Thursday, November 12, 2020

Mengapa Jarang Bercerita tentang Ubii


Sering sekali saya mendapat pertanyaan semacam ini, atau komentar seperti "Kangen sama Ubii, udah lama nggak liat di medsos." Jawaban diplomatisnya adalah karena saya share apa yang saya ingin share, lol.

But deeper than that, hmm let's see.

Satu hal yang perlu digarisbawahi terlebih dulu adalah jarang menceritakan Ubii bukan berarti tidak sayang lagi. Lebih sering mengunggah cerita dan foto tentang Aiden bukan berarti lebih memilih untuk lebih menyayangi Aiden ketimbang Ubii.

Misal ada orang yang punya prinsip nggak post foto bersama suami/istri sesering itu. Apa berarti nggak sayang? Nggak juga kan ya.

Bicara rasa sayang, tentunya orangtua sayang sama anak-anaknya, walau mungkin dengan cara dan ekspresi yang berbeda-beda. Kadar rasa sayang, menurut saya, nggak bisa benar-benar dapat diukur karena emosi menyayangi itu nggak hitam dan putih.

Saya perlu jujur pada diri sendiri mengenai apa yang saya rasakan. Realita nya, semakin Ubii bertambah usia, memang semakin menantang pula mengasuhnya. Ini karena pertambahan usia, ukuran badan, dan kekuatan nya tidak dibarengi pula dengan progress yang signifikan dalam kognisi dan kemampuan motorik.

Tubuhnya seperti anak usia 8 tahun lain (mungkin lebih kecil), tenaga sudah kuat saat meronta, tapi pemahaman masih seperti anak batita. Contoh yang sering bikin saya sedih adalah, dia belum paham bahwa pup itu kotor. Jadi setelah pup di diaper, kalau kami orang rumah nggak segera sadar, dia akan masukin tangan ke diaper, merogoh pup, dan bawa pupnya ke mulut. Dijilat-jilat, dikecap-kecap. More often than not, selain ke mulut, Ubii juga akan peperin pup ke tubuhnya dan ke sekitarnya seperti tembok, lantai, karpet puzzle, dan mainan di dekatnya.

Kalau hanya tau hal seperti ini dari cerita, mungkin emosi yang kalian rasakan adalah jijik, iba, miris, atau malah lucu? Lol. But dealing with this experience on daily basis takes so much energy. Nggak hanya cebokin dan ganti popok kan. Tapi harus mandi ulang karena tubuhnya penuh pup. Lalu lap-lap tembok yang kena pup, pel lantai, cuci mainan atau sprei yang kena pup, dan dealing with the shitty odor.

Pup anak umur segini tuh udah bau yah, beda sama pup bayi. Kalau hanya di diaper doang, biasanya bau nya nggak terlalu mengusik. Tapi kalau udah kepeper di lantai, tembok, dll dalam kamar, trust me, the odor tends to stick walau udah disemprot pewangi setengah botol sekalipun.

That's just about the poop. Then there another things that can make her cranky and finally having tantrum. Hal-hal yang belum dia mengerti mengapa nggak bisa dikasih atau nggak bisa terjadi. Contohnya: Masih pengen mandi (padahal udah lama banget) lalu digendong untuk disudahi. Liat Eyang dateng lalu pulang, karena dia ingin ikut pergi (bosen di rumah). Di mobil menuju arah pulang abis jalan-jalan karena emang udah waktunya pulang, karena dia masih belum ingin balik. Etc.

Di sisi lain, yes, it's a progress sebenernya. Bahwa artinya dia sudah lebih mengenali beberapa hal yang terjadi. Hapal jalur pulang, misalnya. Ingin eksplorasi sensory mblenyek-mblenyek dengan mainin pup, misalnya. Tergantung dari kacamata mana mau memandang sih. Tapi yang jelas, progress seperti itu dateng sepaket dengan konsekuensi menghadapi tantrum nya dan perilaku lain yang challenging.

Terakhir saya menulis tentang Ubii adalah Juli 2019, judulnya Feeling Helpless. Baca di sini.

Di tulisan itu, saya menulis begini:

"Ubii bukannya lebih kalem, tapi justru lebih heboh tantrumnya. Nangis ini nulisnya, capek. Dua bulanan ini kali ya, frekuensi tantrum nya malah lebih sering. Durasi tantrum juga lebih lama. Plus lebih heboh. Nangis dan teriak-teriak lebih keras. Yang kalau orang nggak sengaja denger dari luar rumah, mungkin ngiranya Ubii diapain, dikasarin."

Ini udah November 2020, udah setahun lebih, but the situation isn't much different. Malah kinda worse, karena ini ketambahan dia bosan di rumah. Yang sebelumnya 3 hari seminggu terapi dan 3 hari seminggu sekolah, sekarang sudah setengah tahun lebih di rumah aja. You can imagine, or can't you?

So, in short, meningkatnya frekuensi, durasi, & intensitas cranky tidak dibarengi dengan meningkatnya kemampuan menunjukkan ekspresi emosi dengan cara lain. Hence, tantrum nangis lama, teriak-teriak lama, mukul-mukul tembok, atau jambak rambut sendiri, atau jedugin kepala.

Dari awal, sebetulnya saya sudah menghadapi aneka challenge terkait mengasuh Ubii. Tapi rasanya berbeda. Dulu, challenge nya lebih tentang capek dengan therapy routine, capek antri di RS untuk monthly check up atau tes kesehatan, capek gendong, I suppose. Dulu yang sebelum tahun lalu kan masih nggak banyak tantrum dan lebih pasif. Capeknya lebih ke badan dan ke kantong, lol.

Sekarang challenge nya lebih tentang menata emosi saat menghadapi perilaku Ubii. Juga tentang belajar ikhlas lagi menghadapi realita bahwa Ubii ternyata seterlambat ini perkembangan pemahaman dan kemampuan motorik nya. Belajar ikhlas lagi bahwa 8,5 tahun masa berobat dan terapi ternyata kami masih "di sini-sini aja." Masih menabung iklhas dan legowo bahwa hampir 300 juta untuk pasang cochlear implant (CI) ternyata nggak membawa perubahan signifikan.

Ubii pasang CI saat usianya 4,5 tahun. Sebelum pasang CI, saya masih mengira bahwa perkembangan Ubii hanya terlambat-terlambat 'biasa' yang someday akan bisa dikejar semua seiring berjalan waktu. Entah apa namanya itu. Mungkin naif, mungkin denial, mungkin kurang banyak baca, mungkin mendustai diri sendiri. Kami, saya dan Adit, barulah menyadari bahwa kondisi disabilitas intelektual Ubii segininya setelah mungkin dia usia 5 atau 6 tahun. Setelah fisiknya semakin besar dan bertumbuh, jadi semakin terlihat pula 'ketinggalan-ketinggalan' atau 'PR-PR' nya dia.

Saya dan Adit baru bicara hati ke hati tentang ini kayaknya setelah Covid19 deh. Dia akhirnya bisa WFH dari Jogja sehingga kami punya lebih banyak kesempatan untuk ngobrol berdua. Kami sama-sama menyadari ini sudah cukup lama, tapi baru benar-benar kami bicarakan verbal secara proper ya belum lama. Kami sama-sama mengakui bahwa kami berdua terus menunda bicara tentang ini, because it hurts. Dan kami nangis sama-sama. After that, ada lega.

Sama Adit yang suami saya sendiri aja ternyata nggak mudah bagi saya untuk bicara ini. Apalagi di blog, di media sosial, pada orang-orang yang saya nggak merasakan ada kedekatan emosional.

Saya tidak anti terlihat mengeluh atau lemah. Tapi saya malas cerita-cerita beginian di tulisan media sosial. Karena menuliskan nya pun, sebetulnya nggak gampang buat saya. Saat menulis, otomatis sambil mereka ulang kejadian-kejadian menantang di kepala, and it drains me. Mau cerita apa lagi kalau almost every single day yang terjadi adalah peristiwa-peristiwa menantang hehe.

Kalau mau cari engagement belaka, sebetulnya saya bisa banget terus posting tentang Ubii. Semua post IG saya yang ada atau menceritakan Ubii pasti banyak likes dan comments. Jauh lebih gampang dapet engagement ketimbang post-post parenting yang saya bikin lebih effort dan ada 'isi' nya. Tapi kalau itu nggak bikin saya merasa peaceful, then I'm not gonna do it, apalagi only for the sake of so called engagement.

Satu kata yang mewakili perasaan saya tentang Ubii 2 tahun belakangan ini adalah: challenging. So I choose to share hal-hal lain saja yang tidak bikin saya drained saat menuliskan nya. I'm doing it for my emotional health. Cukup lah drained di keseharian, nggak perlu juga drained di proses kreatif bikin konten karena sekarang content creating itu saya jadikan sarana belajar membuat rangkuman hal yang sudah saya pelajari, sarana kreatif ngoprek desain, dan sarana hiburan share hal yang bikin saya excited atau senang.

I don't give up on her, it's true. Saya dan Adit hanya sudah lebih mampu mengelola ekspektasi. Berdoa, tentu. Saya masih percaya kalau Tuhan berkehendak, apapun bisa terjadi. Tapi rasanya bagi kami, penting juga untuk berpikir dan bersikap realistis, menyadari kapasitas kami, dokter, dan terapis sebagai manusia.

And of course, gimana pun, saya bersyukur bahwa Ubii sudah mengajarkan banyak hal pada saya. Memiliki Ubii membuat saya belajar mensyukuri hal-hal sederhana, menuntun saya lebih rendah hati dan lebih mengandalkan Tuhan, serta belajar mengupayakan hubungan dengan Adit. Karena Ubii, saya bisa sampai ke mana-mana bicara tentang pengalaman hamil dengan Rubella. It's all her. Dan, berkat Ubii, saya belajar menjadi orangtua, sehingga Aiden berkesempatan punya ibu yang sudah lebih siap.

Bicara kekhawatiran, ada banyak sekali. Kalau mau bicara jauh ke depan, siapa yang mengurus dan menghidupi Ubii saat saya dan Adit sudah berpulang? Apakah Aiden? If yes, bagaimana kelak Aiden memandang tanggung jawab ini? And so on, and so forth. Jangka lebih pendek dan probabilitas lebih dekat, khawatir saat jalan-jalan lalu Ubii pup dan nggak ada toilet difabel, segimana sumpek dan sempit pas nyebokin nya. I could go on and on if I want to.

But I'm done worrying too much. I have a life on my own and I want to enjoy my todays.

And I hope you too! :)



Love,



14 comments:

  1. Peluuukk eonniee!!!!
    Partnerku daebaaakkk, aku bisa merasakan ketusanmu itu 😘😘

    ReplyDelete
  2. Aku tau rasanya mba Gesi, bersihin pup yang di coret-coret di tembok, pintu, kasur, lemari, lantai, dan segala sesuatu yang disentuh adek saya. Adek saya laki-laki, kayaknya ya sekitar umur 8 tahunan deh juga kaya gitu. Adek saya autis, microsefali.

    Baca postingan mba Gesi, tuh, throwback. Yes, i did. Capeek, capeeek banget pasti mba. Saya yang sebagai kakak aja kesel sebel, ga kebayang Umi saya dulu capeknya sebegimana.

    Adekku sekarang udah 22 tahun mba, mungkin memang level intelektualnya jauuuuuh banget sama orang normal, tapii, sekarang lebih mudah dihandle. Orang tua juga sudah tambah tua.

    Mba Gesi, ngga sendiri, kok! Makan yang enak, buat konten yang menenangkan hati dan pikiran mba, cerita tentang apaa aja yang mba pengen {{}}.

    ReplyDelete
  3. Love U Ges n Adit, Ubii n Aiden ❤️😍

    ReplyDelete
  4. Kuatnya mami geci.. makasi sudah sharing.. huggg 💕

    ReplyDelete
  5. *hugs.
    gracemelia.com sudah aku save bookmarks di laptop sudah setahun.
    terimakasih sudah berbagi ya mba Gesi..

    ReplyDelete
  6. Peluk momi gesi... semoga selalu diberikan kemudahan dan juga kebahagiaan dari arah2 yang lain ya 💕

    ReplyDelete
  7. Cuman pengen peluk ������

    ReplyDelete
  8. kangen Gesi tetiba mampir di tulisan ini, hanya ingin peluk erat Ges, kamu dan Adit adalah orangtua yang kuat, jangan lupa jaga kesehatan ya :) Share ya membahagiakanmu :)

    ReplyDelete
  9. kangen banget sama mba gesi, mampir tulisan ini langsung berkaca-kaca....strong Mom!!

    ReplyDelete
  10. Selalu menunggu lanjutan kisah ubi.. Tulisannya enak dibaca😍

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^