Tuesday, December 30, 2014

Perempuan dan Kekerasan: Yakinilah Bahwa Kita Berharga

Sumber

Perempuan dan kekerasan. Bicara tentang kekerasan pada perempuan, menurut saya lingkupnya bisa luas sekali. Berdasarkan apa yang sering saya temukan, ada beberapa tipe kekerasan pada perempuan yang kerap terjadi, antara lain:
  • Kekerasan fisik.
  • Kekerasan psikis.
  • Kekerasan seksual.
  • Kekerasan di media sosial.
Jika saya berandai-andai mengapa kekerasan-kekerasan ini dapat terjadi, saya yakin akan ada banyak hal yang melatarbelakangi. Buat saya, fondasi utama yang kerap menjadi alasan adalah sistem patriarki yang cukup kental di negara tercinta kita ini. Kita tentu sadar bahwa di tanah air kita kedudukan kaum adam lebih ditinggikan daripada perempuan. Kodrat lelaki yang kelak akan menjadi imam dan pemimpin dalam rumah tangga sepertinya berkontribusi cukup besar pada sistem patriarki yang begitu terasa ini. Hal ini digambarkan dalam film yang berjudul 'Perempuan Berkalung Sorban.' Sudah pada nonton belum? Di film itu terdapat beberapa contoh di mana lelaki lebih diutamakan seperti misalnya saat Anissa (tokoh utama yang diperankan oleh Revalina Temat) harus 'mengalah' dan batal menjadi ketua kelas hanya karena ia adalah seorang perempuan. Padahal sebetulnya suara terbanyak di kelasnya adalah memilih Anissa. Akhirnya yang menjadi ketua kelas adalah kawannya yang berjenis kelamin laki-laki. Contoh paham patriarki nggak berhenti sampai di situ. Ada saat di mana Anissa marah karena nggak diizinkan menunggang kuda yang menjadi hobinya. Lagi-lagi hanya karena ia perempuan. 'Ora elok bocah wadon numpak jaran," begitu kata Ibunda Anissa. Contoh-contoh lain, silakan tonton sendiri film nya ya, nanti saya bocorin semua kalau saya beberkan di sini. Nilai patriarki inilah yang tertanam pada mayoritas kita di Indonesia. Anak laki-laki lebih dibanggakan, lebih didahulukan. Anak lelaki boleh sekolah tinggi. Anak perempuan, ngapain sekolah tinggi-tinggi? Toh nanti akhirnya ngurusin dapur juga kan? Begitu kata orang tua.

Itu setitik penyebab yang mendasari kekerasan pada perempuan di mata saya. Selanjutnya, saya ingin mencoba mengulas masing-masing bentuk kekerasan pada perempuan.

Kekerasan Fisik

Sumber

Saya yakin ada banyak sekali contoh nyata kekerasan fisik yang dialami oleh perempuan. Yang paling kerap saya temui adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Menyundut rokok, memukul, menampar, menjambak, menendang, dan masih banyak lagi. Apakah semua kasus KDRT terlaporkan dan tertangani? Jelas enggak. Masih banyak tentunya istri-istri yang menutup rapat peristiwa kekerasan yang mereka alami. Paling banter, mereka hanya curhat ke sahabat. Nggak berani sampai melaporkan ke pihak yang berwajib. Tentu saja, ada yang malah menyimpannya untuk diri sendiri. Saya pernah memiliki kawan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sebut saja namanya Mawar. Saya adalah tempat Mawar berkeluh kesah, menceritakan apa yang ia alami. Saya gemas. Nggak jarang badan Mawar sampai biru lebam. Padahal Mawar nggak salah apa-apa. Kebetulan saja suaminya sedang punya bad day di tempat kerja sehingga ada satu hal kecil yang membuat suaminya nggak sreg di rumah, Mawar yang jadi tempat pelampiasannya. Herannya, Mawar masih saja membela suaminya. "Ah, suamiku kan sedang capek, banyak masalah di tempat kerja. Sebagai istri, aku wajib memaklumi keadaannya," katanya.

Sumber

Saya nggak tau apa yang terjadi di sini. Jelas-jelas peristiwa KDRT ini nggak terjadi sekali-dua kali. Sering! Saya nggak habis pikir mengapa Mawar masih saja bisa membela suaminya. Saya malah ketakutan sendiri. Bagaimana kalau suatu saat nanti suaminya kebablasan? Ah, nggak berani saya membayangkannya. Di mata saya, Mawar adalah korban sistem patriarki yang begitu kental di negara ini. Suami adalah pencari nafkah dan itu berat. Jadi wajar kalau mereka letih. Wajar kalau mereka butuh pelampiasan saat pekerjaan mereka mengalami masalah. Wajar kalau mereka melampiaskan kekesalan mereka pada istri. Sebaliknya, tugas istri adalah menjadi penyedia kebutuhan suami, pengayom suami, dan penenang kegelisahan suami. Jadi, saat suami butuh sasaran kemarahan, di situ istri berperan. Saat suami butuh diayomi dan ditenangkan kegelisahannya, istri harus mengakomodasi. Meskipun itu berarti istri harus memberikan tubuhnya untuk samsak tinju. Saya setuju tugas dan peran suami itu nggak ringan. Harus menjadi pemimpin, imam, dan pencari nafkah pada saat bersamaan jelas bukan perkara mudah. Tapi, buat saya, tugas istri juga nggak pantas disepelekan. Istri bukannya hanya leha-leha di rumah sambil menunggu suami pulang bekerja. Istri (apalagi kalau sudah menjadi ibu) tugasnya nggak kalah capek lho. Mengurus rumah dan mengurus anak itu juga bikin capek. Apalagi anak butuh dirawat dengan asah, asih, dan asuh. Jadi istri pun pasti memutar otak bagaimana supaya bisa memenuhi kebutuhan 'asah' untuk buah hatinya.

Sama-sama capek. Sama-sama berusaha memberikan yang terbaik pada peran dan tugasnya masing-masing. Lalu, istri masih punya tugas tambahan untuk selalu memahami keletihan suami, menerima kekerasan yang mengatasnamakan bad day suami di tempat kerja, dan memaafkan suami lagi-lagi? Wah, berat banget tugas istri yah. Rasanya dari kecil itulah yang kita lihat. Betapa ibu kita mengabdi dan melayani ayah kita. Betapa ibu selalu berbesar hati menerima kekurangan ayah ketika ayah berlaku yang kurang baik. Akhirnya kita tumbuh dengan pemahaman itu. Men are way more superior than women. Saya nggak bilang bahwa istri yang memahami dan mengabdi pada suami itu salah. Saya nggak bilang begitu. Tapi buat saya, paham patriarki di negara ini is a little bit too much.

Sumber

Kekerasan Psikis

Sebetulnya kekerasan psikis itu juga banyak banget ditemui. Bisa terjadi di mana pun dan kapan pun. Bisa dilakukan oleh siapa pun. Nggak cuma oleh suami saja. Namun bisa juga oleh teman sekolah, teman kerja, bahkan orangtua sendiri. Terkait dengan cuap-cuap saya tentang sistem patriarki, yang akan saya contohkan di sini adalah kekerasan psikis yang dilakukan suami.

Kekerasan psikis bisa diterima dalam bentuk verbal dan non verbal. Kekerasan psikis itu yang bagaimana sih? Menurut sumber di sini, ucapan bernada menghina, merendahkan, dan mengancam pun tergolong dalam kekerasan psikis.

Sumber

Kawan saya yang lain, kali ini sebut saja Melati, mengalami kekerasan psikis. Dengan kata-kata dan perilaku dari suaminya. Cerita ini sebetulnya sudah lama. Puji syukur, sekarang kehidupan Melati juga bahagia. Saat itu, suami Melati baru saja menyelesaikan pendidikan master nya. Mereka kira titel master akan memudahkan peluang mencari pekerjaan yang baik. Ternyata tebakan mereka meleset. Suami Melati nggak kunjung menemukan pekerjaan saat itu. Yah, mau bagaimana lagi. Zaman sekarang lulusan S2 semakin banyak, kan? Dan, makin banyak juga lapangan pekerjaan di bidang kreatif yang lebih membutuhkan skill daripada latar belakang pendidikan. Kehidupan mereka sehari-hari saat itu mengandalkan tabungan dan support dari orangtua. Melati baru saja melahirkan anak pertama mereka. Masih berusia 2 atau 3 bulan saja bayi mereka saat itu sehingga Melati belum bisa ikut melamar-lamar pekerjaan. Otomatis, beban suami Melati terasa lebih berat. Punya bayi dengan kebutuhan yang nggak sedikit dan istri juga belum bisa ikut mencari pemasukan, suami Melati harus berjuang sendirian. Sebetulnya Melati bukannya sama sekali nggak membantu sih. Melati pun ikut berusaha dengan berjualan salah satu produk wanita yang memiliki katalog per bulan. Tapi memang saat itu customer Melati belum banyak. Selama beberapa bulan, status suami Melati adalah job hunter. Berbagai job fair ia ikuti. Masih belum ada yang rezekinya. 

Setiap kali pulang dengan perasaan kecewa, suami Melati jadi bermuka masam. Sapaan Melati nggak dihiraukan. Masakan buatan Melati nggak dimakan. Begitu suaminya sampai di rumah, langsung mandi, langsung buru-buru tidur. Menyapa bayi mereka pun enggak. Melati seperti nggak tampak, karena selalu diacuhkan. Di sini menurut saya Melati mengalami kekerasan psikis secara non verbal. Suaminya nggak perlu berkata apa-apa, namun perilakunya sudah bisa membuat Melati sedih dan kecewa. Melati merasa nggak dianggap. Nggak dihargai sebagai istri. Nggak dimanusiakan karena seperti dianggap angin lalu.

Kekerasan psikis secara verbal pun nggak jarang dialami Melati di masa-masa itu. Ucapan-ucapan seperti:
"Kok anakmu nangis terus? Berisik ah, aku mau tidur!"
"Gak ada menu lain apa, tiap hari masak itu terus."
"Minggir, minggir, aku capek mau tidur."
"Kamu tuh gak ngerti apa-apa tentang usahaku cari kerja, gak usah ikut campur!"
"Udah gak usah bawel, aku gampar juga kamu!"
.. nyatanya dapat membuat Melati merasa kecil dan ditolak.

Lalu, apa yang dilakukan Melati? Sama seperti Mawar, Melati memilih diam. Diam bukan karena betulan ikhlas diperlakukan seperti itu. Melati diam karena ia takut tanggung jawab dan perannya sebagai istri menjadi kurang sempurna jika ia protes atau berterusterang pada suaminya. Di sini, sistem patriarki cukup jelas tertanam dalam benak Melati. Istri, sepantasnya menerima dan legowo saja. Isti, sebaiknya senantiasa memaklumi perlakuan kurang menyenangkan dari suami. Istri, sejatinya harus memahami bahwa suami (selalu) punya hak dan wewenang untuk dimaklumi. Sesederhana karena suami adalah suami. Sesimpel karena suami adalah pria yang memiliki posisi yang lebih tinggi di masyarakat kita.

Jangan salah, kekerasan psikis bukan berarti tidak menyakitkan.

Sumber

Kekerasan Seksual

Sumber

Sudah berapa banyak kasus kekerasan seksual yang pernah kita tonton atau baca di berita? Saya yakin pasti nggak terhitung (jika kita cukup sering update berita). Dari banyaknya kasus kekerasan seksual, yang paling mengganggu buat saya adalah kasus pelecehan yang dilakukan oleh 4 petugas Trans Jakarta pada korban berinisial YF. Selengkapnya sila baca di sini. Jika mengikuti perkembangan beritanya, saya yakin teman-teman juga pasti merasa geram. Saya mengikuti perkembangannya lewat blog seorang Kartika Jahja yang bisa teman-teman baca di sini. Berikut saya list apa-apa saja yang membuat saya marah, sebagai seorang perempuan:
  1. YF berjuang sendirian melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya berbulan-bulan tanpa tanggapan serius dari pihak Trans Jakarta.
  2. YF nggak memiliki pendamping hukum dan pendamping sosial saat itu.
  3. YF nggak dikabari saat sidang pertama berlangsung.
  4. Keempat pelaku hanya dikenai pasal pencabulan, bukannya perkosaan karena Indonesia masih menggunakan hukum warisan Belanda. Itu berarti sesuatu bisa dikenai pasal perkosaan hanya jika ada penetrasi penis ke vagina. Kalau enggak, hanya disebut pencabulan. Sungguh TIDAK adil!
  5. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama sidang pada YF rasanya sangat nggak pantas. Pertanyaan-pertanyaan itu seperti, "Pakai bra warna apa hari itu?", "Sudah tau gampang sakit, mengapa naik kendaraan umum sendirian?", "Mengapa pakai celana pendek padahal saudari YF berpendidikan dan seorang Muslim?", dan "Coba pakai celana pendek itu lagi karena saya mau lihat itu seberapa pendek." Absurd, bukan? Padahal saat itu YF mengenakan celana selutut. Saya kira selutut masih dalam batasan sopan. YF pun memakai celana selutut untuk menghindari kebasahan karena saat itu di Jakarta sedang banjir dan sebetulnya ia menyimpan celana panjang di tasnya untuk ganti ketika sudah sampai ke tujuannya.
  6. Yang paling bikin saya sebal adalah akhirnya keempat pelaku kekerasan seksual pada YF tersebut hanya dijatuhi vonis kurungan selama 1,5 tahun. Ya Tuhan... 1,5 tahun!!!
Dalam kasus YF ini, menurut saya there's so much more than patriarchy system yang 'mendukung' kekerasan seksual. Yang sangat tampak, jelas ketimpangan sistem hukum di Indonesia dalam mendefinisikan arti perkosaan. Jelas, itu merugikan kaum perempuan. Kemudian, di sini YF adalah orang biasa. Bukan public figure. Bukan orang yang dikenal masyarakat. Jadi kesannya keluhannya nggak ditanggapi dengan serius dan adil. Bahkan terkesan dilempar sana-sini dan nggak betul-betul dibantu. Saya kemudian berkhayal. Jika seandainya YF bukan masyarakat biasa, apa iya ia akan memperjuangkan keadilan sendirian tanpa bantuan? Apa iya pihak kepolisian hanya bertanya detil kronologi kejadian tanpa terlihat empati dan gerak cepat untuk membantu agar segera tuntas dengan adil? Apa iya segerombolan orang di sidang akan berani menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang cenderung nggak make sense seperti itu? Apa iya jaksa akan berani nggak mengabari YF tentang agenda sidangnya berlangsung kapan? Apa iya pengacara lawan dan hakim seolah menertawakan YF dan berkata, "Kalau nggak kuat, nggak usah datang lah!" Apa iya para pelaku hanya akan diganjar hukuman kurungan penjara 1,5 tahun saja? Apa iya???

Pepatah 'sudah jatuh tertimpa tangga pula' benar-benar terjadi di sini. Sudah perempuan (rentan mengalami kekerasan seksual karena memang dari segi tenaga untuk melawan pastinya lebih kecil), tak punya kuasa, dan bukan siapa-siapa pula. Dalam kacamata saya, saya berharap sekali hukum di Indonesia bisa dievaluasi dan diperbaiki. Perempuan itu secara fisik memang sudah lebih lemah dari sononya ketimbang laki-laki. Sudah jelas rentan sekali mendapat kekerasan. Mbok ya sistem hukumnya lebih melindungi. Mbok ya sistem hukumnya lebih berempati pada perempuan. Mbok ya sistem hukum yang membela perempuan betulan bisa berlaku adil dan sama rata, nggak hanya untuk perempuan-perempuan yang punya uang, kekuasaan, dan ketenaran. Saya sadar ini seperti harapan kosong. Tapi semoga kelak dapat terlaksana ya...

Kekerasan di Media Sosial

Setelah saya menjadi ibu dan cukup sering menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, dan Instagram, ada satu hal yang menarik hati saya. Betapa tampaknya para ibu berlomba-lomba menunjukkan dan membuktikan bahwa pilihannya adalah yang paling benar. Jika ada seorang ibu yang aktif di media sosial, pasti ia sudah familiar dengan istilah mom war. Mom war di sini bisa bermacam-macam, yang paling sering saya lihat adalah: SAHM (Stay At Home Mom) vs. WM (Working Mom). Duh, sering banget saya nemuin status model begini:

"Walau aku kuliah sampai S2, aku lebih pilih jadi ibu rumah tangga supaya bisa full jagain anakku. Karena kan anak lebih penting dan harus diutamakan."

Kemudian, cukup banyak beredar juga quote/cerita/kisah seperti ini:

Sumber

Menurut saya, hal ini agak kurang sensitif ya... Banyak sekali kejadian di zaman sekarang di mana pemasukan suami saja kurang mencukupi sehingga istri/ibu pun harus ikut membantu menambah pemasukan. Mengapa harus jadi dikaitkan kalau menjadi working mom berarti kita nggak benar-benar total menyayangi dan mengasuh anak? Lhah gimana kalau memang kondisi nya mereka harus menjadi working mom untuk alasan finansial? Salah juga? Emang kita mau bantu mencukupi dan membayarkan tagihan bulanan mereka? Enggak juga, kan? Padahal, misalkan perempuan tersebut memilih menjadi working mom lantaran sudah terlanjur cinta dengan pekerjaannya, kita toh tetap tidak berhak menghakimi, bukan?

Akhirnya karena tuntutan pekerjaan dan ekonomi, working mom harus menitipkan anak entah pada pembantu rumah tangga, daycare, atau kakek-neneknya. Ternyata ini pun bisa menjadi bahan bullying dalam mom war. Beredar quote semacam ini:

Sumber

Yang biasanya saya temukan adalah quote semacam ini dishare oleh para stay at home moms di media sosial mereka, kemudian ditambahi dengan kata-kata, "Bahan renungan untuk kita para ibu." Menurut saya ini juga tidak sensitif. Kalau memang ia meyakini ini makanya memilih sebagai stay at home moms, ya sudah. Sebetulnya tidak urgent juga untuk share hal semacam ini. Bayangkan bagaimana perasaan para working moms yang melihat ini sliweran di timeline nya. Sedih loh.

Saya punya banyak teman working moms. Melihat postingan seperti ini, mereka jadi curhat pada saya. Mereka jadi sedih dan (seperti) merasa disindir, dihakimi, atau disalahkan terkait pilihannya sebagai working mom. Padahal saya tahu benar, setiap kali ia berangkat ke kantor untuk bekerja dan meninggalkan anaknya di rumah dengan pembantu, ia selalu merasa kangen dan berdoa tidak terjadi apa-apa. Ia juga selalu memantau kabar anaknya dengan menelpon atau mengirim pesan pada pembantu rumah tangganya. Walaupun anaknya dititipkan pada pembantu rumah tangga, bukan berarti ia juga tidak ikut mikir dalam asah, asih, asuh anaknya. Setiap pagi, ia bangun pagi-pagi untuk memasak makanan anaknya. Pembantu rumah tangga tinggal menghangatkan dan menyiapkan. Ia juga menyiapkan mainan-mainan #DoItYourself yang edukatif sekaligus menyenangkan agar anaknya tetap dapat bermain sambil belajar bersama pembantu rumah tangganya. Menjadi working mom tidak lantas membuat ia langsung lepas tangan dan hanya mengurusi anaknya ketika ia sudah selesai bekerja loh. Jadi, postingan seperti ini, di mata saya, agak kurang adil dan kurang peka. Hey, who are we to judge?

Jadi, kekerasan di media sosial berupa bullying atau mom war sesama ibu ini, kenapa sih? Kalau menurut saya, ini adalah efek negatif dari media sosial. Bagaikan koin yang punya dua sisi, media sosial juga punya dua sisi: baik dan kurang baik. Efek negatifnya, media sosial seolah punya kekuatan dan pengaruh untuk menciptakan standard, mana yang lebih baik dan mana yang kurang oke. Apalagi kalau yang menshare suatu postingan adalah orang yang sudah cukup dikenal dan punya banyak followers/friends di media sosial. Makin gampang lah sesuatu itu menyebar secara viral lantas dianggap sebagai sesuatu yang baik dan pantas dipercaya, kemudian pelan-pelan menjadi sebuah standard yang diikuti dan dipercaya banyak orang.

Hal ini juga didukung oleh betapa mudahnya kita menshare sesuatu tanpa terlebih dahulu membaca sampai tuntas. Dengan judul yang bombastis, hashtag yang catchy, dan gambar/quote yang menarik, kita ujug-ujug menjadi percaya begitu saja. Padahal, mungkin kalau kita membaca sampai selesai, kita juga belum tentu akan setuju kok dengan isi postingan tersebut. Inilah yang saya simak tentang kekerasan pada perempuan di media sosial.

Seorang sahabat pernah berkata pada saya, "Zaman sekarang itu kita harus punya filter. Nggak semua yang viral di sosmed bisa dan cocok buat kita ambil." Setuju sekali. Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, kita memang benar-benar harus punya saringan. Suatu postingan atau gambar yang banyak dishare di media sosial belum tentu bisa diambil dan diyakini mentah-mentah. Salah-salah, kita malah jadi ikut arus dan hilang arah hanya karena ingin mengikuti tren dan mainstream. Perempuan harus cerdas dalam memilah dan tidak membiarkan prinsip hidupnya dipengaruhi oleh opini media sosial hanya karena ia ingin seperti orang kebanyakan. Perempuan juga harus menghargai dan mencintai dirinya sendiri, termasuk di dalamnya kelebihannya, kekurangannya, pilihannya, keputusannya, dan suara hatinya. Ia harus yakin dirinya berharga.

Tangani Segala Bentuk Kekerasan pada Perempuan: Yakini Bahwa Kita Berharga

Menyoal kekerasan pada perempuan seperti yang saya jembreng di atas, buat saya kunci utamanya adalah mencintai dan menghargai diri sendiri. Baik untuk kaitannya dengan sistem patriarki dan efek negatif media sosial. Bukan berarti harus berani menentang suami. Tidak, bukan begitu. Bukan berarti harus tidak menghargai suami sebagai pemimpin dan imam dalam keluarga. Tidak, bukan seperti itu. Melainkan, lebih berani bersuara ketika ada perlakuan yang kurang baik dari mereka. Speak up. Perempuan sama berhak nya dengan lelaki untuk dihargai. Wanita sama berhaknya dengan pria untuk didengarkan pendapatnya. Istri sama berhaknya dengan suami untuk diperlakukan dengan respect dan love. Ketika perempuan mencintai dan menghargai dirinya sendiri sebagai seorang pribadi, ia akan tahu apa yang ia butuh dan inginkan, serta tahu bagaimana menyampaikan dan mewujudkannya.

Sumber

Lebih dari itu, jika perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, jangan diam saja. Berangkat dari menghargai diri sendiri, segera tangani. Sayangi diri kita sendiri, wahai perempuan.

Sumber

Karena kita sebagai perempuan sama berharganya dengan laki-laki. Karena istri juga harus punya batasan sejauh mana ia bisa mentolerir perlakuan kurang menyenangkan dari suami. Ah, saya jadi teringat sebuah esai feminis karya Judy Syfers yang berjudul 'Why I Want A Wife.' Berikut beberapa kalimat yang paling menggelitik buat saya, saya tuliskan beberapa tidak seluruhnya. Kalau mau baca keseluruhan teks, silakan menuju ke sini ya.

I belong to that classification of people known as wives. I am A Wife. And, not altogether incidentally, I am a mother.

Not too long ago a male friend of mine appeared on the scene fresh from a recent divorce. He is looking for another wife. As I thought about him while I was ironing one evening, it suddenly occurred to me that I, too, would like to have a wife. Why do I want a wife? 

I want a wife who will work and send me to school. And while I am going to school, I want a wife to take care of my children. I want a wife to make sure my children eat properly and are kept clean. I want a wife who takes care of the children when they are sick, because, of course, I cannot miss classes at school. My wife must arrange to lose time at work and not lose the job. I want a wife who will take care of my physical needs. I want a wife who will keep my house clean. I want a wife who cooks the meals, a wife who is a good cook. I want a wife who will care for me when I am sick and sympathise with my pain and loss of time from school. I want a wife who will not bother me with rambling complaints about a wife's duties. But I want a wife who will listen to me when I feel the need to explain a rather difficult point I have across in my course studies. I want a wife who will take care of the details of my social life. And I want a wife who knows that sometimes I need a night out by myself. I want a wife who is sensitive to my sexual needs, a wife who makes love passionately and eagerly when I feel like it, a wife who makes sure that I am satisfied. And, of course, a wife who will not demand sexual attention when I am not in the mood for it. When I am through with school and have a job, I want my wife to quit working and remain at home so that my wife can more fully and completely take care of a wife's duties.

My God, who wouldn't want a wife?


Masih berpikir bahwa para perempuan tidak seberharga lelaki? Well, think again.


STOP kekerasan pada perempuan dalam bentuk apa pun juga!

*Apa yang saya tulis adalah berdasarkan opini pribadi dan apa yang saya lihat di sekitar saya. Tidak menutup kemungkinan sekali kalau ada yang tidak sependapat. So, santai saja ya bacanya*

Sumber



Love,







19 comments:

  1. can't agree more Ges...terkadang, kita tidak sadar menjadi korban KDRT atau takut melaporkannya karen berbagai pertimbangan yang disebutkan di atas. tapi for sure, sudah saatnya perempuan tau hak-haknya...termasuk hak untuk tidak disiksa dan tidak disakiti juga hak untuk dilindungi. Mudah-mudahan UU KDRT bisa membantu mengurangi fenomena yang menyedihkan ini dan perempuan Indonesia bisa terus bangkit menjadi perempuan yang kuat, percaya diri dan mampu mengembangkan potensinya secara maksimal.
    all the best untuk lombanya yaaa...

    ReplyDelete
  2. Tulisan yang sangat inspiratif. Semoga akan banyak orang yang aware pada KDRT. Berharap, KDRT akan berkurang bahkan hilang dari muka bumi.

    ReplyDelete
  3. Setujuuuu banget ama mbak Gesi. Kita sesama perempuan harusnya saling menjaga dan menguatkan. Jangan sampe lah ada 'Mom War' begituan lagiiii..
    Aku juga pengen, ada organisasi yang membantu perempuan dalam penanganan proses hukum seperti yang dialami YF. Kasihan sekali mbak Gess... :'(

    ReplyDelete
  4. Yang masih jd dilema bagi kebanyakan perempuan yg scr ekonomi trgantung 100 persen sm suami adl ngga berani lapor saat terjadi KDRT. Byk yg msh ragu utk lapor dgn alasan nanti klo suami di penjara trus siapa yg nanggung hidup istri dan anak-anaknya? Sementara pencari nafkah utama ya si suami itu. Kondisi spt ini bikin suami makin semena2 dan istrinya jg makin ngga berdaya utk melawan. Jadi klo menurutku scr pribadi jika kaum perempuan diminta utk bs berdaya melawan kdrt, maka scr ekonomi mrk juga hrs dibantu agar bisa berdaya lbh dulu. Banyak kasus jg korban2 itu ditampung di shelter atau rumah aman tp stlh suaminya masuk penjara scr ekonomi juga ngga ada lagi yg mau bantuin dr segi ekonomj agae si perempuan ini bs melanjutkan hidup bersama anak2nya. Jd kesimpulannta masalah KDRT itu ngga berhenti sampai sisi penegakan hukum saja tp juga kelanjutan ekonomi bagi wanita korban kdrt yg kebanyakan scr ekonomi trgntung sm suaminya. PR buat bersama nih sbnrnya..hehe

    ReplyDelete
  5. Sy pernah ngobrol mak sm slh satu relawan wcc, woman crisis center. Karna banyak yg blm mengerti ttg bentuk kekerasan pada wanita, trmasuk pd saat pacaran, maka wcc jadi sepi kasus. Olh sbb itu, mereka mnggunakan trik jemput bola. Mereka bergiliran mengecek kasus kekerasan yg dialami wanita di
    pengadilan. Stelah itu mereka langsung menyambangi rumah korban utk menawarkan diri sbg pendamping kasus yg korban alami. Syangnya mak, terkadang, salah satu oknum pengadilan pelit berbagi informasi. Seakan tak mengizinkan wcc ikut campur dlm kasus wanita korban kekerasan. Bermanfaat bgd mak, ilmu nih ilmu. Makasih atas sharingnya ya mak ges :)

    ReplyDelete
  6. Mak ges memang paling jago membakar semangat. Dimulai dari diri sendiri untuk lebih peduli dgn diri sendiri n sekitar. Jangan tutup mata bila disekitar kita ada yg mngalami seperti ini...

    ReplyDelete
  7. Wohoooo... Dukung mami ubiiii...!! Speechless daku bacanyaaaa... Keren bangettt nih... Go..gooo...mami ubii...!

    ReplyDelete
  8. Mudah2an dgn tulisanmu ini mak Ges, Semoga kasus2 KDRT thp wanita sudah gak ada lagi ya mak.

    ReplyDelete
  9. Eiiidyaaannnnn...tulisanmu Mak Ges.....setuju banget akuuhhhh....! Suka gemes emang kalo liat sekitar mengalami hal2 seperti itu...makanya aku tanamkan pada anak2 untuk selalu berani mengungkapkan apapun yg tak berkenan pada dirinya...Sulungku yg perempuan aku sarankan untuk les olahraga beladiri...kedengaranya lebay yaa....tapi mbuhlah kadang2 Ibu itu sok parno banget...

    ReplyDelete
  10. laki-laki dan perempuan sama berharganya mak, yang membedakan kita itu ketakwaan kita pada Tuhan yang menjadikan kita manusia berarti. Sukses lombanya ya mak. Lengkap nian!! :)

    ReplyDelete
  11. Kekerasan psikis itu yang kadang dianggap biasa ya mak. Mudah-mudahan kasus KDRT ini bisa menurun tajam.

    ReplyDelete
  12. Yang pertama adalah persepsi terhadap diri sendiri ya Mak. Jangan biarkan orang lain melakukannya kepada kita. Tentu dengan cara yang bijak. Sukses Mak :)

    ReplyDelete
  13. Real, Mom. It's happen in my environment. KDRT entah itu dalam bentuk kekerasan fisik dan psikis, sepertinya memang banyak kejadian yang tidak terlaporkan. Kemungkinan yang pertama adalah takut cerita karena itu adalah aib keluarga mereka, atau mereka menganggap memang sepatutnya wanita mengalah. Memang seharusnya ditambah LSM2 yang bisa meng-edukasi para istri2 dilingkungan yang paling kecil yaitu RT. Semoga tulisan ini menggugah para wanita untuk menjadi wanita yang bijak dan paham bagaimana seharusnya menjaga diri. Love this post.

    Semoga menjadi pemenang mami Ubii marubik

    ReplyDelete
  14. Tidak ada pembenaran untuk setiap kekerasan terhadap perempuan (menurut saya), tetap ada cara lebih baik untuk menyampaikan setiap kekecewaan. Tulisan ini sangat mencerahkan, semoga dapat dibaca lebih banyak pihak dan semakin menyadarkan kita semua bahwa kekerasan terhadap perempuan harus segera di stop!!

    Terimakasi Mami Ubii untuk semangatnya, gudlak yaa.. :*

    ReplyDelete
  15. Semoga ke depan kekerasan terhadap perempuan semakin berkurang dan kalau bisa tidak ada lagi. Seperti lelaki, perempuan mempunyai hak yang sama, perempuan itu berharga. Tulisan ini lengkap dan keren mak ges. Good luck. semoga semakin banyak yang terbuka pandangannya setelah membaca tulisan ini.

    ReplyDelete
  16. Sangat well-written, mak :) tulisan yg sangat bisa menyentuh setiap perempuan, baik itu sebagai istri, ibu, ibu bekerja, ibu bekerja dari rumah, maupun ibu rumah tangga.

    ReplyDelete
  17. iya bener mak..tapi menjadi korban kdrt ga segampang itu untuk bicara ini :)

    ReplyDelete

  18. tập. Nhưng hắn vẫn tự tin chỉ cần sử dụng mấy lần chắc chắn sẽ thành

    công.

    Hoàng Long chân nhân thầm than một tiếng, suy nghĩ một chút rồi gật đầu, nói:
    học kế toán tại bắc ninh
    dịch vụ báo cáo tài chính
    kế toán cho giám đốc quản lý
    trung tâm kế toán tại quảng ninh
    học kế toán tại bắc ninh
    học kế toán tại hà đông

    eco city long biên
    http://01embesexy.com
    http://tradaboho.com
    học kế toán tại tphcm
    trung tâm kế toán tại quảng ninh
    học kế toán tại thanh xuân
    khoá học kế toán thuế
    trung tâm kế toán tại long biên

    - Ngươi lên đi! Cho ta thấy pháp thuật mới của ngươi thế nào.

    Tôn Hạo nhấc mình, nhảy lên đài cao, nói:

    - Đệ tử Tôn Hạo của Hằng Nhạc phái xin lãnh giáo Huyền Đạo tông.

    Lý Sơn thấy Tôn Hạo liền cười thầm trong bụng. Hắn thấy Âu Dương lão nhân đang chọn người lên trận liền bước lên nói:

    - Sư phụ! Đệ tử Lý Sơn nguyện lên trận này, trao đổi với đối phương một chút.

    Nói xong, hắn nháy nháy mắt, đứng chờ.

    Âu Dương lão nhân vẫn luôn đau đầu đối với Lý Sơn. Nhưng lão cũng biết

    Lý Sơn rất tinh quái, không bao giờ chịu thiết. Lần này hắn xin ra trận

    chứng tỏ đã hoàn toàn chắc chắn. Vì vậy lão hơi trầm ngâm một chút rồi

    gật đầu.

    Lý Sơn hưng phấn đi lên trên đài. Trong lòng hắn đang thầm cười trộm.

    ReplyDelete
  19. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^