Friday, October 26, 2018

Diari Papi Ubii #32: Habit Of The Defeatist


Saya sering cerita yah tentang gimana saya dan Adit menjaga sparks dalam pernikahan. Seperti dengan merayakan momen, ngasih surprise, dan jalan berdua. Buat saya itu penting banget karena ya pernikahan memang harus terus diupayakan. We shouldn't take it for granted.


Ngerayain momen gitu sebenernya bukan style Adit. But I got lucky. Dia mau mengusahakan dan mengakomodasi setelah saya komunikasikan. So this time, Adit nulis tentang ini dari poin of view dia yah.

Adit:
Motivation is what gets you started. Habit is what keeps you going
— Jim Ryun
Beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan untuk mencoret salah satu bucket list saya: pergi ke Jepang. Dari awal tur sampai kembali via Kansai airport, saya terus terkesima dengan negara yang pernah kena bom nuklir dua kali tersebut. Disamping suasana musim semi yang sungguh menggelitik sisi『 a e s t h e t i c 』, semuanya yang saya lihat di Jepang sangat sesuai dengan ekspektasi saya yang selama ini cuma bisa saya “intip” di karya-karya Haruki Murakami maupun manga atau anime. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di pinggir jalan dengan Asahi Super Dry di tangan saya, melihat manusia lalu lalang pulang membelah langit merah jambu, lampu neon, dan kelopak bunga sakura yang diterbangkan spring breeze. The scene was just about right. “Saya bisa tinggal disini selamanya,” pikir saya.

Baca: Japan Trip

Tapi, fantasi itu buyar saat teman saya bilang, yakeles enak soalnya saya jadi turis, di musim semi pula. Lain cerita kalau saya tinggal dan merasakan summer heatwave yang bikin ketek lengket, high level of stress which leads to high number of suicide, fakta bahwa domestic violence di Jepang sangat tinggi, patriarki yang masih ada di seluruh penjuru negeri, permainan politik di kancah media, dan masih banyak lagi ugly truths. Well, bener juga ya. Jika kita jadi turis, kita akan mengkurasi yang bagus-bagus aja untuk dilihat dan likely will deny anything ugly. Udah bayar mahal gitu lho.

Baca: Plus Minus Liburan Ke Jepang Pakai Tour

Namun, dari semua goods and bads, saya masih angkat topi dengan mentalitas orang Jepang yang menjunjung tinggi disiplin dan kebersihan. Sepanjang apapun ada antrian, cutting line di Jepang digolongkan sebagai najis mughallazhah. Lalu, fakta bahwa Jepang adalah negara dengan populasi ateis tinggi kayaknya perlu dicek ulang ya. Soalnya kebersihan kan sebagian dari iman. Lha ini Jepang bersih banget! It means orang Jepang beriman semua dong LOL! Lain cerita sama Indonesia yang katanya penduduknya agamis dan beriman. Buang sampah pada tempatnya atau mengantre aja nggak becus.


Baca: Perilaku-Perilaku Ajaib, Jangan Dilakukan Ya Gengs

It’s all about habit. Kebanyakan orang Jepang punya certain way of life yang namanya ikigai. Kurang lebih kayak gini:
A combination of the Japanese words ‘iki’ (生き), which translates to ‘life,’ and ‘gai’ (甲斐), which is used to describe value or worth, ikigai is all about finding joy in life through purpose. In other words, your ikigai is what gets you up every morning and keeps you going.
It’s all about doing what you love and make you happy.

---

Kenapa saya tiba-tiba menulis soal habit? Reflecting dengan kehidupan saya sendiri, beberapa waktu lalu saya merasa pernikahan saya dengan Grace “datar.” Well, we are happy. Tapi that’s it. Akur, tapi nggak ada suspense. Is it alright? I really don’t know. Do I like it? No. Not at all. Karena, pas awal kami menikah, we were super excited. We treated each other nicely. We embraced the moment. We gave each other small surprises — walaupun nilai nominalnya nggak seberapa, but it successfully made me happy.

Baca: Thanks For Doing These Things, Adit

Mengutip blog kesehatan Hellosehat, katanya kebiasaan akan terbentuk setelah Anda belajar hal baru. Proses tersebut melibatkan ganglia basal, atau bagian dari otak yang terletak di korteks prefrontal, yang bekerja untuk memulai gerakan dan mengendalikan emosi. Kemudian, akan muncul isyarat yang memberi sinyal ke otak Anda untuk mengubah perilaku tersebut menjadi rutinitas otomatis. Saat itu kami mungkin sedang excited menjalani hidup sebagai pasangan. Karena apa yang kami terima atau kami beri satu sama lain sangatlah menyenangkan, secara tidak sadar kami treat each other nicely as habit.

Contohnya, saat saya masih bekerja di Jogja, tiap kali pulang kerja saya selalu menyempatkan diri memarkir motor matic saya ke pasar dekat rumah untuk membeli tahu crispy. Saya membawanya pulang, lalu kami makan bersama. Walaupun sangat sederhana, the scene was so heartwarming. Itu cuma tahu crispy ya, tapi wajah Grace yang membuncah saat mengetahui saya membawa beberapa dari pasar, was so priceless. Terus ada lagi — kembali ke 5 tahun lalu saat saya berulang tahun yang ke 27. Grace memberi saya kado sebanyak 27 buah mulai dari buku, kaos, makanan kecil favorit saya, kue ulang tahun, dan masih banyak lagi. Total nominalnya kalah jauh dengan kado-kado ulang tahun terdahulu yang pernah diberikan oleh mantan-mantan maupun orang tua saya, but seriously, those 27 trivial stuffs from Grace was the best gift ever. Saya tidak akan pernah melupakannya seumur hidup.

Lalu, entah mulai sejak kapan, we just stopped. Mungkin seperti yang Grace pernah bilang dalam blog atau IG story dia, saya lupa — saya dan Grace sudah sama-sama pewe sebagai partner hidup, sebagai kawan, sehingga kami lupa bagaimana treat satu sama lain sebagai couple.

Baca: Kenapa Berhenti Romantis?

Thus, the loving habit disappeared.


Butuh “gesekan” yang kurang menyenangkan untuk menyadari hal ini — frekuensi kami berantem makin sering, dan sebaliknya, jarang sekali kami bersikap manis satu sama lain on purpose. Kami serasa terjebak dalam rutinitas sebagai pasangan hidup, alih-alih sebagai pasangan suami istri. We just survive, but don’t feel much alive.

Satu hari, sehabis saya pulang dari Myanmar dalam rangka tugas kantor, dan Grace juga habis pulang dari Indonesia timur, kami berantem gede. Bukan masalahnya yang besar, namun reaksi kami menyikapi hal kecil yang lebay dan dipanjang-panjangin — gara-gara sama-sama capek. The fight was ugly and cringeworthy. Saat kesabaran saya sudah di ambang batas, Grace tau-tau meluk dari belakang sambil nangis, and said, “Kita dulu nggak kayak gini, lho.”

Baca: Bertengkar Karena Capek

Saya kemudian memutar balik memori, dimana emang dari sononya kami sering banget berantem, tapi cepet baikan juga. And in every reconciliation we hugged for a long time. That was our habit. Saya sampai lupa kapan terakhir kali saya inisiatif duluan memeluk Grace when she needs it the most.

I took everything for granted. Mungkin inilah sebab utama kenapa kami (well, saya) berhenti untuk bersikap manis kepada pasangan.

Kemudian, kami mencoba untuk memulai treat each other nicely. Haha… Jangan bayangin kami sekarang sudah live happily ever after yha. Berantemnya masih sering kok. We are not perfect. But we are trying.

Mulai dari membelikan barang yang sekiranya trivial tapi dibutuhkan Grace, seperti botol minum kecil yang sungguh unyu yang saya lihat di Miniso minggu lalu, karena saya tahu Grace akhir-akhir ini sering ngegym. Lumayan kan biar nggak dehidrasi. Harganya cuma 30 ribu. Sebelum ini, nggak mungkin saya membelikan (even ngelirik) hal-hal kecil kayak gini. But then I bought the bottle anyway. Surprisingly, it made Grace very happy. Ada pula, saya sekarang rajin cari masker wajah. Untuk apa? Ya untuk dipakai berdua. Malas-malasan di rumah sambil maskeran. Lalu, saya dan Grace sekarang berusaha untuk beli little surprise untuk diberikan saat saya pulang ke Jogja setiap minggu. What the hell was that? Mungkin Adit yang dulu bakal ngerasa jijik ngelihatnya — melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan duniaku. But I do it anyway. Because I know, Grace loves it.


Mungkin itu ya esensi dari pernikahan. Melakukan sesuatu yang menantang egomu, demi kebahagiaan pasangan — yang eventually akan membuatmu bahagia juga.

To sum up, happiness may be seen in just around the corner. But, actually it is right under your feet if you’re willing to see it, and if you’re working on it. Kebahagiaan ada di setiap kepedulianmu nanya pasangan “sudah makan apa belum?”, ada di setiap sapaan “selamat pagi”mu yang diikuti dengan kecupan di dahi, ada di setiap tawaran pijat kaki setiap malam.

Jadikanlah membahagiakan pasangan sebagai habit. Don’t take everything for granted.

Loving Grace is what motivates me. Her happiness is what keeps me going. She, in fact, is my ikigai.

Tabik.



Grace:

Cuman mau nambah dikit doang, menekankan satu poin ini:

Apa yang saya dan Adit lakukan seperti kasih surprise satu sama lain, maskeran bareng, dan ngerayain momen itu karena kami berdua menganggap kegiatan-kegiatan tersebut bisa menjaga sparks and happiness dalam pernikahan kami, ya. Dan, karena memang saya anaknya suka yang receh-receh begitu.

Cara menjaga sparks dan style atau kebutuhan tiap pasangan bisa jadi beraneka ragam. Jadi kalau kamu dan pasangan tidak melakukan hal itu, nggak apa-apa banget lho ya. Jangan lantas jadi merasa, "Kok suamiku ga gitu sih huhuhu" padahal sebelumnya kamu ngerasa fine-fine aja sama hubungan pernikahan kamu.

This is just me and Adit sharing what we do with our personal style. Sama sekali bukan patokan harus jadi seperti ini juga.


All in all, everyone is different. Jadi style ngungkapin rasa, menjaga kehangatan, dan mengupayakan bahagia juga pasti beda-beda.

One general this is just let's always work on our marriage.



Luv,






11 comments:

  1. Thanx tulisanya Adit :-) Suka bacanya....

    ReplyDelete
  2. Karena salah satu esensi pernikahan adalah bagaimana dua insan berjuang melawan rasa bosan :D

    ReplyDelete
  3. Pas banget tulisannya lagi butuh sparks di hubungan kami

    ReplyDelete
  4. Oke fix
    Kalau punya anak cowok lagi, nama tengahnya bakalan IKIGAI
    Biar rada berbobot kalau sy ditanya arti namanya apa sm rangorang...
    Maaf out of topic. Hihihi

    Makasih Adit n Gesi udh cerita...

    Jadi, kalau perlu sy bakal goyang syantik di depan paksu biar nada2 cinta ini tetap terjaga. Halah ����

    Betul banget Dit, Ges,
    Hal2 kecil cam cium kening, pelukan singkat, bilang i love you, terimakasih itu penting banget..

    Sy jd ingat teman, secara usia sih lebih tua dan anak mereka udh 4.. Tetapi spark of love nya itu masih keliatan bgt, dan yg bikin iri adalah sexlife mereka lebih hot ketimbang kami2 yg muda ini (kalau urusan gini aja ngaku muda, giliran olah raga alesan nafas udh gak nyampe.. Udh tua..��)

    Moga2 ybs gak baca Ya Allah,
    Siapapun yg baca komen sy dan bisa mengenali siapa teman yg sy tulis itu, plisss.. Jgn bilang2 yaaak ��

    Nah kaan, tengah malam scroll blog gesi itu berfaedah bgt...
    Sekarang sy udh punya ide nama anak cowok dan hadiah ultah paksu.

    ReplyDelete
  5. Kalau sudah dikomunikasikan tapi pasangannya tetep ngga mau mengusahakan gimana mba grace?
    Padahal aku sangat butuh sparks of love.

    ReplyDelete
  6. Dit.. temenan sama suamiku please =D
    kadang laki-laki tuh gak mau open mindset dengan hal kecil itu, minta cium jidat istrinya dibilang alay, hadehh -,-

    ReplyDelete
  7. Baruuu sekali mampir blog ini. kereeen. tks sharring nya yaa :)

    salam,
    www.ennyratnawati.com

    ReplyDelete
  8. Makasih mbak grace. Blog selalu jadi penenang hati aku di tiap hal dari sebelum nikah sampai udah punya anak special 😘😘😘😘
    semoga selalu bisa menginspirasi banyak orang 😘😘😇😇

    ReplyDelete
  9. You give me a choice to getting another sparks in my relationship.. Tulisan adait berbonotnya selalu lebih, ya ampun ilmunya adit lyas tenan rek..

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^