Monday, December 26, 2016

If Death Do Us Apart


A couple of days ago, I got a news that my friend in high school passed away after giving birth to her baby dan dia dikebumikan kemarin. We weren't that close actually, but that kinda news is always sad. Apalagi kalau dulu mereka adalah teman satu angkatan kita, atau orang yang kita kenal. 


Selain sedih, tentu saja saya jadi wondering, "What if I passed away? What if Adit passed away? How things are gonna be like? How are the kids gonna be taken care of? How are we gonna be ready? Is it possible to make us ready when our spouse left us?"

Jadi malah kepikiran kayak gini mungkin karena saya melankolis banget. Gampang sedih dan gampang mikir.


Kalau saya meninggal, Adit pasti sedih, limbung, dan merasa nggak berdaya dan begitu juga sebaliknya. But we've got two kids and life just keeps going on, right? Jadi tentu saja harus gimana caranya menchannel kesedihan supaya nggak terlalu berlarut dan biar anak-anak nggak yang jadi neglected.

Setelah dapat kabar teman saya berpulang itu, saya langsung mikir. Oh God, saya dan Adit sama sekali belum pernah membahas kematian dan kehidupan yang tetap berjalan setelah salah satu dari kami berpulang. Ubii dan Aiden akan gimana kalau saya duluan yang meninggal? Kalau Adit yang duluan, siapa yang membiayai Ubii dan Aiden wong saya nggak punya kerjaan tetap begini. And so on and so forth. Kami belum pernah bahas like at all padahal kematian kan siapa yang tahu akan terjadi kapan. We never know. And death is inevitable. 

Saya jadi bikin list of things to discuss sama Adit.

If Grace passed away:
  1. Ubii dan Aiden tetap di Jogja atau jadi pindah ke Jakarta?
  2. Kalau tetap di Jogja, siapa yang jaga? 
  3. Kalau pindah ke Jakarta, berarti cari nanny. Siapa yang ngawain nanny saat menjaga bocah-bocah sementara Adit bekerja? Karena kalau cuman nanny doang sama anak-anak kok serem aja.
  4. Siapa yang bawa Ubii terapi dan ke dokter sementara Adit bekerja? Cari driver di Jakarta?
  5. Siapa yang nanti antar jemput Aiden ke dan dari sekolah? Atau cari sekolah yang sekalian ada daycare sampai sore sehingga Adit bisa antar dan jemput sebelum dan sepulang kerja?
  6. Siapa yang akan mengajarkan values ke anak-anak dengan asumsi Adit pulang kerja dan sampai rumah pasti sudah maghrib dan capek? Apa masih bisa punya tenaga untuk mengasuh Ubii dan Aiden?
  7. Bagaimana Adit menumbuhkan kedekatan dengan anak-anak meanwhile selama ini Ubii dan Aiden sama saya terus dan hanya ketemu Adit seminggu-dua minggu sekali?

If Adit passed away:
  1. Gimana saya akan membiayai kebutuhan rumah dan anak-anak?
  2. Kalau saya harus bekerja, siapa yang akan mengantar dan menemani Ubii terapi dan ke dokter?
  3. Kalau saya bekerja, pekerjaan seperti apa yang perlu saya cari supaya bisa mengakomodasi kebutuhan kami?
  4. Apakah Aiden perlu dicarikan sekolah yang sekaligus ada daycare nya?
  5. Apakah di Jogja ada daycare anak berkebutuhan khusus?
  6. Selama ini terapi dan pengobatan Ubii mengandalkan asuransi dari kantor Adit, lalu bagaimana setelahnya kalau Adit sudah berpulang? Apakah hanya mengandalkan BPJS sehingga pastinya frekuensi pun mau nggak mau jadi harus berkurang?
  7. Siapa yang bantuin saya saat saya butuh difotoin bareng produk? *eh* 

I can just add some more things to the list. But, so far, kayaknya itu yang jadi concern utama saya. Kata orang, istri yang meninggal duluan itu lebih berat daripada kalau suami yang meninggal duluan because women are simply stronger than men by nature. What do you think?

Hal semacam, "Nanti boleh nikah lagi nggak? Kriteria ayah/ibu baru yang disepakati kayak apa aja nih?" itu belum kami bahas. Bukan karena nggak rela atau jeles atau gimana, tapi simply karena kayaknya bahas printilan wellbeing Ubii dan Aiden dulu aja deh yang lebih utama dan penting. Bayangin saya meninggal lalu Adit nikah lagi, biasa aja kayaknya dan masuk akal. Karena nanti Ubii dan Aiden mungkin butuh figur ibu dan Adit butuh figur istri. Adit butuh diayomi dan butuh partner untuk berbagi tugas dalam mendidik anak-anak for sure, and of course Adit pasti tetap butuh teman berbagi keintiman.

Kami nggak bahas itu juga karena kami kayaknya sama-sama percaya pada judgment satu sama lain. Kalau toh saya nanti duluan meninggal dan Adit mau menikah lagi, saya yakin kriteria utamanya adalah yang bisa menerima kondisi Ubii dan Aiden (terutama Ubii) dan sayang sama mereka. So we don't really need to talk about that, I guess.

Although, Adit sempet nyeletuk sih, "Kalo kamu nggak ada, kayaknya aku nggak nikah lagi aja deh. Males memulai kedekatan sama orang yang baru dari awal. Males mengenal dan belajar karakter dia dari awal. Lagian cari yang bisa sayang sama Ubii kayaknya susah. Nanti kalau aku kepengin (you know what I mean), I can always jerk off atau yah ke lokalisasi kali."

And I replied, "Tapi Ubii dan Aiden akan tetap butuh ibu. Dan kamu bakal tetep butuh partner hidup, nggak hanya urusan seks doang. You always need someone to share lah. Jadi kita realistis aja."

Kalau saya nanya ke diri sendiri, "Siap nggak kalau sewaktu-waktu dipanggil Tuhan? Apa sudah punya bekal yang cukup?" I would say I don't know. Saya malah lebih kepikiran gimana nanti Ubii dan Aiden daripada nanti saya ditempatkan di mana setelah meninggal.


Ini juga jadi lecutan banget buat saya dan Adit untuk lebih bijaksana mengatur keuangan kami. Selama ini kami masih parah banget untuk urusan financial management. Kami belum mulai punya asuransi/tabungan pendidikan. Baru punya asuransi kesehatan aja. Masih banyak PR untuk ngatur duit lebih pandai dan wise. 

Apakah teman-teman sudah pernah bicarain hal-hal kayak gini sama pasangan? Kalau belum kayak saya, mungkin ada baiknya mulai dibicarain because we can never predict one's death. Kalau ditinggal pasangan saat anak-anak kita sudah dewasa dan mandiri, mungkin akan lebih kebayang (bukan berarti jadi nggak sedih, ya). Tapi kalau anak-anak kita masih kecil, belum bisa mandiri, masih full bergantung sama kita, apalagi ada yang berkebutuhan khusus, oh God, let's talk about it with our husband/wife.

The same thing goes to divorce. Saya jadi ngerasa perlu bahas kemungkinan itu juga sama Adit. Untuk perceraian, tentu nggak kami harapkan. But yah ... just in case..

And this question always pops out in my head about death:

If I'm gone, how would you remember me?

I hope you can remember the good parts of me. Semoga kita semua sehat-sehat dan selalu dilindungi ya. Amiinn...

Baca juga dari sudut pandang Adit: Diari Papi Ubii #11 - What To Do Before You Die




Love,






34 comments:

  1. Hiks nangiss, moga kita diberi umur panjang ya Mbak agar bisa besarin anak2 hingga mereka dewasa dan mandiri, aamiin.

    ReplyDelete
  2. Kalau bahas kematian, kami ngarepinnya jangan nikah lagi, Miii

    Ah takut ah bahasnyaa

    ReplyDelete
  3. Idem, saya udh mikir ini jauh2 hari waktu ada temen SMP ! meninggal dunia, anaknya seumuran saya,hiks. Dan sedihnya ga berapa lama, alias 6bln kemudian,suaminya juga meninggal:((, jadi anak tsb skrg yatim piatu,hiks makin nangis saya bayangin nya. Meski anak tsb sudah trbiasa tinggal sm eyangnya dirumah eyangnya krn bpk ibu smua dokter,trakhr teman saya lg ambil spesialis diluar kota, tetap saja clueless apa yg bakal dirasakan dan dihadapi anak tsb..huaa tmbh mewek saya.kalo saya meninggal dluan mgkn anak-anak bkal dtmpt eyang,cari pengasuh yg dibiayai suami,tp mereka psti sedih bgt tnp ortu,smntra ayah cm plg smgg sekali. Kalo suami yg meninggal dluan, mgkn saya bakal tmbh lari ngerjain Oriflame nya atau disambi krja kantoran juga, huaa kebayang tepar dan sedihnya:((. But somehow our priority right now adalah gimana caranya bisa ga LDR lagi,huaa nmbh sedih lagi deh

    ReplyDelete
  4. Saya juga suka nanya kayak gitu sama ayahnya Marwah, hiks jadi sedih nih. Semoga saja kta selalu diberikan perlindungan yaa dan panjang umur, aamiin

    ReplyDelete
  5. aku pernah ngajak suami ngobrolin ini tapi dia ngga mau ngelanjutin. ngga mau mengandai-andai katanya. gimana entar, gitu. :(

    ReplyDelete
  6. Aku sering mikir begini
    Tapi lalu menghapusnya cepat2 dari bayanganku, gak mau dan gak siap

    ReplyDelete
  7. Pernah kepikiran juga tp masih disimpen belom berani didiskusikan. Karena selain sedih, kayanya belum rela walaupun sadar banget, kematian itu pasti.


    Syediiiih.

    ReplyDelete
  8. Ishhh, ngeriii dan sedihhh mbakkk. Ini saya masih single, it is okay' id I die. Sebagai Anak terakhir saya no beban.

    Sayangnya ke anak ya mbak, mereka duluan yg dipikirkan.. :)
    Salam

    ReplyDelete
  9. Kalau aq mati duluan, suami mw cari mamah2 muda yg bisa disewa buat urus anak3 ^^` kalau suami yg mati duluan, silahkan KLO mau kawin LG 'toh aq dah mati ini' gitu katanya ^^` Krn saya ad darah Minang, secara adat, anak3 ku punya semacam guardian KLO istilah di ln, JD semacam ortu kedua. Dalam hal ini yg kedapatan tanggungan adl kakakku ^^

    ReplyDelete
  10. suka kepikiran gitu... terus bilang ke suami.., kalo mau pilih biar aku yang duluan... kayanya gak sanggup..., tapi tuhan tak akan memberi ujian diluar kemampuan....

    ReplyDelete
  11. Aku pernah ngajak suami ngobrolin soal ini...tapi, akhirnya nggak dilanjutin. Kata suami...nggak usah dibahas ah, takut, hihi

    ReplyDelete
  12. Mba grace, gbr2nya bagus deh. Gambar sendiri kah? Belajar dooong. Pake aplikasi apa?
    *salahfokus

    ReplyDelete
  13. Beli asuransi jiwa yg pertanggungan nya besar. Pencari nafkah yg sudah punya ahli waris, wajib punya. Beli sesuai dgn kebutuhan. Beli yg pertanggungan nya milyaran haha

    ReplyDelete
  14. semoga selalu diberi kesehatan dan kesabaran ya mba..

    ReplyDelete
  15. Sejak punya bayi, salah satu doaku adalah..
    "Ya Allah, berikanlah dia (anakku) kesehatan dan umur panjang, begitu pula ayah ibunya. Dan berikanlah kami kesempatan untuk bersama-sama seperti ini selama mungkin, minimal sampai ia menikah.."

    Doa mah kan bebas ya mau apa. Hehehe..

    Kalau suami meninggal duluan, aku ga yakin bs nikah lg. Bukan apa-apa, tapi laki-laki yang naksir aku cuma suami, ga ada yang lain :3

    ReplyDelete
  16. Aku pernah diskusi sama suamiku soal hal ini di salah satu sesi pillow talk kami. Setelah diinget-inget, itu sekitar sebulanan sebelum suamiku meninggal. :'(

    Karena belum punya anak, jadi bahasannya lebih ke "apa yang akan kami lakukan selanjutnya jika salah satu di antara kami meninggal dunia". Dan itu yang jadi pegangan buat aku saat ini setelah kepergian suamiku.

    ReplyDelete
  17. Aku pernah ngobrolin ini sama suami, suami cuman diam sesaat kemudian jawab "mbuh (ga tau) ga bisa mikir". Sedangkan aku cuman bisa nangis mewek sepanjang hari memikirkan ternyata suami dan aku saling membutuhkan T.T

    Ibuku dulu juga sering bilang kalo hidup akan lebih susah kalo istri meninggal duluan, tapi ngelihat kehidupan ibuku setelah ayahku meninggal, aku selalu berdoa agar Tuhan jangan ambil suamiku dulu sebelum aku T.T

    Lalu aku jadi melow mikir anak2, dan akhirnya aku berdoa agar usia suami dan aku dipanjangkan hingga anak2 dewasa membangun keluarga punya anak cucu, dan berdoa agar aku dan suami menjadi jodoh sehidup semati

    ReplyDelete
  18. Heeeeuuuu..aku suka kepikirian juga. Hiks. Tapi belum pernah sampai mikirin dalem kayak gini. Tatuuut Mbaaaak. Hadeuuuh. Tatut nanti anak-anak gimana..kalau bapaknya mah kan udah gede ini yak...wkwkwk. Suka kepikiran anak-anak the most.

    ReplyDelete
  19. Aq ga pernah ngomongin itu mak. Takut soalnya. Duh ga sangguppp

    ReplyDelete
  20. Yaaa ges... Baca ini lgs agak down nih :(. Ga pernah kepikiran sih gmn kalo sampe salah satu dr aku ato raka ga ada :(. Mungkin jujur aja krn aku males bicarain dan bayangin ini. Dan raka juga gitu. Aku tau bgt dia paling ga suka bicarain sesuatu yg blm terjadi.. Apalagi ttg kematian..

    Tapi, kita berdua ga sadar memang udh prepare sedikit. Salah satunya asuransi jiwa pastinya. Jd kalo raka meninggal, anak2 g akan telantar dan dpt uang pertanggungan yg lumayan. Walopuuuun aku sadar sih ini msh kurang kalo utk anak 2. Krn itu aku udh planning mw bikin lg asuransi. Trs kita kan hobi bgt traveling. Nah, utk ini jg kita g prnh lupa beli asuransi travel yg walopun sepintas ga berguna, tp ini pegangan utk anak2 kalo sampe kami mengalami kecelakaan dalam perjalanan, uang pertanggungannya bakal bisa digunakan anak2 nantinya. Jd intinya, so far persiapan yg aku dan raka lakuin baru sebatas asuransi. Hal2 lain ttg anak2 nanti gmn itu jujurnya blm kita bicarain krn memang mnghindari topik begitu :(

    ReplyDelete
  21. Wah samaan.. Sy jg kpikir pgn bikin asuransi pwndidikan. Kalo mamigesi one day sdh join, do you mind to share it with us, please? Ky yg dr company apa, knpa pilih itu and so on.. Thankyou 😊 and thankyou sdh diingatkan kembali, bkl memberanikan diri utk memulai that talk soon 😁💪

    ReplyDelete
  22. Mikir yang begini pernah, jadi menyiapkan anak-anak buat mandiri.. 😁

    ReplyDelete
  23. Mikir yang begini pernah, jadi menyiapkan anak-anak buat mandiri.. 😁

    ReplyDelete
  24. saya juga sering ngobrolin ini mbak grace, tapi tidak sampe sedetil gitu, cuma kalo aku mati kamu kawin lagi gak, hahaha

    ReplyDelete
  25. Belum bahas dan nggak berani untuk bahas karena suami pasti akan marah dan emosi. Belum kepikiran juga tapi perlu banget dipikirin dan dibahas. Thanks for sharing mama ubii

    ReplyDelete
  26. Bahasan ini agak agak gimana gitu ya ....langsung sedih...takut apa bisa kuat ngadapin semuanya sendiri..Belum pernah bahas sama suami :(

    ReplyDelete
  27. Sering malah ngebahas ginian di keluarga kami hehehe ^^

    ReplyDelete
  28. Kadang aku sering mengalami ketakutan seperti itu. Sampai berharap dipanggil lebih dulu karena takut kehilangan. Tapi mikir lagi, lantas anak2 gimana? :'D

    ReplyDelete
  29. Sungguh, dibutuhkan kedewasaan dan ketenangan berpikir untuk membahas hal yang kayak gini ya, Mbak.

    ReplyDelete
  30. Amin
    Endingnya mellow banget.. Hiks..
    Mba pernah baca buku 'berteman dengan kematian'?
    Memang kematian itu dekat...

    ReplyDelete
  31. Beberapa hari lalu, pas abis baca postingan ini, malemnya entah gimana ngebahas hal yang sama. Terus aku anaknya kan cengeng banget, hatiku rapuh sekali dengerin rencana suami kalo suatu hari aku atau dia yang 'pergi' duluan ):

    Soal ini mau nggak mau harus dibahas yah, apalagi kalo udah ada anak. Kalo aku, sih, fix bakal pulang lagi ke ortuku dan bawa anakku sekalian kalo suatu hari suami pergi duluan. Ini ngetiknya aja gemeteran, makkk hahaha!

    ReplyDelete
  32. Kalo boleh aku maunya meninggal bareng2 aja stlh anak sudah besar dan mandiri.. Hehehehe.. Abisnya klo suami yg duluan, pasti aku sedih sekali. Kehilangan anak aja sedih minta ampun, rasanya "buat apa lg hidup", apalagi kehilangan suami ya..ibarat kehilangan separuh jiwa,krn sdh mjd satu daging. Tp klo aku duluan, kasian jg suami. Pst kelimpungan ngurus anak sendiri, dan pastinya sedih jg. Tp scr khusus blm pernah ngebahas dalam soal ini. Mau coba ah bahas bareng suami. Kira2 gmn ya pandangan dia soal ini.Btw,thx mami ubii

    ReplyDelete
  33. Sudah sering bahas ini sama suami krn kami sadar ajal gak ada yg tau kpn datangnya, yg dibahas sekitar :
    1. Nikah lagi atau enggak. Kami sepakat enggak krn mikirnya gak mau ngasi ayah/ibu tiri ke anak2.. kemakan sinetron, hahaha...
    2. Nafkah anak2. Yg hidup harus kerja, anak2 nanti mungkin dititip eyang di kampung. kasian sebenarnya tapi jadi single parent di jakarta itu berat jendral..
    3. Cicilan. semua cicilan diambil a.n suami dengan asuransi lunas bila peminjam meninggal dunia.
    4. Bikin list aset dan asuransi yg bisa diklaim, jadi yg ditinggal nanti gak clueless2 amat. Atau jelek2nya kami meninggal bersama - i know, sedih bgt bayanginnya :'( , maka eyang yg akan menjadi wali dan aset ini bisa dipake uang sekolah anak2.
    Sekian :)

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^