Tuesday, January 7, 2014

'Bersyukur Buah Hatiku Masih Bisa Melihat Dunia' di Tabloid Wanita Indonesia

Credit

Blog post kali ini masih berlabel #GraceOnMedia. Ini cerita saya di media yang terakhir sampai saat ini. Tapi semoga suatu saat dapat kesempatan lagi. AMIN. :)

Kemunculan saya di Tabloid Wanita Indonesia ini lagi-lagi diawali dengan hadirnya saya di Press Briefing #TitikBalik Manulife. Puji Tuhan. Event yang menyenangkan tersebut membuka banyak pintu untuk saya; bisa masuk di beberapa media, jalan-jalan di Mall besar Jakarta, dan berkenalan dengan banyak kawan baru yang hebat-hebat. Saya datang ke acara tersebut padahal hanya ingin memenuhi undangan dan ingin menceritakan Rumah Ramah Rubella. Sungguh, ini adalah berkat yang luar biasa besar di tahun 2013. Terimakasih Tuhan.

Mbak Riana, reporter Tabloid Wanita Indonesia yang menulis cerita tentang saya ini, mewawancarai saya via telepon. Pembicaraan kami santai. Banyak tawa dan canda yang menemani perbincangan kami. Mbak Riana juga terbilang well-prepared. Buktinya, ia menyodorkan banyak pertanyaan yang bagus dan informatif. Mbak Riana mengetik jawaban saya sambil berbicara di telepon. She's one multitasking girl, I suppose. :) Mbak Riana juga mengulas cerita saya dengan lengkap; mulai dari awal perjalanan saya, awal penerimaan saya terhadap kondisi Ubii, dan yang terpenting, tentang Rumah Ramah Rubella. Hal terakhir ini lah yang paling saya tunggu-tunggu. Semoga Rumah Ramah Rubella bisa menggandeng lebih banyak lagi orangtua untuk berbagi bersama. Semoga para orangtua yang merasa sendiri dan bingung atas kondisi buah hatinya bisa menemukan komunitas ini karena mereka butuh dukungan. Namun, ada beberapa hal yang perlu dikoreksi. Di Tabloid Wanita Indonesia disebutkan bahwa saya sudah tahu kondisi Ubii sejak ia masih berada dalam kandungan. Sebenarnya nggak begitu. Saya baru mengetahui dengan pasti bahwa Ubii terkena Congenital Rubella Syndrome saat ia sudah berusia 5 bulan. But it's okay. Humans make mistakes, don't they? :)

Mimpi apa saya melihat cerita tentang saya ditampilkan di dua halaman penuh? Ya Tuhan, rasanya sungguh luar biasa. Bercampur aduk antara senang, nggak percaya, speechless, terharu, dan bangga pada diri sendiri. Bangga yang saya rasakan bukan bermaksud sombong. Sungguh. Saya bangga karena ternyata saya bisa bangkit dari keterpurukan atas kondisi Ubii. Tentunya itu semua nggak lepas dari dukungan banyak pihak; orangtua, mertua, saudara, om, tante, dosen, dan teman-teman, baik secara moril mau pun materiil. Nggak mungkin saya bisa sekuat ini dan dikisahkan dalam rubrik Kisah Sejati di Tabloid Wanita Indonesia tanpa adanya support dari mereka semua.

Saya ingin menuliskan cerita saya dalam rubrik Kisah Sejati di Tabloid Wanita Indonesia yang terbit tanggal 19 Desember 2013 itu di sini. Siapa tau ada yang penasaran dan sudah nggak bisa nemu di agen koran lagi. Hehehe. So, this is it, 'Bersyukur Buah Hatiku Masih Bisa Melihat Dunia' dalam Tabloid Wanita Indonesia.
Note: Nama lengkap saya yang salah, saya betulkan.

***

Kehamilan sering dianggap sebagai momen yang menjadikan seorang wnaita sempurna sebagai wanita. Begitu pun yang dirasakan Grace. Hingga kemudian dia berubah marah pada Tuhan saat buah hatinya divonis mengidap Congenital Rubella Syndrome (CRS) yang membuat putri cantiknya mengalami kebocoran jantung dan terganggu pendengarannya. Namun kemudian ia sadar, Tuhan pasti punya rencana yang indah dibalik setiap musibah. Dengan keyakinan itu ia mendirikan Rumah Ramah Rubella.

Kini, wnaita cantik itu sudah bisa tersenyum tulus menghadapi liku hidupnya. Ia memandang semua dengan kacamata keindahan. Itulah yang terpancar jelas di wajah putihnya saat menjumpai WI awal Desember lalu. Senyum tulusnya terpancar saat menyambut dengan sapaan ramahnya.

Selanjutnya dengan suara lembutnya Grace membagi kisah hidupnya.

MENJALANI BAHTERA RUMAH TANGGA DI USIA BELIA

Perkenalkan, namaku Grace Melia Kristanto, biasa disapa Grace. Usiaku kini 24 tahun. Saat kuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, aku sudah sering membayangkan, jika lulus kelak, aku ingin meniti karier di tempat yang keren. Puji syukur setelah lulus aku mendapat pekerjaan yang kuharapkan di Kalimantan.

Namun kemudian aku galau. Kalau aku ambil kesempatan ini berarti aku harus berjauhan dengan kekasihku yang masih menempuh pendidikan di Yogyakarta. Entah kenapa aku agak khawatir menjalani hubungan jarak jauh. Karenanya, saat aku menginjak usia 22 tahun, aku memutuskan untuk melepas masa lajang, bahagia dipersunting kekasih yang kucinta, Aditya Suryaputra.

Menghadapi bahtera rumah tangga di usia yang masih cukup muda memaksaku untuk berlatih mandiri. Berbekal pengetahuan dari kedua orangtua, aku menjalani dan menikmati masa-masa indah menjadi seorang istri. Sambil menemani suamiku melanjutkan pendidikan S2 di Yogyakarta, aku sibuk menulis dan mencurahkan hari-hariku dalam blog pribadiku. Oh ya, aku memang hobi menulis.

Tak lama setelah menikah, rupanya Tuhan langsung memberikan kepercayaan padaku untuk mengandung buah hati kami. Trimester pertama kehamilan tidak terlalu menyulitkan. Aku tidak mengalami morning sickness yang berlebihan. Mungkin karena aku juga sangat antusias dengan kehamilan ini.

Namun kondisi sangat berbalik ketika menginjak usia kandungan 5 bulan. Aku stres sekali. Tidak hanya secara emosional, fisikku pun sering mengalami gangguan seperti demam, nyeri, bahkan lemas. Bawaannya nggak pengin ngapa-ngapain, maunya tiduran saja.

Demam menurun, masalah berganti dengan munculnya bintik-bintik merah di sekujur tubuhku. Tak mau tinggal diam, suamiku yang melihat kepanikanku turut khawatir dan mengajakku periksa ke dokter.

Aku makin kebingungan, karena dokter mengatakan aku tidak sakit. Demikian juga dengan bayiku, katanya baik-baik saja. Merasa masih aman, aku sama sekali tidak mengkhawatirkan kondisi bayi dalam kandunganku.

Namun lama-kelamaan aku lebih sering mengalami nyeri dan demam. Akhirnya aku mencari alternatif pendapat dengan berkonsultasi pada dokter kandungan lain. Sampai tiga dokter kandungan yang aku kunjungi, namun hasilnya nihil. Tidak ada yang mengatakan aku sakit.

Akhirnya, aku mulai mencari tahu sendiri dengan melakukan tes darah. Rupanya aku terkena virus TORCH. Dalam pencarian aku menemukan artikel yang mengatakan bahwa virus itu sangat berbahaya bagi bayiku. Di Indonesia belum banyak ibu hamil yang mengetahui virus ini. Jujur, belum pernah aku mendengar tentang virus TORCH.

SEMPAT MARAH SAMA TUHAN

Aku bertahan dan berusaha berpikir positif, menghilangkan kekhawatiran dalam hatiku. Hingga akhirnya usia kandunganku mencapai 9 bulan, waktuku untuk melahirkan. Sebenarnya aku ingin melahirkan secara normal. Namun karena dokter melihat ada pengapuran, akhirnya diputuskan untuk diambil tindakan sesar. Apapun caranya, aku bersyukur bayiku lahir dengan selamat.

Bayi perempuan mungil nan menggemaskan itu kemudian kami beri nama Aubrey Naiym Kayacinta. Nama ini sengaja aku pilih karena memiliki arti yang bagus. Aubrey berarti penuh belas kasih, Naiym kuambil dari bahasa Ibrani yang artinya kesayangan Tuhan. Sedangkan Kayacinta artinya aku berharap anakku dicinta oleh banyak orang.

Bayi mungil itu membuat hari-hariku dan suami lebih berwarna. Sampai akhirnya kami menyadari ada yang aneh padanya. Bayiku terus menerus menangis, hanya terdiam saat tidur. Tubuhnya pun terlihat kurang aktif bergerak seperti kebanyakan bayi lainnya.

Kelahiran Aubrey adalah anugerah, namun arti anugerah itu kemudian sempat bergeser menjadi sebuh musibah karena anakku divonis mengidap Congenital Rubella Syndrome (CRS). CRS berasal dari virus Rubella yang menyerang kehamilanku pada trimester ketiga (harusnya pertama). Rubella adalah virus dalam kelompok TORCH, sungguh virus yang jahat karena menyebabkan anakku terkena kebocoran jantung, gangguan pendengaran sangat berat, retardasi psikomotorik, dan radang otak.

Aku marah sama Tuhan, mugnkin itulah perasaanku saat mendnegar Aubrey harus terkena virus Rubella. Aku bingung, aku marah sama Tuhan, kenapa kok tega ngasih cobaan segitu beratnya. Usiaku masih muda, masih banyak rencana ke depan yang ingin aku jalani bersama dengan anakku.

Kekesalanku tidak berhenti sampai di situ, aku menjadi pribadi yang mudah emosi bahkan suamiku pun kena getahnya. Dari situlah muncul konflik-konflik kecil yang lama kelamaan membuat hubunganku dengan suami merenggang.

Belum hilang rasa lelahku, kedua orangtua ku ikut bingung harus berbuat apa. Virus itu memang belum banyak diketahui sehingga mereka tidak tahu harus bagaimana selain menangis dan meratapi nasib.

Di balik semua keluh kesah dan air mataku, aku masih menyimpan sejuta tanya pada Tuhan. Sepanjang malam aku terus berdoa supaya aku bisa mengatasi ini semua. Karena selain marah, aku yakin Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar batas umatnya.

Dari beberapa dampak yang ditimbulkan oleh Rubella, aku masih besyukur karena anakku tidak kehilangan indra penglihatannya. Itu artinya, Tuhan masih memebrikan kesempatan padaku untuk bertatapan langsung dengannya. Ah, kalau begini, satu indra saja terasa sangat berarti.

Sebetulnya aku masih menyimpan sedikit rasa kecewa pada para dokter anak yang kala itu menanganiku. Semua sama sekali tidak memebritahukan masalah dan bahaya Rubella. Sudah sekitar 4 hingga 5 dokter yang aku hubungi dan mereka memberikan pernyataan yang sama. "bayinya tidak apa-apa, mungkin belum banyak bergerak karena usianya juga belum aktif untuk melakukan banyak kegiatan. Lagian ibu juga masih muda kan, wajar kalau trauma masalah seperti ini," begitu kata dokter.

RUMAH RAMAH RUBELLA

Rasa putus asa sesekali memang masih menghantui, tapi aku sadar harus segera musnahkannya demi kesembuhan putriku. Bersamma suami, kami mulai rajin membawa Aubrey berobat. Kami mengajaknya melakukan fisioterapi tiga kali seminggu. Tujuh macam obat, empat kali sehari dan konsultasi ke dokter syaraf anak, sudah menjadi makanan harian bagi kami.

Jika awalnya aku sempat marah pada Tuhan, namun akhirnya aku mulai kuat. Aku bisa bangkit dan percaya bahwa dunia itu indah. Aku pun terinspirasi untuk berbagi cerita Aubrey lewat tulisan. Tak ada maksud lain, aku hanya ingin mengingatkan agar orangtua lebih waspada dalam perencanaan kehamilan.

Aku dihadapkan pada realita yang mencengangkan. Rupanya sama sepertiku, banyak orangtua yang awam tentang TORCH, baik tentang akibat dan pencegahannya. Banyak yang memilih tidak memproteksi kehamilannya karena biaya screening TORCH dan vaksin MMR dirasa mahal. Tak hanya itu, banyak pula yang terlanjur memiliki anak dengan TORCH tapi tidak tahu harus bagaimana.

Sementara itu minimnya alokasi dana dari dinas kesehatan utnuk anak TORCH kongenital juga menjadi salah satu kendala. Sosialisasi dari narasumber kesehatan serta dinas kesehatan mengenai TORCH pun masih sangat minim. Bahkan biaya untuk mengobati dampak TORCH pun tidak tercover asuransi.

Kenyataan-kenyataan demikian kemudian menggelitik hatiku. Apa yang bisa kulakukan? Membantu dalam segi biaya, tentu tak mungkin karena aku masih membutuhkan banyak biaya untuk Aubrey. "Lalu apa?" tanyaku dalam hati.

Aku kemudian terpikir untuk menghadirkan Rumah Ramah Rubella. Ini adalah salah satu bukti kepedulianku terhadap ibu-ibu hamil yang belum tahu banyak soal TORCH dan bahayanya. Meski baru aku rintis sejak bulan Oktober lalu, namun aku tidak menyangka bahwa jumlah anggotanya sudah mencapai 285 orang. Terdiri dari ibu-ibu muda yang hamil.

Rumah Ramah Rubella adalah komunitas terbuka yang diperuntukkan khususnya bagi para orang tua dengan anak yang terkena Congenital Rubella Syndrome. Orang tua yang sekedar ingin tahu apa itu Congenital Rubella Syndrome dan dampaknya atau ingin tahu tentang fisioterapi, pengasuhan, dll dan ibu dengan anak yang spesial juga boleh bergabung. Di sini kita semua berbagi, belajar, dan berkeluh kesah bersama mereka yang memiliki pengalaman yang sama soal TORCH.

Filosofinya sederhana, Rumah adalah di mana kita memiliki anggota keluarga. Ramah adalah attitude yang kita harapkan antar anggota keluarga. Rubella mengacu pada virus Rubella yang menyatukan perjuangan kami. Harapanku, di rumah ini dapat menyosialisasikan TORCH, berbagi informasi seputar pengobatan dampak TORCH dan membantu mencari donatur untuk meringankan beban biaya yang kurang mampu.

Komunitas ini sebetulnya lahir dari hobiku menulis di blog mengenai bahaya TORCH. Lambat laun, banyak respon masuk dan akhirnya kami semua saling bertukar informasi serta pengalaman kesehatan terutama mengenai TORCH.

SEDIKIT-SEDIKIT LAMA-LAMA JADI BUKIT

Aku belum berbuat sesuatu yang besar. Aku hanya ingin bilang bahwa kita semua punya kuasa penuh untuk membuat musibah apa pun dalam hidup kita bertransformasi menjadi berkat bagi diri sendiri dan orang lain.

Rencananya,, tahun depan Rumah Ramah Rubella akan semakin giat mengampanyekan TORCH. Dengan mengadopsi prinsip komunitas pengumpul koin, Coin A Chance, kami akan membuat celengan Rumah Ramah Rubella dan turun ke jalan.

Harapan kami, tentunya masyarakat tidak merasa terlalu terbeban dengan dimintai donasi berupa koin. Kesempatan ini juga akan digunakan untuk menyosialisasikan TORCH, mulai dari pencegahan, dampak pada janin, hingga penyembuhan dampaknya.

Aku juga mengagendakan untuk mendekati dinas kesehatan dan WHO guna mendukung misi ini. Meski sibuk dengan komunitas ini, aku juga kini tengah mempersiapkan buku yang berisi tentang cerita Aubrey dan Rubella. Sejauh ini prosesnya sudah mencapai 95%. Setelah terbit nanti, rencananya beberapa persen hasil penjualan buku akan disumbangkan pada Rumah Ramah Rubella.

Prinsip sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit aku yakini benar. Marilah kita membuat perubahan mulai dari lingkup terkecil. Walau dimulai dari hal kecil asal ditekuni dengan kesungguhan, niscaya akan bermanfaat. Hidup sungguh terlalu berarti untuk dihabiskan dengan menyenangkan diri sendiri. Mari buat perubahan!

***


10 comments:

  1. Tuhan selalu menyediakan rencana indah :) maju terus ya mamanya Ubii dan Ubii :)

    ReplyDelete
  2. @Mak Susi: Syukurlah sekarang udah tau :))

    @Mak Moudy: AMIN. Maju terus pantang mundur. Merdeka!! *lhoh?*

    ReplyDelete
  3. Saya tahu sedikit ttg torch ini ketika sedang mempersiapkan kehamilan pertama dulu sekitar tahun 2007. Saking semangatnya, banyak googling dan baca buku2 tentang kehamilan.

    Namun kehamilan saya yg pertama keguguran, kata dokter saya kelelahan. Memang sih waktu itu saya masih kerja ngantor berangkay pagi pulang malam, naik motor sama suami dari jakarta pusat-kebon jeruk, dan saya lagi menyelesaikan tesis.

    Jeda 2 blnan alhamdulillah hamil lagi dan bayinya lahir selamat dan sampai kelahiran anak saya yg kedua.

    Namun memang dari 3 kali kehamilan saya, pada trimester awal selalu bermasalah dan mengharuskan saya bedrest di rumah sakit...

    Karena khawatir juga dgn kondisi kehamilan saya, makanya jadi sering baca & cari info2 ttg kesehatan kehamilan. Termasuk jadi sedikit tahu ttg torch ini :)

    Semangat terus ya mbak, semoga apa yg sudah mbak lakukan ini makin banyak manfaat buat yg lain, dan semoga si kecil makin sehat. Aamiiin :)



    ReplyDelete
  4. ceritanya bikin ngebuat kita makin tahu tentang Rubella...
    Ada sebuah keputusasaan tapi akhirny bangkit dengan rasa syukur . Good Job... Suka sama tulisannya... ^_^

    ReplyDelete
  5. beberapa tahun lalu saya tahu ada immunisasi rubella bagi bayi, ternyata info penyakitnya saya dapat dari sini. Trims ya , mak, sudah berbagi. Berharga bagi semua, terutama buat mereka yang memiliki putera seperti Ubii. Kalian memang hebat! Inspiring ...
    Peluk sayang ya, buat Ubii ... eh buat mamanya yang hebat juga.

    ReplyDelete
  6. @Mak Deedee: Tengkyu Mak Deedee :*

    @Mak Ani: Sama-sama Mak Ani. Senang sekali kalau tulisan kecil ini bisa menambah info buat teman-teman :')) Peluk balik buat Mak ANi dariku dan Ubii :*

    ReplyDelete
  7. Duh...baru denger sama virus itu.....:(

    ReplyDelete
  8. Saya baru melahirkan 45 hari... ternyata anakku didiagnosa katarak... hatiku hancur. Kemungkinan anak saya terkena rubella. Mohon doa dan dukungannya, semoga saya bisa melewati semua ini...

    ReplyDelete
  9. Anak saya terkena rubella syndrom dan sy bru mengetahui saat usia anak sya 6 bln yg saat itu dinyatakan katarak, kelainan jantung dan gangguan pndengaran.
    Pada saat itu hati saya hancur krn sy terlalu awam untuk info tentang virus rubella yg jujur baru sy dengar pd kala itu, pada akhirnya di usia 7 bulan anak sy operasi katarak dan saat ini sdng menunggu jdwal operasi jantung.
    Keadaan ini tidak saya anggap musibah ataupun ujian, saya anggap ini sebuah keberkahan krn membuat sya mnjadi manusia yg lebih kuat dan semoga kekuatan yg ada dlm diri saya bisa mnjadi spirit untuk anak saya kedepan nya.. Amiin.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^