Friday, June 8, 2018

Diari Papi Ubii #30: Anak Sehat Itu Nganu ― Balada Adit X Aiden

Memiliki Ubii dengan kebutuhan khusus, rutinitas terapi serta obat kemudian memiliki Aiden yang, puji syukur, sehat pada umumnya memang rasanya bersyukur. Banyak hal baru yang saya dan Adit rasakan. 


Tapi, ini tidak selalu mudah. Somehow saya dan Adit sudah terbiasa dealing with Ubii yang pasif dan nggak bisa protes terang-terangan. Mendapati Aiden dengan tingkah polah aktif rasanya jadi kaget. "Kok ternyata 'sulit' begini ya?" Terutama untuk Adit yang memang sejak awal 2016 hanya ketemu Aiden dua hari dalam seminggu.

Di Diari Papi Ubii #30 ini, Adit akan cerita tentang adaptasinya punya Aiden yaa.

Adit:
Chains of habit are too light to be felt until they are too heavy to be broken — Warren Buffett

Anak saya yang pertama, Aubrey, berkebutuhan khusus karena terinfeksi virus Rubella semasa dia berada di kandungan Maminya. Berdampak pada tumbuh kembangnya sampai sekarang. Mulai dari pendengaran, kelainan jantung, gangguan motorik, sampai kemampuan kognitifnya. Kompleks deh. Dari kecil memang dia sangat bergantung pada orang lain. Bagaimana tidak? Badannya kaku, otomatis mobilitasnya terbatas. Pun, karena keterbatasan kemampuan pendengarannya, Aubrey belum mampu untuk berkomunikasi. Sedih atau senang hanya tersampaikan lewat tangis dan tawa, tidak lebih.

Baca: Diari Rubella #3 — Kecurigaan

Maka dari itu, sedikit banyak saya lebih mudah memahami Ubii. Ya soalnya pilihannya cuma dua itu: sedih atau senang. Tantangan komunikasinya pun jadinya simple: kadang kalau dia nangis, pasti ada sesuatu yang dia pengen tapi ngga bisa dapetin. Ya udah, kita jembreng aja kemungkinan-kemungkinan yang kiranya meets her expectation. Kalo dia ketawa, ya kami kadang juga ikut ketawa — walau kadang kami ngga tau dia ngetawain apaan. Itu aja tantangannya soal komunikasi sama Ubii.


Yang kerasa lebih menantang malah secara fisik. Makin hari Ubii makin gembrot, dan otomatis makin berat. Sekarang aja beratnya udah 15 kg. Dia kadang merangkak ke tempat yang seharusnya nggak dia datengin, tanpa mengerti bahayanya. Maka dari itu, kami sering sekali mondar-mandir ngangkat Ubii dari point A ke point B. Over and over again. Karena ya kasihan juga kalau dikurung di kamar melulu. Oh satu lagi, tantangan datang saat dia poop. Lebih ke phisically challenging karena harus angkat-angkat. But then I consider the activity as a workout. Case closed.

Baca: Toilet Penyandang Cacat, Penting Kah?

Lalu muncullah Aiden, adiknya Ubii. Aiden ini sehat. Rasa ingin tahunya pun sangat tinggi. Dan yang paling penting, dia bisa berkomunikasi sesuai dengan umurnya. Which means, di usia dia yang hampir 3 tahun ini, dia sudah bisa tanya secara merepet. Dia sudah bisa memperlihatkan “the thirst of attention” — dia merasa Maminya hanya miliknya seorang, Papinya nggak boleh peluk-peluk apalagi cium-cium Maminya. Dan yang mengejutkan bagi saya, Aiden sudah bisa berargumen dan bikin statement either dia suka sama sesuatu atau enggak. Beda banget sama Ubii yang kalau habis mandi dan dipakaikan baju, doi nggak pernah protes atas pilihan baju saya. On the other hand, Aiden sangat picky kalau soal fashion. Dia maunya cuma pakai baju-baju yang dia suka. Kalau dia ngga suka dengan pilihan baju saya, ya harus dicari sampai bongkar lemari buat nemu yang pas buat dia. Mungkin ini hal sepele ya. But, this is a brand new experience for me.

Baca: Drama Pilih Baju Masih Berlanjut

Ketidakbiasaan saya menghadapi bocah yang bisa jawab balik gini membuahkan friksi. Contoh saja, beberapa waktu lalu lalu saya habis ada perjalanan dinas ke luar negeri selama seminggu. Ekspektasi saya saat pulang ke Jogja adalah: saya bisa santai-santai menghabiskan waktu bersama anak, dan bisa manja-manjaan sama Grace. Tapi apa yang terjadi? Capek-capek sampe Jogja jam 11 malam, saya buka kamar berharap disambut dengan pelukan dan ciuman, eeh malah kedapetan Aiden baru ngelilir bangun terus ngusir saya dari kasur sambil teriak, “NGGAK BOLEH GANGGU AIDEN!” I was like, whoa chill dude.


Paginya, Aiden mogok makan, susah banget diajak mandi, maunya nonton YouTube terus di hape, minta minuman manis dengan setengah maksa lalu ditumpahkan ke lantai, mana sekarang baru fase suka mukul apapun atau siapapun yang stand against his way, termasuk saya — rewelnya setengah mati. Saya frustrasi dibuatnya. I’ve never experienced this overwhelming feeling before. Mungkin ya, karena masih kebawa capek, keadaan tidak sesuai dengan ekspektasi, ditambah rasa gondok, dan saat itu nanny emang baru pulang so Grace and I had to do additional chores at once, saya jadi ikut uring-uringan.

Ada satu titik dimana saya teriak balik ke Aiden, lalu dibalas dengan tangis doi yang terdengar sangat annoying. Dan ini terjadi berulang-ulang kali. Frekuensi nangis Aiden meningkat, berbanding lurus dengan frekuensi marah-marah saya. Pas udah agak ademan, saya bilang ke Grace, “Aiden kok nakal ya?” Yes, saya pakai diksi “nakal” karena saya bingung harus nyebut apa. Dulu sama Ubii nggak gini soalnya. Ubii anteng, nggak pernah komplain kalau disuapin atau dimandikan, ngga pernah marah kalau saya baru gemes terus pengen endus-endus pipinya. Lah ini, punya anak sehat kok malah bikin makan ati?

Baca: Temper Tantrum Aiden, 2 Tahun

Nggak tahu Grace kesambit apa pas itu, biasanya kalo saya marah-marah, dia juga ikutan marah. Fight fire with fire gitu. Tapi kali ini enggak. Dengan kalemnya dia highlighting positive side-nya Aiden yang jarang (atau tidak bisa) ditunjukkan. Grace bilang, Aiden itu look up to me banget. Tiap malam kalau saya di Jakarta, Aiden sering banget tidur di sisi kasur dimana biasanya saya tidur, elus-elus bantal seraya bilang, “Ini bantalnya Papi. Aiden kangen Papi.” Terus Grace juga cerita bagaimana antusiasnya Aiden kalau pakai baju yang bisa kembaran sama saya...

I was stunned. Then Grace said, “Kalian itu jarang banget ketemu, lho. Akur gitu napa? Kamu pernah cerita lho kamu dulu benci banget sering ditinggal Papamu ke luar kota. Nah sekarang kamu sendiri ada di posisi itu. Ini ketemu sama Aiden cuma 2 hari dalam seminggu. Please be nice.”


Oh my fucking god. What I have done?

Sepertinya, alam bawah sadar saya belum siap punya anak yang sehat. The chain of habit yang diciptakan sama Ubii selama ini bener-bener membawa saya ke ekspektasi bahwa Aiden juga harus begini harus begitu. I was wrong. Then I thought, it’s funny how my definition of “normal” has been shifted gara-gara punya anak berkebutuhan khusus. Saya nggak pernah berpikir kalau Aiden baru “nakal” itu mungkin bentuk dia ringing a bell for my attention. Atau mungkin dia memang baru mengalami fase memukul. Atau entahlah. Yang jelas, Aiden didn’t deserve my yelling. Aiden was just being “normal kiddo” — or whatever society’s definition of normal is. 

Saya kemudian masuk kamar, mendapati Aiden yang masih sesenggukan. It broke my heart. Lalu saya ajak dia ngomong eye-level. Saya minta maaf. Nggak mikir panjang, Aiden langsung maafin saya. Lalu kami berpelukan lama.

Kejadian ini membuat saya sadar bahwa selama ini saya lebih lean into Ubii — tiap pulang ke Jogja selalu Ubii yang lebih dulu saya cari. Tidur pun saya seringnya sama Ubii. Saat Facetime sama Grace, saya selalu minta Grace untuk mengarahkan kameranya ke Ubii lebih sering. Memang, faktor saya lebih lama menghabiskan waktu dengan Ubii dulu bisa jadi justifikasi. Tapi kasus saya lebih ke tidak bisa membedakan perlakuan antara anak sehat dengan anak berkebutuhan khusus. Saya nyadar setiap anak itu berbeda-beda. Anak yang sehat aja beda satu sama lain. Lha ini ada salah satu yang berkebutuhan khusus. Kemampuan fisik, bersosialisasi, dan berkomunikasi Aiden sangat jauh berbeda dengan kakaknya. I should have been aware of it. But then I was thinking, perbedaan itu sama sekali nggak menunjukkan bahwa salah satu anak patut disayang lebih dari yang lain. Lebih “terbiasa” dengan Ubii nggak bisa menjustifikasi bahwa saya harus lebih sayang sama dia. Aiden deserves love, and more importantly, he deserves to be understood as well. Damn, ternyata bersikap adil itu susah. Hahaha.


But at the end of the day, saya meyakinkan diri saya sendiri: if I could conquer special-need kid seperti Ubii, then conquering Aiden’s heart should be a piece of cake, no? :)


Tabik!



Grace:

Saya lebih gampang 'sayang' dan 'tahan' sama kecerewetan Aiden mungkin karena tiap hari ketemu ya. Jadi, ketika Adit belum terbiasa dan menjadi cepet naik darah hanya karena Aiden merepet, saya bisa ngerti. Sungguh. Karena memang feelnya beda menghadapi anak yang pasif seperti Ubii dan yang super aktif seperti Aiden.

Well, dealing with Ubii juga ada challenge nya sih. Ada fase sulitnya juga. Tapi tantangannya itu beda. Menghadapi anak cerewet yang bisa protes itu memang jadi lebih gampang mendidih rasanya karena sebelumnya kami nggak pernah diprotesin kan sama Ubii.

Nonetheless, sebenernya adanya Aiden ini menghibur banget. Pengalaman baru kan nyanyi bareng sama anak, jalan bergandengan sama anak, dibangunin dari tidur karena anak masih minta dinyanyiin lagu Tayo. It is beautiful.

Baca: Pelajaran Berharga Dari Tayo The Little Bus


Dan, ya, Aiden itu entah kenapa kalo ada Adit jadi suka rese ke Adit. Kayak gampang banget annoyed padahal Adit juga nggak gangguin yang gimana-gimana. Some other time, annoyed nya Aiden ke Adit itu karena Adit belum hafal habitnya Aiden. Misal tentang kursi di meja makan. Aiden kalau duduk maunya di kursi yang itu terus, harus di kursi itu. Lalu Adit dengan santainya duduk di situ, well it used to be Adit's chair sih. Ya Aiden minta Adit pindah ke kursi lain.

Sebenernya, buat saya, yang begini-begini tuh biasa banget. Masih ada kursi lain, Adit tinggal pindah. Mereka bisa sama-sama duduk di kursi dan makan bersama dengan damai. Habis perkara. On Adit's side, dia butuh waktu untuk bisa mencerna hal ini. Buat Adit, aduh kenapa sih Aiden ngotot HARUS duduknya di kursi itu sampai merepet padahal ada kursi lain. Boys oh boys.

Kerasa sayang kalau sedang jauh itu berlaku juga buat anak kecil, apa ya? Soalnya Aiden sering menunjukkan dia sayang sama Papi nya itu kalau Adit di Jakarta. Beneran loh, tiap malam Aiden suka nunjuk foto Adit, nunjuk bantal Adit, dan bilang kangen. Sebelum bobo, biasanya saya bilang Mami sayang Aiden terus nanya balik, "Aiden sayang Mami juga nggak?" Dan Aiden akan jawab sayang Papi Adit juga selain sayang Mami Ges.


Herannya kalo ketemu, mereka berdua berantem mulu astaga, pening kepala Barbie! Padahal kalo lagi rukun, mereka berdua bisa sweet banget loh.

Besok bakal lama di Jakarta dari tanggal 10 sampai 22 Juni. Semoga kedua laki-laki saya ini get along dengan lebih baik di Jakarta.

Baca: Libur Lebaran Tanpa Asisten, Bisaaa!

Baca: Yang Nggak Boleh Ketinggalan Saat Liburan Ke Luar Kota

Ada request untuk Diari Papi Ubii selanjutnya? Tulis di komen yaaa.

Have a nice Friday, gengs!




Love,






9 comments:

  1. Wuhuuuuuu sweet banget babget bangett ya ka ges klo lagi baean bgitu..klo dket ribut klo jauh kangen, ugh macem pacaran aeee hahaha

    ReplyDelete
  2. Kayak daddy sama Yash.
    Tengkar mulu.
    Padahal kl bngun tidur ato cidera, yash selalu panggil daddy nya. Dasar anak cowok.

    Request, pandangan adit tentang nikah beda kasta dan urusan mertua dong.

    ReplyDelete
  3. Lucu juga ya, Hamzah msh kecil sih blm tw nanti sm abinya kyk apa riwehnya :D

    ReplyDelete
  4. Haha aku bacanya senyum-senyum sendiri, kenapa lucu banget berantemnya ayah sama anak. '-' Sama-sama sayang, tapi kalau ketemu berantem hehe.

    ReplyDelete
  5. Makasih ya, Mami Ubii...

    Tadinya aku sering bingung nyari diksi yang tepat untuk menyebut "anak yang tidak berkebutuhan khusus", soalnya kalo setiap kali harus nulis "anak yang tidak berkebutuhan khusus" kan panjang banget.

    Dari tulisan Adit ini, aku jadi ngerti bahwa diksi yang tepat untuk "anak yang tidak berkebutuhan khusus" adalah "anak sehat".

    Thank youu

    ReplyDelete
  6. Gesi lebaran di jkt?? Kalo ada waktu ketemuan yuuuk.

    Kalo ttg aiden, ini sbnrnya aku mau ketawa baca yg ditulis adit, krn sbnrnya bobsky pun mirip2 dikit seperti itu hahahaha.. Tapi ada bedanya. Dia itu lengketnya ama aku, yg menganggab mami cuma milikku seorang jadi jangan sentuh mami :p . Kalo tidur, hrs nempel aku, giliran wkt aku sakit, dan hrs tidur di kamar sebelah supaya ga nularin, otomatis papinya ngajakin dia tidur ama papi dan mbak fylly. Ngamuk dong anaknya hahahahah. Tp akhirnya bisa reda pas papinya janjiin main kuda2an :p. Jd si raka dan bobsky itu baru bisa akur pas raka janjiin sesuatu yg jd kesukaan dia. Nth main perosotan, main kuda2an, ngajakin naik motor kliling komplek :p. Di luar itu, mereka seringnya ribut yg sbnrnya kalo diliat malah lucu hihihi.. Dan aku keseringan belain bobsky kalo si papi mulai isengin.

    Aku anggab aja, anak cowo memang wajar lengket ke ibu, dan anak cewe lbh ke papinya. Fylly itu soalnya amat sngt lengket ama raka.

    ReplyDelete
  7. ini sama bgt kaya suamik dan anak lakik aku juga, kalo papa nya lembur plg malem dicariin sampe segala harus video call.. kalo weekend seharian bareng ada ajaaa yg di berantemin deuhhh
    kak ges liburan di jakarta bikin gathering doongggggg

    ReplyDelete
  8. "Aiden merepet" ngakak bayanginnya. Emang kadang tingkah gemes anak bikin naik darah, emang kudu sering diademin pakek tambahan duit belanja dari suamk, wkwk. Sehat-sehat terus ya Aiden, Ubi, mami dan papinya juga. (:

    ReplyDelete
  9. Kadang emang gitu ya suka dukanya punya anak sehat, plus aktif. Tingkah polah mereka bisa ngeselin tapi sekaligus ngangenin.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^