Wednesday, November 15, 2017

Agama, Kebaikan, dan Dunia


Dua puluh tujuh belum masuk usia yang matang, tapi bukan juga usia kemarin sore. Selama ini saya merasa telah melihat cukup banyak jenis orang dan caranya mengamalkan keyakinannya, walau mungkin belum sebanyak itu menurut orang lain.


Ada beberapa jenis orang yang saya tangkap dari pengamatan terhadap teman-teman yang saya kenal cukup baik. Dari penampilan sebagai hal pertama yang dinilai orang, ada yang terkesan berandalan dan seperti bukan 'orang baik.' Ada juga yang terkesan agamis baik dari penampilan maupun tutur katanya.

Lebih jauh, saya bertanya pada diri saya sendiri. Definisi orang baik menurut saya itu yang bagaimana? Apakah yang beragama dan taat beribadah sudah pasti orang baik? Sebaliknya, apakah orang yang malas beribadah atau tidak beragama sudah pasti bukan orang yang baik?
Kindness is the language which the deaf can hear and the blind can see ― Mark Twain
Ada beberapa teman saya yang tubuhnya dipenuhi tato, merokok, doyan minum bir, dan malas-malasan ibadahnya. Tapi ternyata saya merasa adem saat hang out bersama mereka. Terlepas dari kebiasaan-kebiasaan yang dinilai masyarakat kurang terpuji itu, mereka pribadi yang menyenangkan dan punya banyak positive values.

Ketika hang out, saya mengamati bagaimana mereka memperlakukan orang lain. Waiter/waitress di restoran, tukang parkir, satpam, pengamen pada umumnya, serta pengamen transgender. Kata orang, kita bisa menilai orang lain dari bagaimana cara mereka memperlakukan 'orang kecil' atau 'sampah masyarakat' - begitu banyak orang menilai transgender.

Mereka memperlakukan orang-orang itu dengan sewajarnya. Kalau ada uang ya memberi, kalau tidak ya menolak dengan halus. Tidak ada bisik-bisik judgment saat didatangi transgender. Tidak ada gerak-gerik yang mengesankan mereka jijik. Kalaupun ada dari mereka yang kurang nyaman dengan transgender, ya mereka berusaha tidak menunjukkan itu di depan yang bersangkutan.

Ternyata casing luar yang tampak begundalan tidak membuat mereka tidak menghargai manusia lain, dengan pengamalan sederhana seperti ucapan terima kasih, tolong, dan maaf. Mereka merangkul realita bahwa orang itu macam-macam sehingga tidak mudah menghakimi pilihan orang lain.


Ada beberapa teman di kelompok lain yang penampilannya sungguh agamis. Dari cara mereka bertutur kata pun kesan agamisnya sungguh kuat karena sedikit-sedikit mengutip penggalan kitab suci dari agama yang mereka percayai. Media sosial mereka dipenuhi renungan-renungan dan quotes agama. 

Tapi ketika ada sesuatu yang kurang lazim terjadi, mereka nomor satu memberikan berbagai penilaian dan judgment, tanpa merasa perlu sedikit berempati. Tidak hanya itu, mereka juga dengan pongah meyakini orang lain akan bermuara di neraka, padahal surga belum tentu jadi milik kita juga kelak di akhir hayat.

Hanya karena seorang pelaku perbuatan yang kurang lazim itu melakukan dosa yang tidak mereka lakukan, dengan ringannya mereka memainkan peran Tuhan: menentukan surga dan neraka bagi orang lain.

Jangankan pada orang yang berbeda agama, dengan teman-teman mereka yang memeluk agama sama pun, orang-orang ini ringan menentukan lapisan iman kawan-kawan mereka. Penyebabnya? Beda pilihan calon gubernur, gaya busana, atau cara pemakaian atribut agama.



Sebaliknya, ada juga kelompok teman yang berpenampilan agamis luar biasa dan perilaku mereka pun menunjukkan itu juga. Dari luar tampak baik, dari dalam ternyata juga baik. Walaupun tampaknya sangat tertutup, tapi toleransi mereka nyatanya sangat tinggi.

Kalau ada berita-berita negatif, mereka tidak adu cepat melabeli si pelaku adalah penghuni neraka. Yang mereka ucap adalah sekelumit doa, semoga si pelaku bisa kembali ke jalan-Nya.



Selain tiga kelompok teman di atas, ada teman-teman saya yang sebetulnya taat beribadah namun penampilan dan gerak-geriknya tidak mengesankan itu. Mereka tidak pernah update status atau upload quotes tentang agama. Penampilan yang sesuai dengan anjuran agama mereka kenakan tanpa merasa perlu memberikan kuliah panjang lebar pada yang belum memakai. Atribut agama yang telah dipakai tidak membuat mereka merasa lebih benar dari orang lain.

Teman-teman saya yang ini perilakunya mirip dengan teman-teman di kelompok pertama dan ketiga yang saya sebutkan di atas tadi. Berbuat baik pada semuanya. Tidak berlomba mencari dosa orang lain.

Dari pengamatan pada empat kelompok teman ini, saya memetik pelajaran bagi diri saya pribadi bahwa agama semestinya menjadi penuntun hidup agar menjadi lebih baik, bukannya jadi senjata untuk memainkan peran tuhan di dunia. Kata-kata yang hanya dihapalkan tanpa dimengerti atau bahkan dilakukan maknanya tidak lebih berarti daripada lirik-lirik lagu atau penggalan film semata. Berbuat baik pada siapa pun tanpa melihat warna kulit, suku, agama, ras, kepercayaan, status ekonomi, status sosial, status pendidikan, preferensi seksual, dan lain-lain adalah pengamalan terbaik dari sebuah agama, apapun itu.



Ada beberapa kejadian, yang saya tahu dari media sosial, yang membuat saya mati-matian menahan amarah. Yang paling terekam di otak saya ada empat kejadian:

Pasangan muda-mudi yang terpergok bermesraan di ruang ganti baju sebuah mall kemudian diarak di mall tanpa diperbolehkan memakai baju dan dikata-katai dengan kasar.

Seorang remaja laki-laki 15 tahun yang memperolok seorang ulama kemudian dimaki-maki sampai ditempeleng berkali-kali oleh orang-orang yang main hakim sendiri.

Seorang pria yang dituduh mencuri amplifier kemudian dibakar sampai hilang nyawa.

Pasangan muda-mudi yang dituduh dan dipaksa mengakui mereka berzina sampai diarak tanpa mengenakan pakaian yang layak, bahkan baju yang perempuan dilepas paksa sehingga terlihat payudaranya dan tentu dimaki-maki begitu rupa.

Dari empat peristiwa itu, saya menarik benang merah. Main hakim sendiri, merasa darurat dan berhak turun tangan memberikan pengadilan, dan tidak memanusiakan manusia lain dengan semestinya.

Baca: Memanusiakan Manusia

Benang merah itu kalau saya rephrase dalam satu kata, maka pilihan kata saya adalah, biadab.

Lucunya, peristiwa nomor 1, 2, dan 4, yang kebetulan saya tonton videonya, menampilkan beberapa orang hakim dunia yang melancarkan aksinya sambil meneriakkan nama Tuhan. Di bagian itu saya tersenyum. Miris.

Tuhan, bagaimana pun Ia disebut, setahu saya mengajarkan kebaikan. Bagaimana mungkin kita merasa meneriakkan nama-Nya keras-keras adalah justifikasi dan amunisi untuk kita menyakiti orang lain? Apalagi menyakiti di empat peristiwa di atas bukan perkara yang sehari bisa lupa. Kita mengambil karakter dan kehormatan mereka sebagai manusia, pun nyawanya.
Three things in human life are important. The first is to be kind. The second is to be kind. The third is to be kind ― Henry James
Pre-marital sex, menghina orang lain (apalagi seorang ulama), dan mengambil barang yang bukan kepunyaan kita, saya sepakat, itu salah. Tapi kesalahan-kesalahan itu bukan pembenaran bagi kita memainkan peran tuhan di dunia. Tentu kita boleh dan wajar jika kesal. Tidak salah juga kalau kita menjaga jarak dari orang-orang yang berbeda values dengan kita. Tapi, tetap salah jika lantas kemudian kita mengambil hak-hak mereka sebagai manusia. Kita ini siapa?

Kita tidak mau disamakan dengan binatang. Tapi ketika kita menelanjangi dan membunuh orang lain, apa masih layak kita disebut manusia?



Ada waktu-waktu di mana saya penuh menyadari. Sampai detik ini, saya meyakini bahwa ada being yang jauh lebih besar daripada saya dan dunia. Being yang sudah mengatur semuanya dari mulai awal hingga nanti akhirnya. Being yang tidak bisa saya cerna dengan logika, tapi bisa saya rasa.

Ada waktu-waktu di mana saya bertanya. Bagaimana saya bisa lebih dekat dengan being itu? Bagaimana supaya saya bisa lebih merasakan Sang Maha Segalanya? 

Ada waktu-waktu di mana saya mencari. Memiliki suami yang berbeda kepercayaan dengan saya, mau tidak mau sempat membuat saya berandai-andai bagaimana jika kami menyebut being dengan sebutan yang sama? Apakah saya akan lebih peka dan merasakan-Nya jika saya dan suami bisa beribadah berdua? Akankan saya jadi orang yang lebih baik?

Pertanyaan-pertanyaan itu belum pernah benar-benar terjawab. Saya tidak antusias lagi mencari jawabannya. Saya pun tidak begitu peduli lagi dengan cara dan sebutan apa saya mendekati Dia. Selama saya menyadari bahwa saya hanya butir debu kecil yang diciptakan oleh Sang Pencipta, buat saya itu cukup. Paling tidak sampai saat ini.

Saya tidak mendekat pada-Nya dengan tata-tata cara. Saya hanya memejamkan mata dan mengatakan rasa syukur, permintaan, dan permohonan ampun. Saya yakin Dia, seperti apapun wujud-Nya, akan mendengar.

Saya lebih membutuhkan Tuhan ketimbang agama. 

Agama lama-lama membuat saya merasa kecut karena kini agama dibawa-bawa dan dijadikan tameng untuk berlaku kejam pada manusia lain.

Saya sepenuhnya tahu bahwa itu manusia-manusianya saja yang bodoh, bukan salah agama. Tapi, tetap saja, hal-hal yang terjadi belakangan ini membuat saya menutup pintu pencarian terlebih dulu, yang entah sampai kapan.

Saya ingin ketika saya dengan sadar mengucap saya beragama A/B/C/X/Y/Z, saya bisa membawa kebaikan pada agama tersebut. Saya ingin nilai-nilai kebaikan yang diajarkan agama tersebut tercermin dari kehidupan saya. Bukan sebaliknya.

Saya tidak ingin orang lain berprasangka buruk pada agama saya karena saya sebagai pemeluknya tidak bisa memanusiakan manusia lain.

Ada hal yang membuat saya dan suami tertawa saat saya coba mengetikkan nama saya di mesin pencari. Ternyata related search yang muncul adalah agama grace melia. Apakah kita merasa mengetahui agama orang lain itu sedemikian penting?

What do I believe in?

I believe in kindness.
My religion is very simple. My religion is kindness ― Dalai Lama

*Anyway, this kind of writing is not really my cup of tea. I've been wanting to write this for so long, but fear always stopped me. Last night I finally wrote and finished it, triggered by anger after watching the video of people playing god in Tangerang. It's a very personal journey for me that eventually has made me have this kind of thoughts. I don't intend to offend anyone or any religions in this post. So, peace out*



Love,




16 comments:

  1. berita-berita itu bener-bener membuat sebel, Mi... akupun juga sebel. kok bisa sih mereka main hakim sendiri? tidak kah mereka punya rasa empati, seandainya mereka berada di posisi yang salah... beneran, ngelus dada...

    ReplyDelete
  2. Aku bacanya sambil ngelus dada. Di agama manapun menurutku ga ada yang membenarkan tindakan kekerasan dan main hakim sendiri. Trus apa ga malu itu yang kejadian di Tangerang ternyata hanya salah sangka, oh god :(.

    ReplyDelete
  3. Entah ya, kenapa masyarakat kita sekarang begitu pemarah. Satu kesalahan saja yang dibuat orang lain bisa mengubah mereka menjadi bukan lagi manusia :-(

    ReplyDelete
  4. Kejadian yang nomor 4 itu dekat daerah rumah saya mbak. Toh kalo benar juga mereka berzinah itu urusan dosa dan mereka yang tangggung konsekuensinya, saya marah kenapa harus diperlakukan seperi itu. Nah ini ada fakta kalo mereka hanya dituduh dan dipaksa mengaku, saya liat videonya bergetar hati saya, malu sama yang pegang kamera lalu merekamnya, rasanya kalo saya disitu pasti saya ngamuk sama itu bapak2 yang main hakim sendiri. Kenapa ga ada satu pun yang menolong???? Oh ternyata urusan moral lebih penting daripada urusan privasi orang mbak :(((

    ReplyDelete
  5. Stuju skali bahwa pemeluk agama harus menunjukkan kebaikan agamanya, kalau cuma kata2 doang buat apa. Saya belum nonton video2 itu, ga mau, ga tega. Semoga org2 itu cepat sadar jangan suka main hakim sendiri. Saya percaya yang kita lakukan baik buruk akan dapat balasannya kalau ga di dunia ya di akhirat. Keep writing. Mami ubii

    ReplyDelete
  6. Aku baca artikel artikelnya, tapi nggak berani lihat videonya hiks...enggak tega. Kalau memaksa melepas pakaian, sungguh itu keterlaluan. Speechless saat orang merasa benar dan bisa melakukan apa saja terhadap orang lain. Mengingatkan itu baik, tapi harus dengan cara yang baik juga kan?

    ReplyDelete
  7. Like this mbak...

    Saya ingin ketika saya dengan sadar mengucap saya beragama A/B/C/X/Y/Z, saya bisa membawa kebaikan pada agama tersebut. Saya ingin nilai-nilai kebaikan yang diajarkan agama tersebut tercermin dari kehidupan saya. Bukan sebaliknya.

    Saya tidak ingin orang lain berprasangka buruk pada agama saya karena saya sebagai pemeluknya tidak bisa memanusiakan manusia lain.


    Saya sendiri mulai bertanya2.. biskaaj Saya memantaskan diri dengan apa yang Saya kenakan.. karena malu jika ini sekedar pakaian Dan saya Tak bisa memanusiakan manusia lainnya... Thanks for the reminder :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju banget komennya mbak.Benaran perlu jadi reminder bagi saya pribadi.Thanx sharingnya ya Ges 😊 Jadi punya sudut pandang positif 😍 yang adem nyaman di hati...Peace

      Delete
    2. Mbak Marita ,sori ya kalo langsung reply saja.Ng tau boleh ng nulis di sini .Berhubung komen mbak sama denganku makanya tadi nimbrung di sini.. Sori ya Ges kalo komennya di sini 😊

      Delete
  8. Ah.. Hari gini, banyak yang mengatasnakan agama tapi tindakannya gak sesuai dengan ajaran agama. Karena agama apapun gak ada yang mengajarkan kekerasan dan permusuhan.

    ReplyDelete
  9. Couldn’t agree more kak Gesiiiiii, we better pray and say our grace in our own way...krn agama hanya kedok semata, ga mencerminkan iman dan kepercayaan seseorang scr keseluruhan. Mulut yg dipakai mereka mengucap doa pun kalah nyaringnya kala mereka mengucap dusta dan nyinyir.

    ReplyDelete
  10. :( spechless baca nya mba gesi.. Sudah tidak mengerti kenapa zaman now banyak pribadi yang menjadikan agama sebagai senjata untuk melukai atau merendahkan manusia lain.. Padahal Tuhan yang Maha Kuasa segalanya pun Maha Pengampun.. Sedangkan kita yang hanya butiran debu dan kepulan asap..sering berlaku tidak baik..bahkan ke sesama manusia..seolah kita bisa segalanya..merasa paling benar..paling jagoan..dan paling segalanya.
    :( miris melihat fenomena zaman now Tentanh tingkah laku manusianya..

    ReplyDelete
  11. Miubi, aku gk sanggup nonton video2nya. Baca beritanya aja udh bikin hati aku mencelos. Brharp smoga pribadi rakyat negeri ini lebih baik. Tdk reaktif sperti skrg. Amin.

    ReplyDelete
  12. Welcome to the world of deism, Grace!

    ReplyDelete
  13. Masih banyak yang memisahkan antara kemanusiaan dan keberkeTuhanan, padahal antara kemanusiaan dan KeberkeTuhanan nggak bisa dipisahkan. Berbuat baik kepada manusia menjadi awal berbuat baik kepada Sang Maha Pencipta

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^