Thursday, July 17, 2014

Ekoyunia, Berbagi Tanpa Perlu Menunggu Ramadhan

Ramadhan memang identik dengan berbagi. Berbagi rezeki, waktu, tenaga, dan pikiran. Atau apa pun, asal bukan berbagi pasangan. Err. Sebagai non-Muslim, mungkin saya nggak punya kenalan sosok yang berbagi di sekitar masjid. Tapi saya ingin berbagi tentang sosok ini, yang setau saya selalu mau berbagi, terutama untuk anak berkebutuhan khusus, tanpa peduli kapan, tanpa harus menunggu Ramadhan.
Sumber
Saya memanggilnya Mbak Nia. Ia adalah fisioterapis Ubii anak saya. Saya sudah mengenal wanita kelahiran 12 Juni 1984 ini kurang lebih 1,5 tahun. Untuk tulisan ini, saya melakukan wawancara kecil sambil menunggui Ubii fisioterapi.:)


Saya rasa semua teman-teman Muslim pasti ingin menyambut Ramadhan dengan suka cita maksimal. Salah satunya dengan tarawih. Tarawih bersama di masjid tentunya membuat suasana Ramadhan lebih terasa. Tapi Mbak Nia sudah puas dengan shalat di rumah, karena ia tetap bekerja di waktu tarawih. Alasannya, "Ndak tega Bu kalau banyak yang ndak kebagian jatah terapi."

Kalau boleh jujur, jawabannya membuat saya heran. Kayaknya dedikasi Mbak Nia nggak kurang. Setiap Senin-Sabtu ia memberi fisioterapi di sebuah rumah sakit mulai jam 8 pagi sampai 12 siang. Setelah itu berlanjut di sebuah klinik pribadi seorang dokter sampai jam 9 malam. Istirahat dan makan siang dilakukan di rumah sakit atau klinik. Jadi Mbak Nia baru pulang ke rumah di atas jam 9 malam. Pernah beberapa kali baru selesai jam 10.30 malam. Lagi-lagi alasannya, "Ndak tega Bu karena pasien dari luar kota."

To my surprise, hari Minggu yang biasanya kita pakai untuk off dari urusan kerja pun masih dipakai untuk membagikan kemampuannya sebagai fisioterapis. Ternyata sering ada pasien yang datang ke rumah hari Minggu. Terus kapan istirahatnya? Lagi-lagi jawabannya, "Ndak tega Bu apalagi kalau pasien dari luar Jogja."

Saya memang orangnya kepo. Jelas saja saya tanya,

"Emang nggak capek, Mbak?"

"Sudah biasa, Bu."

"Emang kalau bulan puasa tetap harus nerapi sampai malam? Ndak boleh cuma sampai jam 5 gitu? Biar bisa buka di rumah terus tarawih."

"Boleh kok, Bu. Sebetulnya Prof (sebutan untuk dokter di klinik tempat Mbak Nia fisioterapi) itu terserah saya. Saya mau nerapi sampai jam berapa. Cuma sampai sore ya boleh. Wong misale saya mau libur nerapi di klinik selama bulan puasa aja boleh kok."

"Lhah...terus kenapa tetep full, Mbak? Masa ya ndak pengen tarawih?" (Saya masih ngotot).

"Kemanusiaan, Bu. Kasian yang ndak dapet jam (untuk fisioterapi). Kalau libur fisioterapi terus jadi kaku. Kalau kaku itu rasanya ndak enak, nyeri. Nanti rewel, nangis terus."

Maklum ya kalau saya ngotot. Selain memang saya ngotot-an (HAHA), saya lihat menerapi anak nonstop dari pagi sampai malam itu jelas butuh tenaga. Lha wong saya menerapi Ubii di rumah yang cuma setengah jam saja kadang capek. Padahal cuma setengah jam. Padahal cuma satu anak. Sedangkan Mbak Nia dari pagi sampai malam dengan durasi masing-masing anak selama satu jam. Belum kalau anaknya rewel sehingga Mbak Nia butuh tenaga ekstra untuk menenangkan. Belum kalau gigi anak sudah tumbuh sehingga jari Mbak Nia digigit saat terapi oral. Bahkan pernah jarinya sampai berdarah sangking dahsyatnya gigitan si anak. Belum kalau ada anggota keluarga yang menunggui anak fisioterapi yang nggak tegaan terus jadi menyalahkan Mbak Nia karena menganggap Mbak Nia menyakiti si anak. Biasanya sih ini para Eyangs. :))


Tentang dianggap menyakiti karena Eyang nggak tega-an sudah bukan hal baru. Pernah ada Eyang yang sontak menyuruh Mbak Nia berhenti  karena cucunya nangis. Pernah ada Eyang yang cucunya kebetulan demam sehari setelah fisioterapi, lalu jadi menyalahkan Mbak Nia. Ada juga yang lebih ekstrim. Ada Eyang yang sangking nggak tega nya, nggak memperbolehkan si cucu untuk fisioterapi lagi. Padahal jelas motorik si cucu terlambat. Hmm......


Namanya pekerjaan pasti ada suka dan dukanya. Menurut Mbak Nia suka yang ia rasakan adalah saat ia masuk di Kick Andy episode Ubii menjadi narasumber. Nggak dink, bercanda. Suka yang ia rasakan adalah saat ia tahu kalau ada anak yang mengalami kemajuan. Dan memang, saya yakini itu benar. Buktinya, setiap Ubii ada kemajuan, padahal kecil sekali, yang mungkin buat orangtua dengan anak normal bukan dianggap sebagai kemajuan, selalu ditanggapinya dengan mata berbinar. Kalau Ubii nggak menangis saat fisioterapi atau merespons fisioterapi dengan baik, Mbak Nia selalu memberikan pujian sederhana pada Ubii. Apresiasi sederhana itu membuat saya makin semangat padahal mungkin saya berangkat dengan hati kusut atau badan capek. Nah, dukanya Mbak Nia akan merasa ikut sedih kalau si anak nggak mengalami kemajuan.


When we do something wrong, people judge us. When we do something right, people still judge us. Itu dialami sendiri oleh Mbak Nia. Dedikasinya yang tinggi sampai mengorbankan waktu tarawih, ternyata dianggap karena Mbak Nia mengejar materi semata oleh beberapa orang. Mbak Nia menganggapi itu dengan woles santai. "Kalau saya ngejar materi, ya saya dah buka praktik sendiri aja dari dulu toh, Bu," ujarnya ringan. Ada lagi kejadian yang kurang mengenakkan yang pernah ia alami di bulan Ramadhan. Pernah H-1 Idul Fitri, ada ibu yang mengirimkan SMS pada Mbak Nia karena ingin anaknya fisioterapi. Apesnya, saat itu HP Mbak Nia sedang rusak dan mati seharian. Ibu tersebut tampaknya sakit hati. Seminggu kemudian, SMS bernada kurang enak diterima Mbak Nia dari ibu tersebut. Bunyinya:

Sebagai tenaga medis Anda harusnya selalu siap kapan saja. Saya sekarang sudah menemukan terapis yang jauh lebih baik dari Anda.

Jujur saja, saya sebagai sesama ibu pasien ikut gemas. Fisioterapi bukan sesuatu yang urgent. Beda dengan misalnya anak jatuh dari tempat tidur lalu muntah, sesak napas, atau kejang hebat. Kalau ditolak oleh UGD, wajar kita marah sebagai ibu. Lagipula, misalkan di H-1 Idul Fitri Mbak Nia memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarga nya pun toh sah-sah saja dan wajar banget, kan?

Itulah sekelumit cerita tentang Mbak Nia yang bisa saya bagikan. Dari Mbak Nia, saya belajar bahwa apa pun yang dilakukan dari hati akan terasa menyenangkan. Dari Mbak Nia, saya belajar bahwa ketika kita melakukan sesuatu dari hati, kita akan merasa ikut bertanggungjawab terhadap kebaikan sehingga melakukan yang terbaik. Dari Mbak Nia, saya belajar bahwa nggak ada batasan untuk berbagi. Dari Mbak Nia, saya belajar bahwa berbagi selalu bisa dilakukan kapan saja, tanpa perlu menunggu datangnya Ramadhan.





12 comments:

  1. salam cium untuk Ubii, Mami Ubii, dan Mbak Nia :)

    ReplyDelete
  2. Ubii dan Mak Gesi beruntung bisa kenal Mbak Nia sebagai terapis berdedikasi. :)

    ReplyDelete
  3. Aih... bagus sekali tulisannya Mak Gess... Terus menginspirasi ya. :))

    ReplyDelete
  4. bekerja dengan hati memang menyenangkan n hasilnya memuaskan...
    mak gess tulisannya bagus sekali :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh, makasih Mak. Jadi tersipu-sipu deh ekeh :p

      Delete
  5. Ini tho pahlawannya Ubiiku :')
    Titip selamat lebaran dong buat mba Nia.. semoga setiap sentuhan yang dia kasih untuk para pasien, dibalas surga sama Allah :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin amin amin doanya. Doakan ya, Pung, Mba Nia lagi berusaha punya momongan nih :))

      Delete
  6. Assalamu'alaikum...
    Terima kasih sudah berbagi cerita inspiratif ini, ya!
    Good luck! ^_^
    Emak Gaoel

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^