Wednesday, August 9, 2017

What I Recommend You: Single Or Married?

Yang sudah sering berkunjung ke blog ini dan sering baca postingan berlabel marriage, mungkin udah pada tahu bahwa saya dulunya nggak kepikiran untuk menikah sama sekali. Saya kecebur di pernikahan. Alasan nya juga udah pernah saya tulis. Baca dulu aja lah yah biar bisa relate.



Adit juga sama aja kok. He also didn't think about marriage at the first place. Jadi, waktu dapet request tema dari @logophile_est2016: what I recommend you, single or married? Saya mikir lumayan keras. Itu request tema buat Adit di Diari Papi Ubii sih. Tapi saya nggak tahan kepengin nulis. Hahaha.

Jadi, married atau single? Thank you for the idea yah @logophile_est2016 muah!


Baca juga punya Windi Teguh yah. Ini kami jadikan bahan #GesiWindiTalk


What I recommend you, married or single itu pertanyaan yang nggak bisa saya jawab dengan singkat. Jadi mungkin tulisan ini bakal panjang yah. Hahaha.

Jumping topic dulu. Bulan lalu, saya pernah diinterview sama Hipwee. Ada satu pertanyaan kurang lebih begini:
Mbak Gesi sama Mas Adit itu beneran ya beda banget? Terus kalo lagi bareng, ngobrolin apa dong? Masa sih bisa tetep awet kalau kita beda banget sama pasangan?
Iya, saya dan Adit itu beda banget. Ini udah sering saya ulang deh sampai mungkin kalian udah bosen baca nya hahaha. Kalau cuman lihat dari media sosial ya nggak akan tahu. Yang bisa ngerasain sendiri itu adalah orang yang pernah jalan bareng saya tanpa ada Adit dan pernah juga hang out bareng Adit tanpa ada saya. Contohnya, Icha. Topik obrolan nya beda banget. Tanya aja sama Icha beda nya gimana yah. Hahaha.

That alone combined with saya dan Adit beda suku, beda budaya, beda agama, harusnya bisa jadi perfect combo saya  dan Adit punya sejuta alasan untuk nyanyi lagunya Krisdayanti, I'm Sorry Goodbye.

But we hang on. Iya, memang, ada alasan besar demi anak, for sure. Tapi satu resep terbesar kami bisa tetap sampai hari ini adalah:

Kami tidak memaksa satu sama lain untuk berubah dengan dalih biar kamu lebih ngertiin aku, biar kita lebih nyambung, karena istri kan harusnya ikut suami, kan lebih enak kalau satu selera satu hobi, and whatnot.

Saya nggak memaksa Adit harus suka Ed Sheeran. Adit nggak memaksa saya baca buku Haruki Murakami. Saya nggak memaksa Adit harus nyambung dan ikutan hangout sama teman-teman saya. Adit nggak memaksa saya harus mengikuti cara beribadahnya dan sebaliknya.

Saya pernah minta Adit coba baca Miiko. Adit pernah minta saya coba dengerin playlist nya yang bahkan saya udah lupa judulnya apa dan penyanyinya siapa. But that's it. Coba doang. Nggak harus suka juga. Bebas bilang, "Ah apaan sih ini wek" di tengah jalan lalu berhenti.


Baca: My Recent Playlist

Adit bukan tipe orang yang pinter cari bahan obrolan sama orang baru makanya dia jarang banget mau ikut saya meet up sama teman-teman. Saya udah bilang, "Nanti mereka pada bawa suami kok, jadi kamu bisa ngobrol sama suami suami" tapi dia tetep nggak nyaman. Jadi yaudah, kenapa harus dipaksa nemenin?

Jadi kalau kami berdua, kami bahas apa? Ya apa aja yang bisa dibahas berdua dan sama-sama nyambung bin excited, kayak misalnya film. Atau saya dan Adit akan rant masing-masing cuma biar lega dan yang lain nya dengerin doang. That's enough already.

Kami beda di banyak hal, tapi itu cuman hal-hal sepele doang. Untungnya, mostly kami satu suara untuk keputusan-keputusan yang besar seperti misal sekolah macam apa yang akan kami sasar untuk Aiden, bagusan kami ngikut Adit ke Jakarta atau tetap stay di Jogja, nanti anak-anak mau diajarin agama apa, dan lain-lain.

So, yeah, our difference is not really a big deal sebenernya. And that's why at that point, I consider myself lucky.

Kalau ditanya mending single atau married, saya akan jawab married KALAU kita dan pasangan ternyata satu prinsip untuk banyak keputusan besar.


Saya nggak kebayang bakal gimana menyikapi kalau saya dan Adit berbeda dalam urusan prinsip hidup, prinsip rumah tangga, dan prinsip sebagai orangtua. Nggak kebayang gimana cari jalan tengah nya. Harus ada salah satu yang mau mengalah sih, jelas. Tapi harus mengalah sampai kapan? Apa nggak capek kalau mengalah terus? Apalagi kita tinggal di tempat di mana mostly yang pegang kendali itu laki-laki. Apa nggak pengap juga lama-lama kalau harus ikut kata suami terus sementara istri pengin nya beda?

Saya sama sekali nggak menyesali akhirnya saya menikah karena suami saya adalah Adit.

Kalau suami saya bukan Adit yang prinsip nya 11-12 sama saya, belum tentu saya nggak menyesali keputusan menikah.

Kalau masih pacaran doang, belum resmi suami-istri, dan ternyata prinsip hidupnya beda banget, mendingan nggak usah nikah dulu sama yang itu. Mending cari orang lain yang lebih satu suara untuk urusan prinsip. Menurut saya loh.

Buat saya, setelah 5 tahun menikah, ternyata menikah itu perkara serius. Menikah bukan sekedar biar terhindar dari zina, pengin punya keturunan, atau karena tuntutan usia (dan keluarga).

Suami itu memang kepala dan imam. Itu nggak saya pungkiri yah.

Tapi, suami juga adalah partner menjalani hidup. Partner membesarkan dan mendidik anak. Partner curhat. Partner berhubungan badan. Partner cari rezeki. Partner segalanya.


Saya banyak banget loh dicurhatin orang-orang. Entah apa yang bikin saya terlihat curhatable, sebenernya saya juga bingung serius! Dan, ini beneran terserah percaya atau nggak, jumlah pencurhat yang nggak bahagia sama suaminya itu lebih banyak ketimbang yang bahagia.

Mau nggak mau, pengalaman terima curhatan bertubi-tubi kan membentuk pemikiran saya juga. Makanya saya akhirnya makin percaya bahwa menikah itu perkara besar dan it'll be so much easier kalau punya pasangan yang prinsip nya sejalan sama kita.

Hobi, selera, kebiasaan boleh beda dan menurut saya aman-aman aja kalau beda nya cuman itu. Tapi, prinsip dealing with kehidupan mendingan yang sejalan.

😭 Ada istri yang pengin anaknya imunisasi, tapi suami nya aliran imun is asi.
😭 Ada istri yang jiwa nya itu kerja di kantor karena butuh eksistensi dan achievement, tapi suami nya saklek istri itu karirnya ya cukup jadi ibu rumah tangga di rumah.
😭 Ada istri yang pengin hidup mandiri, nggak apa-apa kontrak rumah petak, tapi suami nya maunya tinggal sama ibu nya.
😭 Ada istri yang keukeuh pengin tinggal pisah dari mertua karena mertua nya terlalu ikut campur, tapi suami nya apa-apa ke ibu nya.
😭 Ada istri yang pengin punya anak banyak, tapi suami mau nya satu anak cukup.
😭 Ada istri yang capek hamil, tapi suami nggak mau stop punya anak sampai dapat anak laki-laki.
😭 Ada istri yang nggak pernah dapet orgasme, tapi nggak berani mau bilang sama suami.
😭 Ada istri yang rindu disentuh, tapi suami punya problem di ranjang dan nggak mau minta professional help.
😭 Ada istri yang cemburuan banget dan pengin nya suami nggak boleh punya teman wanita, padahal di kantor mostly temen-temen suami itu perempuan.
😭 Ada istri yang pengin open up tentang kondisi anaknya yang punya special needs, tapi suami larang-larang dan suruh untuk sembunyiin anaknya aja.
😭 Ada istri yang pengin resign dari kantor, tapi suami nggak bisa liat perempuan cuman di rumah.
😭 Ada istri yang pengin suami bantu urus anak dan rumah, tapi suami aliran yang lelaki harusnya nggak pegang urusan dapur, suami harusnya dilayani full.

Aduh banyak!


Saya awali semuanya dengan istri ya karena yang curhat sama saya kan ibu-ibu. Aman nya memang curhat nggak sama lawan jenis kan.

Saya akan bilang, "Okay, I recommend you to get married aja" hanya kalau kamu udah menemukan calon pasangan yang bisa jadi partner hidup dan jadi teman. Yang prinsip hidup nya nggak beda-beda amat sama kamu. Yang kamu nggak harus ngalah melulu.

Maybe that's why I get along with Adit up until now. Walau tentu ada pertengkaran dan kerikil, tapi kami membawa bahtera ini ke arah yang sama.

Adit bisa memposisikan saya sebagai teman sehingga dia nggak segan mau cerita apa pun termasuk cerita abis nonton video ena-ena di internet karena kebutuhan biologis memanggil, abis dihubungi sama mantan nya, abis nggak sengaja ketemu temen perempuan semasa kuliah dan berakhir ngopi bareng, dan lain-lain. Saya juga nggak segan mau cerita apa aja termasuk celetukan-celetukan remeh, "Ya ampun, cowok itu ganteng banget. Ganteng nya tipeku banget, Pi!" dengan santai atau "Ah aku lagi males hehehe, kita nonton film aja yuk" saat Adit pengin mesra-mesraan.

Baca: Berteman Dengan Mantan Pacar

Saya merasa satu level dengan Adit. Saya merasa berharga dan merdeka. Adit tahu bahwa saya menghargai dia tanpa saya harus selalu yang melayani dan mengambilkan ini itu. Saya merasa dianggap sebagai satu entity. Grace Melia Kristanto yang bukan istri nya siapa dan ibu nya siapa.

Baca: Mengimbangi Suami

Baca: Diari Papi Ubii #19 - Memangnya Suami Perlu Diimbangi?

Itu kalo lagi berdua yah. Kalau lagi sama anak-anak ya of course saya pasti ditreat sebagai Mami nya Ubii dan Aiden lah.

Saya akan bilang, "Wait, you don't have to get married now" kalau kamu belum menemukan partner hidup kayak yang saya jembreng di atas.

Saya akan bilang, "Wait, are you really sure to get married now?" kalau alasan kamu menikah 'hanya' untuk punya keturunan, menghindari zina, disuruh orangtua, malu sama tetangga, udah kelompatan 2 adik, dan sebangsanya. Mendingan 'telat' nikah daripada salah pilih partner hidup.

Because, I seriously think that menikah is really a big deal. Ya ampun ini saya sampai ulang terus hahahaha sori ya, but I really do.

Baca: Memangnya Kenapa Kalau Nggak Menikah?

Saya jembreng semua hal di atas karena saya pakai sudut pandang realistis.

Kalau kamu pakai sudut pandang agama, jelas nggak akan setuju sama saya. Nggak apa-apa kok. Kita nggak harus saling setuju. Let's just agree to disagree.

Kalau mau tahu pendapat Adit tentang ini, sama kayak saya. See, untuk hal-hal prinsip itu kami biasanya sependapat. Hahaha.



So, yeah, itu.

Kalau kata Nahla nih, bisa nggak bayangin hidup sama pasangan 50 tahun ke depan? I guess it's a good question.

Coba bayangin. Gimana rasa nya? Hela napas atau bisa enteng bilang, "Ah, bisa!" - mungkin itu perlu dibayangin sebelum memutuskan menikah.

Dan baca juga deh tulisan Icha. Dia abis nulis Rumitnya Menikah yang bagus buat bahan pertimbangan sebelum bilang, "I do."

Yang jelas ya, saya ngerasa pernikahan itu bukan solusi dari masalah yang dihadapi saat masih berstatus single. Menikah itu babak dari tantangan-tantangan (kalau nggak mau dibilang masalah) baru. Yang bahas pilih-pilih kerjaan yang gajinya oke tapi ritme dan lokasi paling bersahabat buat keluarga. Yang bahas pilihan sekolah. Yang bahas jalan tengah kalau menantu beda pendapat sama mertua. Yang kelimpungan cari asisten baru. Yang bahas anak-anak baiknya di mana dan sama siapa ketika ayah ibu bekerja. Endebre-endebre.

Dan jangan lupa juga, once udah menikah, maka mengambil keputusan itu perlu dapat approval pasangan. Lha kalau keinginan kita nggak pernah dikasih go-ahead? Huhuhu akan lelah banget. Jadi menikah lah dengan orang yang tepat, bukan sekedar karena tuntutan masyarakat.

Toh, masyarakat mah emang bisa nya bisik sana-sini berdasarkan harusnya, pantasnya, biasanya. Yang jalanin kita loh, bukan mereka.

Next ada request apa lagi nih? Huehehehehe.




Love,






11 comments:

  1. selalu suka sama postingan ttg marriage yang ditulis mom Ges...jd banyak belajar dari sini...

    ReplyDelete
  2. setuju banget mami ubii, boleh beda hobi tapi suami istri kudu sepakat dalam hal-hal prinsip rumah tangga dan alhamdulillah saya sudah menemukannya. keep writing mami aiden ^^

    ReplyDelete
  3. Setuju banget, Mbak. Aku sendiri juga merasa lebih enak married ketimbang pas single dulu. :'D

    ReplyDelete
  4. Yang penting satu visi dan misi. :D

    ReplyDelete
  5. setuju banget Miii...

    ini sudut pandang realistis, kalau bicara dari sudut pandang agama... ya gitu dech... hehehe

    Untung yah, aku dapat suami yang enggak ngatur-ngatur, ngasih kebebasan yang penting isterinya bahagia... tapi kebebasan yang positif loh ya

    soal beda pendapat sich.. wajarlah. Meskipun suami isteri kan enggak kudu sama pemikiran juga

    yang penting hasilnya.. hahah

    ReplyDelete
  6. Aku fokus sama abis nonton video ena ena hAhaha

    Gessi keren bagus tulisannya

    ReplyDelete
  7. Noted ya, Ges. Prinsip yang sama dan orang yang tepat (tambahan dariku juga membuat nyaman dalam banyak hal, ga semua sih karena artinya itu kita egois hihi). Dan bener deh kalau nikah hanya karena ga mau kuping panas itu bisa jadi bumerang. Aku udah bosen direcokin sodara bahkan bukan sodara juga soal gini. *malah curhat*

    ReplyDelete
  8. LOL... bacanya kayak aku sama Udi... aku ke laut, Udi ke gunung, aku rame, udi dieeem blas. Intinya, kita nikah dengan orang yg bikin kita nyaman ya ges, ngg perlu pura2.. kalau mau berubah dan menyesuaikan ya karena memang mau berubah sendiri, bukan paksaan. Orang lain boleh kasih masukan, but we are the ones who decide

    ReplyDelete
  9. Setujuuu! Yang utama prinsip dasar yang sama..lainnya kenapa harus juga? Memang kita dua orang yang berbeda kan? :)

    ReplyDelete
  10. kayaknya ini bakal qshare ke temenku yang masih single deh, hehe. menikah itu bukan perkara mudah, meski memang budaya kita masih memandang sebelah mata perempuan yang belum menikah padahal sudah matang secara usia:(

    ReplyDelete
  11. Setujuhhhhhhh mami ubii aiden..
    Bersyukur juga skrng dapat pasangan yang anggep aku bukan sekedar Istri tapi partner dalam segala hal..Mau bantu bantu urusan anak dan RT bukan yang cuma sekedar yang mau diturutin apa maunya.

    dan sekarang kebanyakan ini memang masih jadi alasan menikah karena untuk punya keturunan, menghindari zina, disuruh orangtua, malu sama tetangga, udah kelompatan 2 adik, de el el .. Artikelnya cocok buat temen temen aku yang masih masa masa pacarann kakkk ...

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^