Sunday, February 16, 2014

Suka(SAMA)Suka

Belakangan ini, tepatnya setelah punya Ubii, saya getol nulis tentang parenting, TORCH, dan Rumah Ramah Rubella. Jadi amnesia kelas berat kalau dulu saya suka menulis fiksi (nggak jelas itu cerpen, puisi, atau apa, err). Mendadak kangen nulis begituan. Sekarang sudah hampir nggak bisa nulis yang kayak gitu. Mari kita mulai lagii. Trekdungjes!

Ini tulisan saya dulu, kali aja ada yang mau baca-baca tulisan saya waktu masih single and happy and free and crazy and silly and lain-lain. Hahaha.

***

Rabu, 26 Mei 2011, di situ

Kami duduk. Menunggu dilayani. Menunggu menu diberi. Menunggu untuk memesan kopi. Dan seorang pelayan datang. Wajahnya bersinar. Wajahnya rupawan.  Saya tercengang. Pelayan itu menyodorkan menu. Saya hanya diam membisu. Bingung, antara ingin memesan kopi atau si pelayan itu.

Tersadar oleh colekan kawan, saya pun segera mengambil menu. Memesan kopi. Walau dalam hati saya ingin memesan pelayan itu.

Pelayan itu lalu pergi. Membuat kopi. Saya duduk menanti. Menanti kopi.. dan pelayan itu untuk menyuguhkan kopi. Dan semoga senyum manisnya sekali lagi.

Akhirnya ia datang lagi dengan membawa kopi kami. Akhirnya ia datang membawa alasan mengapa saya harus dagdigdug tak karuan.

Saya tersenyum, berusaha supaya ia punya alasan untu tersenyum. Dan ia pun tersenyum. Manis sekali. Saya makin kalang kabut. Hati ini makin ribut. Saya pun serta merta yakin bahwa saya akan punya alasan untuk kembali ke sini lagi dan lagi esok hari.

Sahabat mengajak berbincang. Sahabat menyodorkan topik menarik untuk diperbincangkan. Ah, mau perbincangan macam apa? Saya kehabisan kata dan energi untuk sebuah perbincangan. Semua indera saya terpusat pada si pelayan itu. Saya tak ingin berbincang. Saya tak mau ada perbincangan di sela minum kopi. Saya hanya mau menikmati. Menikmati bayangan si pelayan itu sibuk ke sana dan ke mari. Menikmati sosok si pelayan saat membawa buku menu untuk pengunjung lain yang mau minum kopi. Menikmati setiap gerak yang dilenggangkan si pelayan kedai kopi ini.

Pengunjung lain berdatangan. Si pelayan mondar-mandir menawarkan menu. Ah semoga ia tak menawarkan dirinya. Karena jika ia sampai membuka harga atas dirinya, saya yang akan dan harus jadi pembelinya. Syukurlah. Tampaknya ia tak menawarkan yang lain selain kopi.

Sudah jam dua-belasan. Sahabat sudah letih dan minta pulang. Saya tak mau pulang. Saya ingin menunggu si pelayan keluar. Saya ingin ada perbincangan dengan si pelayan, walau sebentar. Akhirnya! Ia datang, membawa bill dan.. dirinya.. dan senyumnya.. dan sorot matanya. Saya terpana untuk yang kesekian kalinya. Berharap bahwa diri, senyum, dan matanya mampu menjadi hak milik saya sepenuhnya.

Akhirnya perbincangan kecil dimulai. Saya yang mulai. Saya mau tanya siapa namanya. Itu saja. Saya ingin terlihat sedikit menahan diri di pertemuan kali pertama. Dan si pelayan pun menjawab tanya saya, sekaligus mengejutkan saya. Membuat remuk hati dan logika saya.

Ternyata, ia perempuan! Sama seperti saya.

Dan, oh, namanya Debby.

***

Sebenarnya ini sudah pernah saya published di blog ini. Tapi barusan saya perbaiki dikit-dikit. Hehehe. Wah, susah ternyata. Bener-bener udah ngawang bikin beginian. Hiks. Nggak kepikiran judul yang lain. Auk deh, sepertinya ini nggak pas judulnya. Yang mau kasih masukan, komentar, atau tutorial bikin fiksi, ayok ayok, saya tunggu yaaa. :D

Credit

16 comments:

  1. :D Lucu Mak :D
    Bisa dikembangkan lagi tapi ini, ditambah dialog mungkin. Karena bacanya, kayak baca sinopsis ketimbang baca cerita. Oiya, bener-bener baca cerita sih, bukannya menjadi "saksi" dalam ceritamu :D

    Keep writing.

    ReplyDelete
  2. Wah, ternyata nge-twist! Ikutan prompt MFF, sik. :p

    Setuju sama Mak Carra. Dan tambahan dari aku, di ceritanya ini kebanyakan kalimat pendek. Bukan kebanyakan lagi, malah semuanya pake kalimat pendek. Aku suka penggunaan kalimat pendek, tapi untuk menekankan. Kalau semua cerita ditulis dengan kliamt pendek begini, maaf, kayak lagi denger anakku si I'am ngomong pake bahasa Indonesia: terbata-bata. :D :D :D Coba lagi diedit2 mana yang nggak perlu pake kalimat pendek.

    Makasih. ^_^

    ReplyDelete
  3. Oh ya satu lagi. Judulnya kayakna kurang nyambung, menurutku. :))))

    ReplyDelete
  4. @Mak Carra: Oh ya bener, tambah dialog ya. Kelemahanku di situ tuh, Mak, gawe dialog. Okeh belajar belajar, makaciw yes :D

    @Mak Isti: Noted sarannya, Mak. Panjangin kalimat yak. Sip sip. Duh, malu, jadi kayak Mas I'am yak hahahaha. Judul yg pas apa Mak menurut Mak Isti? *malah nanya sisan* hahahaha

    ReplyDelete
  5. Maakk, serasa baca pantun karena berima. Tapi saya suka siy, hehehe...
    Salam kenal yaaa.....

    ReplyDelete
  6. haha...setuju mak Carra...usul nih jeruknya jeruk suka jeruk...

    ReplyDelete
  7. Aku malah suka fiksi stacatto macam begini. bikin ngos ngosan tapi asyik :D

    ReplyDelete
  8. dari tulisan-tulisan ini setidaknya membantu orang tua yang mempunyai masalha sama ya, saling berbagi

    ReplyDelete
  9. @Mak Ningrum: Eh, jadi kayak pantun yak? Hahaha. Harus belajar lagi nih. Iyak, salam kenal juga Mak :* Mana blognya? Nanti aku gantian mampir :))

    @Mak Ida: Ntar dikira ngiklan Nutrisari lagi ekeh :p

    @Ketipung: Alih-alih membaca seperti ini, saya sarankan kamu membaca tugas akhirmu, nak. Bahaha. Seneng banget dah ngebully Ketipung LOL

    @Mak Lidya: Eh, syukurlah kl ada yg bisa liat ini bisa berbagi hihihi :*

    ReplyDelete
  10. Pilihan diksinya bener bener dipaksa berirama ya. Jadi kalau menurutku kurang cair ihir. Tapi bagus kok.

    ReplyDelete
  11. Hehe, keliatan banget ya maksanya? Gimana sih Mbak cara bikin dialog? Kok susah ya. Ihiks~

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^