostly Chinese (mesti paham tho?). Begitu kuliah aku masuk universitas negeri, dan isinya berupa-rupa. Tapi mereka sayang sama aku sampe sekarang, bahkan waktu Papa sakit, temen2 ini yang menguatkan banget. Btw, mantanku Muslim dan anak pesantren euy :p

    ReplyDelete
  8. Ya itulah, saya pun bingung mengapa di sosial media segala hal tentang agama jadi rame? Khususnya agama Islam. Saya dulu juga punya sahabat dekat orang Budha & WNI keturunan. Enak banget gaulnya. Gak ada masalah dgn perbedaan agama. Sampai kuliah juga punya sahabat yg Katolik. Trus sekarang tetangga saya juga Kristen & anaknya udah kayak anak saya saking main di rumah 12 jam :D mudah2an penganut agama di Indonesia gak terprovokasi ya dgn isu2 panas soal agama.

    ReplyDelete
  9. Setuju mami
    Jika mau melakukan kebaikan, lakukan saja.
    Kadang orang berlomba lomba menunjukkan identitas agama di luar, tapi kurang menunjukkan identitas agama di dalam.
    Dulu juga jaman kuliah punya temen main anak Muslim maupun non muslim, dan kami semua juga kompak kalau main, dengan tetap menghargai saat masing masing mau menjalankan ibadahnya pastinya :)

    ReplyDelete
  10. Aku kok meh nangis yo ges pas baca kalimat pak I mau bantu dengan sesama, heuheeeuuu terharu aku :(
    Semoga kita tetap saling rukun ya meski beda agama, sekarang kok sensi banget masalah SARA ya, duuuh. mana yg share di fb banyak bgt lagi

    ReplyDelete
  11. aku bacanya sambil merinding dan terharu mba grace... semoga kita tetap saling rukun damai ya, mudah2an juga mereka yg suka berdebat soal agama segera disadarkan dan dibukakan pintu hatinya...Amin :)

    ReplyDelete
  12. sejak kecil saya juga terbiasa dengan perbedaan entah itu di lingkungan rumah atau lingkaran pertemanan, tapi justru terkadang merekalah yang sering membantu keluarga kami, karena katanya "kebaikan sebaiknya tidak memandang agama"

    ReplyDelete
  13. Dulu aku SD, dikelasku ada yang buddha ama Kristen...
    Pas lebaran,natal,imlek saling ke rumah... Mau makan kue katanya 😂

    Skrg udh pada gede,masalah yang larangan kunjungan perayaan Agama lain yaah pada ambil keputusan masing2,ga pernah nemu ribut.

    Tapi selain hari raya pun kami tetap kopdar2 klo ada yang ngajakin..😊

    ReplyDelete
  14. Saya pernah kedatangan tamu, siang-siang di bulan Ramadhan. Karena saya tau beliau tdk berpuasa (kami berbeda keyakinan), saya bersiap menyiapkan suguhan.
    Beliau, karena tau saya muslim dan sedang berpuasa, langsung menyusul ke dapur begitu tau saya sedang nenyiapkan minuman. "Ngga usah bikin minum segala, Rin, kami bawa minum sendiri koq."
    Saya menghormati beliau yg tdk berpuasa dg menyiapkan minuman karena beliau adlh tamu saya, tp beliau jg menghormati saya yg sedang berpuasa dg menolak keinginan saya membuatkan minuman. Saling menghormati yg didasarkan keikhlasan, indah dan damai ya Mbak Ges.. :)

    ReplyDelete
  15. Tulisannya bagus banget Mami Ubii...
    semoga kita semua antar umat beragama selalu damai bersama didalam lindungan-Nya ya :)
    Karena apapun Agamanya kita semua tetap sama sama manusia yang saling membutuhkan

    http://sugarsweetcookies.blogspot.com

    ReplyDelete
  16. Iya Mami Ubi, aku juga rindu masa2 dulu waktu sosmed nggak rame terus nggak ada isu2 SARA yang bikin banyak orang jd terpancing n saling sikut
    Dari lahir kita udah terbiasa berbeda, beda suku ras agama
    masih kecil juga nggak masalah, aku pun banyak teman non muslim dan akur2 aja
    sekarang ini malah heboh sama org2 yang katanya dah dewasa

    Mudah2an kedepannya bisa rukun n saling menghormati

    ReplyDelete
  17. Mbak Gesi, aku jadi nggak bisa berkata apa-apa lagi, aku bosan setiap kali lihat timeline media sosial bahas soal perbedaan terus. Kayaknya tuh nggak ada selesainya, betah banget ribut. Padahal aku nyaman dan bisa kok berkumpul serta bersosialisasi sama teman-teman yang berbeda agama, kenapa mereka nggak ?. *KZL* :D

    ReplyDelete
  18. Sebenernya kalau udah niat puasa beneran gitu, gak pengin kok ngebatalin puasa gara2 makanan. Liat makanan juga ngga pengin makan. Aku tiap hari juga ndulang anakku, dari siang masak buat keluarga untuk buka, juga ngga pengin nyomot atau apalah.. Jadi kalau cuma lihat warung buka,itu sebenarnya bukan masalah besar. Apalagi yang terbiasa puasa sunnah, senin kamis gitu, terbiasa banget puasa dikelilingi makanan di mana-mana.

    ReplyDelete
  19. Aku dulu kalau ada temen yang ngerayain hari besarnya selalu ngucapin, enggak cuma natal, ada juga yang budha
    tapi, semenjak ada isu2 nggak boleh ngucapin itu antara was-was juga, jadinya bingung sendiri
    kadang aku ngucapin, kadang ya enggak
    temen2 aku juga beragram agamanya, Mi... kadang kami malah saling cerita soal agama masing2. Kala islam gini, kalau nasrani gini, kalau budha gini... duh malah banyak wawasan dan kami juga saling mengingatkan

    dan tos mi, aku juga belum bisa nyetir sendiri... wkwkwk

    ReplyDelete
  20. isu agama, ras, suku, lahan empuk bgt buat jadi pemicu permusuhan, dan memang org indonesia itu mudaj diprovokasi. apalagi lewat medsos, kitanya kudu punya filter hati dan pikiran ekstra. Bener mbak gesi, islam itu rahmatan lil alamin, sepanjang sy sekolah dan belajar agama islam, ga ada sama sekali seruan menghina atau bermusuhan dgn non islam. Isu isu ky teroris dll itu yg bikin islam jd buruk citranya, yg entah dibuat oleh siapa, dan sayangnya lagi orang islamnya sndiri juga yg berantem. hadeuhhh

    ReplyDelete
  21. Tulisannya menyentuh banget mb ges,, kisah kita kurang lebih sama mba,, aku tetanggaan sm budha dan jg kristen, tp kami slalu akur. Mesjid n gereja hanya berjarak bbrp meter, tp ga ada tuh yang jontok2an saat ibadah. Hidup dg toleransi itu indah banget.

    ReplyDelete
  22. Pas saya kecil dulu jg kerasa banget indahnya perbedaan. Pas lebaran, yg muslim membagi2kan hantaran lebaran,yg nonmuslim pun jg pasti kebagian. Nah pas natal, yg beragama nasrani yg bergiliran membagikan hantaran natal. Jadi dalam 1 thn, di lingkungan rmh saya dulu ada 2 kali moment makan2 enak. Yaitu pas lebaran sama natalan. Indaahh....

    ReplyDelete
  23. tulisannya bagus banget ini mbak :')
    Memang ya, saling bertoleransi antar umat beragama itu penting bgt. Sebagai sesama manusia harusnya memang begitu, harus saling membantu tanpa memandang agama ..

    ReplyDelete
  24. selalu berharap orang2 yg terlalu fanatik berlebihan itu, bisa berubah jd lbh toleran :(.. akupun terbiasa dikelilingi oleh2 orang2 yg bukan muslim mbak.. pas kuliah, kebanyakan temen2ku hindu, dan kristen, malah ada yg atheis..ada 1 temen yg berasal dr mongolia, dia takjub waktu tau muslim itu berpuasa dan ga bisa makan minum sampai wkt berbuka.. dia banyak nanya ttg itu, ujung2nya, dia malah ga enak pas mau makan siang krn dia tau aku g bisa ikutan..

    nthlah ada apa ama org2 kebanyakan yg skr.. knpa jaman semakin maju, tp pikiran mereka tambah picik ya :(

    ReplyDelete
  25. Tu kan. Tu kan. Aku beneran mewek loh baca postingan ini. it touch my deepest heart. pengen sandaran sama Mbak A *loh

    Toleransi sebenarnya sesederhana ini. Sayang banyak yang mikirnya kejauhan jadi lebay. Keep our friendship till last, i love u Mami Ubii Aiden...

    ReplyDelete
  26. duh, pagi pagi aku kraying.
    terimakasih sudah menuliskannya dengan indah mami ubii.
    sehat sehat ya sekeluarga~

    ReplyDelete
  27. Mami ubii selalu menginspirasi kisahnya hu hu 😂😂😂😇😘

    ReplyDelete
  28. perbedaan agama tidak memang harusnya tidak menghalangi warga untuk hidup rukun. persepsi yang salah dan provokasi yang membuat kerukunan jadi hancur

    ReplyDelete
  29. Perbedaan itu bikin kaya warna, tanpa harus saling memaksakan..

    ReplyDelete
  30. Hmmm, menarik juga ya salatiga, memangharusya perbedaan agama tidak menyebabkan perpecahan salam masyarakat

    ReplyDelete
  31. makasih gan infonya dan salam sukses selalu

    ReplyDelete
  32. terimakasih gan tentang infonya dan salam sukses

    ReplyDelete
  33. mantap bos buat infonya dan salam kenal

    ReplyDelete
  34. kok saya jadi mewek ya bacanya...kerenn,,bikin merinding & gak sadar malah mewek..

    ReplyDelete
  35. Aku bacanyaa merinding ka grace, intinya Toleransi dan saling menghargai antar Umat Beragama itu padahal Indah banget kalo dijalanin...

    ReplyDelete
  36. Mami Ubiii akupun merasakan cinta dari agama yang berbeda ketika tinggal di belahan dunia lain, sebagai minoritas pula (aku Muslim). Pas exchange student dan tinggal di keluarga Nasrani yg rutin gereja tiap minggunya, ketika bulan puasa Ramadhan, ibu asuhku (hostmom) ku disana rutin tiap hari bangunin aku sahur padahal pagi buta banget dan dia SAHM yg urus 5 anak tanpa bantuan siapapun di rumah. Waktu buka puasa Maghrib, dia yg ingetin aku utk saatnya buka dan selalu menyemangati kalo puasaku gak boleh bolong biarpun banyak godaan dimana-mana.


    Kdg ketika dia gak terlalu lelah, dia bakal duduk nemenin aku sahur juga. Pas Lebaran pun, dia tau aku suka pancake buatannya, dia bela2in bikin pancake pagi Lebaran itu sebagai bentuk perayaan buatku. Trenyuh sama dedikasinya membuatku nyaman dengan ibadahku biarpun berbeda agama dan bahkan ga terikat darah.

    ReplyDelete
  37. wah, mantap maaak, bagus ceritanya

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^