Wednesday, September 25, 2013

Orangtua Tegas: Yay or Nay?



 
Hola!
Lama sekali saya nggak mengisi blog pribadi ini karena sekarang setiap selo lebih prefer untuk mengisi blog Letters to Aubrey with Rubella. Kangen juga rasanya pada blog ini karena blog ini sudah menemani saya sejak saya masih kuliah. It's been years ago.

Kali ini saya ingin sekali berbincang sedikit tentang dunia parenting. Saya masih baru menjadi ibu. Saya masih butuh banyak belajar, banyak membaca, dan banyak 'mencuri' ilmu dari teman-teman lainnya yang sudah lebih berpengalaman. Itu, saya sadar betul.

Belakangan ini saya sedikit terusik dengan komentar-komentar "Kok kamu tega banget sama Ubii?" atau "Sama anak sendiri kok tega ya, aku sih nggak mungkin bisa tega kayak kamu" dan lain-lain.


Komentar-komentar seperti itu saya dapat ketika saya bercerita tentang Ubii yang saya sentil ketika Ubii melepas dan membanting alat bantu dengar (ABD) nya. Sempat saya berpikir, "Apa iya aku tega ya? Apa iya aku berlebihan?" Setelah berpikir dan melihat tujuan saya menyentil Ubii, menurut saya pribadi saya belum berlebihan. Pertama, karena Ubii sebaiknya dikenalkan dengan efek jera supaya ia bisa pelan-pelan mengehentikan kebiasaannya membanting ABD. Andai saja harga ABD tidak fantastis, tentu saya tidak akan se-strict ini. Saya sudah mencoba hal-hal lain sebelum akhirnya saya biasa menyentil Ubii. Saya coba menaikkan nada bicara saya. Tapi belum berhasil karena Ubii baru saja mulai mendengar jadi ia belum bisa memahami intonasi naik-turun atau tinggi-rendah. Saya mencoba memakaikan klip ke kaosnya. Ini juga belum bisa efektif karena kemampuan motorik Ubii baru sampai tengkurap. Ubii bisa duduk hanya kalau saya pangku saja. Dengan kebiasaannya yang tengkurap-telentang saja, klip sangat mengganggu aktifitas Ubii. Bisa saja sih saya paksakan, tapi saya juga harus mengejar ketinggalan motorik Ubii, tidak hanya ketinggalan fungsi dengarnya saja. Jika keleluasaan Ubii dalam bergerak terganggu kan Ubii jadi tidak bisa melenturkan dan melatih anggota tubuhnya lagi. Jadi pilihan itu pun terpaksa dicoret. Pilihan lain adalah dengan mencopotnya dulu saat Ubii bete atau terlihat capai memakai ABD. Saya ragu jika itu efektif karena saat Ubii sudah terlihat ceria lagi dan saya pakaikan ABD nya lagi, dia malah menjadi bete lagi. Plus, kadang-kadang waktu Ubii bete tidak bisa diprediksi. Saya belum bisa meresikokan pemakaian ABD yang tidak rutin atau tidak sering hanya karena menuruti mood Ubii. Jadi, saya yakin, Ubii pun di sini harus belajar untuk disiplin dan tau tentang efek jera.

Kedua, saya banyak mendengar bahwa anak-anak dengan gangguan pendengaran juga kebanyakan mengalami masalah pada emosinya. Cukup sering saya melihat anak seperti Ubii yang agak semaunya dan selalu harus dituruti jika meminta sesuatu. Saya sungguh takut jika Ubii seperti itu nanti jika saya biasakan untuk ia dimengerti dan dimaklumi. Mungkin ini hanya ketakutan saya semata. Tapi begini, mari bicara fakta, anak seperti Ubii yang memakai ABD kemungkinan besar tidak akan semudah anak yang sehat dalam mencari teman, mingle in a new community, dan menjalani hari-harinya. Sungguh, bukan saya ingin meragukan Ubii, atau membesar-besarkan, atau apa pun itu. Saya yakin Ubii nantinya bisa memiliki teman yang baik, bisa bertahan di sekolah, dan bisa mengikuti pelajaran pada umumnya. Tapi, apa iya ia bisa melakukan itu semua jika tidak disiapkan?

Fakta lain adalah hal-hal yang terjadi pada anak-anak kawan-kawan saya. Karena anak mereka mengenakan ABD, mereka diejek dengan sebutan 'budek', 'tuli', 'robot', 'cyborg' dan lain sebagainya. Lalu saya berpikir, jika Ubii terbiasa hidup di keluarga yang selalu memakluminya, selalu menyediakan kebutuhannya tanpa ia harus berusaha, dan selalu dimaafkan dengan mudahnya jika berbuat sesuatu yang kurang baik, lantas bagaimana ia bisa menjadi tough jika bertemu dengan bullying lisan seperti itu? Apalagi saya bercita-cita agar Ubii bisa bersekolah di sekolah inklusi. Ketika ia berada di tengah anak-anak yang normal, seberapa besar sih kemungkinan bahwa semua temannya tidak ada yang mengejek? Lain halnya jika ia bersekolah di SLB. Mungkin tingkat bullying lisan nya jauh lebih bisa diminimalisir karena mereka mengalami kondisi yang sama. Saya ingin Ubii tau bahwa ia tidak hidup di dunia yang penuh gulali dan harum manis yang selalu sweet dan menyenangkan.

Jauh sebelum Ubii memakai ABD, saya memang sudah membiasakan tegas pada Ubii. Buat saya pribadi, rasanya agak gemas melihat anak yang suka bermain dengan gadget orangtua nya lalu dijatuhkan sampai rusak tanpa ditegur. Atau, anak yang saat makan bersama sibuk mengganggu orang lain yang sedang makan dengan mengacak-acak makanannya tanpa dinasihati dan diberitahu bahwa itu tidak baik. Atau lagi, anak yang harus selalu dituruti kemauannya atau dia akan merajuk dan menangis tanpa air mata supaya kemudian dikabulkan permintaannya. It's a big NO for me. Saya setuju di usia emas anak harus dihujani dengan kasih sayang, pujian, dan apresiasi (bahasa Vicky). Namun, apa itu berarti ia sama sekali tidak perlu dikenalkan pada mana yang baik dan tidak baik, mana yang boleh dan tidak boleh dia lakukan, serta mana yang merugikan/menyakiti orang lain dan yang tidak? It doesn't go that way, I believe. Anak harus dicurahi kasih sayang? TENTU karena ia anak kita dan kita rela mati untuknya. Anak harus dihujani dengan pujian? YA jika ia melakukan hal baik. Anak harus diberikan apresiasi? BENAR untuk menunjukkan bahwa ia dicintai dan dihargai. Ketika si anak bermain-main dengan gadget orang lain lalu menjatuhkannya dan tertawa nyengir seolah itu lucu, anak mengacak-acak piring anggota keluarga lain yang sedang makan, ia harus tetap dipuji? I don't believe so. Lalu bagaimana ia belajar untuk menghormati orang lain dan barang milik orang lain?

"Santai saja, nanti di sekolah kan diajari juga sama gurunya."

Apa ada jaminan soal itu? Guru-guru di sekolah tentu tidak hanya fokus pada anak kita seorang. Sangat aneh juga rasanya jika kita lebih menyerahkan pendidikan moral anak kita sendiri pada orang lain. Pun pendidikan dasar seorang anak adalah dalam keluarganya. Anak  adalah peniru ulung. Jika di institusi mendasar hidupnya, yaitu keluarga, ia terbiasa melihat bahwa sesuatu yang kurang baik tetap dicintai, he'll grow up believing in that idea. 

Saya pernah membaca sebuah artikel parenting yang sangat mengena. Sayang saya tidak mencatat sumbernya. Si penulis adalah seorang ibu yang mempertanyakan apakah ketegasan terhadap anak itu penting. Ia memaparkan kebiasaan orang tua di Indonesia dan orang tua di Prancis (kalau tidak salah) karena ia bermukim di Prancis. Di Prancis, ibu-ibu yang melihat anaknya menangis kesakitan saat diimunisasi biasanya berkata, "Ditahan sakitnya, imunisasi kan baik untukmu." Di Indonesia, ibu-ibu akan berkata, "Duh sakit ya? Maaf ya nak kamu harus kesakitan."

Bandingkan bedanya.

Ibu itu meyakini bahwa anak pun harus belajar mengenal rasa sakit dan rasa yang tidak menyenangkan lain karena inilah hidup. Tidak mungkin kita bisa menjalani hal yang enak-enak saja, bukan? Untuk apa kita sebagai orang tua meminta maaf jika ia kesakitan? Hal apa yang ingin dibangun pada anak jika kita terbiasa memintamaaf jika ia mengalami hal yang menyakitkan, mengecewakan, atau menyedihkan? Kapan ia akan belajar tough? Lalu, ibu tersebut menulis bahwa 'anak-anak di Indonesia adalah raja-raja kecil, mereka terbiasa dilayani dan diambilkan kebutuhannya sehingga ia menjadi malas, manja, dan tidak mandiri.'

I personally couldn't agree more. Sudah banyak sekali anak-anak yang saya temui dibiasakan hidup dilayani. Mau makan dan minum diambilkan. Setelah bermain, mainannya dibereskan oleh orangtua/pembantu. Ketika menumpahkan sesuatu, tumpahan segera dibersihkan oleh orangtua/pembantu tanpa mengajak si anak ikut serta membersihkan. What's the difference between our kids and princes, then?

Tempo hari, saya membaca message kawan SMA saya yang kini tinggal di Jepang. Amel namanya. Amel menceritakan tentang anak-anak sekolah di Jepang. Menurut Amel, di Jepang semua anak berjalan kaki ke sekolah. Kebiasaan itu dimulai dari TK. Saat mereka sudah mulai masuk SD, mereka membawa tas yang berat dan mendapat banyak PR. Itu merupakan suatu hal yang sangat lumrah. Mari kita sedikit bandingkan dengan yang terjadi di sini. Saat mendapati anaknya mendapat banyak PR, ada saja ibu yang berkata, "Duh kasian kamu nak, tasnya berat, PRnya kok banyak banget, gila ya gurunya." Menurut Amel apa yang salah dengan anak mendapat PR? Toh kewajiban anak sebagai seorang pelajar adalah belajar, bukan? Berapa banyak sih anak yang punya kesadaran sendiri untuk belajar atau minimal mengulang pelajaran di sekolah jika tidak mendapat PR? Saya sependapat dengan Amel.

"Ya iyalah anak-anak Jepang begitu. Di sana kan hawanya enak, jalan kaki juga aman. Nah di sini? Banyak polusi begini. Lagian kurikulum di Indonesia kan memang memberatkan pelajar. Kadang anak terlalu dipaksa untuk belajar padahal pelajaran itu belum tentu terpakai. Seperti misalnya pelajaran Geografi yang harus menghafalkan ibu kota dari banyak negara atau peta buta. Buat apa coba? Kan anakku nggak pengen jadi dosen atau ahli peta."

Ya. Itu juga saya akui benar. Kurikulum di Indonesia memang kurang friendly pada anak-anak. Tapi, apa berarti solusinya dengan memaklumi jika si kecil malas membuat PR? Bisa kok kita encourage anak untuk membuat PR dengan cara yang menyenangkan. Misalnya dengan ditemani atau disela dengan permainan-permainan seperti tebak-tebakan dan lain-lain. Ya memang kurikulum di Indonesia masih seperti ini. Can you change that? If you can't change that, just accept that and go with it. Stop complaining. It changes nothing.

Amel juga menyinggung tentang kebiasaan orang tua jaman sekarang yang membekali anaknya dengan gadget. Menurut Amel, memang anak harus dikenalkan pada gadget supaya ia tidak menjadi gagap teknologi. Tapi apa iya itu berarti kita harus selalu mengijinkan mereka bermain dengan gadget? Mungkin akan lebih bijaksana jika kita memberi waktu khusus pada anak; kapan mereka boleh bermain dengan gadget dan kapan mereka harus berhenti. Lagi-lagi, saya sependapat dengan Amel. Menurut artikel yang pernah saya baca, gadget juga membawa beberapa dampak buruk bagi anak. Anak jadi kurang waktu untuk bersosialisasi dan anak jadi terbatas untuk mengexplore dunianya, serta mengexplore kemampuan motorik halus dan kasarnya.


Menurut saya, menjadi tegas itu perlu karena di situ lah kita menanamkan peraturan dan norma untuk ditaati. Menjadi tegas bukan berarti jahat asal tau bedanya dengan galak. Saat kita galak, kita ingin memberi pelajaran pada anak karena kita emosi dengan apa yang dilakukannya. Saat kita tegas, kita bisa tetap tenang saat kita menegurnya. Kita menegur tanpa membentak apalagi menghardik. Menegur tidak sama dengan mengomel. Menjadi tegas tidak melulu harus dilakukan dengan main tangan. Intonasi yang naik, memanggil namanya dengan nada yang berbeda, atau memberinya waktu untuk duduk diam sendiri tanpa ditemani orang lain dan mainannya juga merupakan bentuk tegas.

Jadi kenapa tegas itu selalu dikaitkan dengan 'tega'? Melihat anak kita tumbuh jadi anak yang nakal, tidak tau kapan harus duduk diam, suka merebut mainan temannya, makan sambil berlari-lari, dan akhirnya mendapat masalah sosial, itu bukan lebih 'tega' lagi?

Love,

No comments:

Post a Comment

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^